Oleh harmen batubara[1]
Soal pendidikan di perbatasan;
arahan Presiden Jokowi Jelas-Indonesia mengalami ketidak merataan sarana dan
kesempatan berpendidikan. Presiden sudah memulainya dengan Kartu Pintar dan
Kartu Sehat. Presiden meminta agar melakukan yang terbaik untuk pendidikan,
bila perlu reformasi pendidikan di daerah perbatasan, coba lakukan kerja sama dengan
negara tetangga; yang penting kesempatan pendidikan itu ada,nyata bagus dan
terjangkau. Meski presiden sudah berbuat secara nyata tetapi sangat disayangkan
para pembantunya di Kementerian/Lembaga (K/L) terkait masih saja berada pada
zona “comport”nya masing-masing. Tetapi untunglah Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Muhadjir Effendy kini tengah menggagas perlunya membangun boarding school di daerah perbatasan agar
kualitas pendidikan di daerah itu tidak kalah dengan negara
tetangganya."Selama ini pemerintah daerah di kawasan perbatasan belum
menggarap masalah pendidikan ini dengan maksimal, sehingga perlu diambil alih
pemerintah pusat, termasuk para pengajarnya.
Masalah Pendidikan di
Perbatasan dan Daerah Tertinggal
Masalahnya kompleks dan masih
sangat mendasar. Pemda selama ini tidak tertarik dan tidak mampu membangun SDM
di perbatasan dan daerah tertinggal. Pemda lebih fokus pada warganya yang ada
di pusat-pusat kehidupan, yang ada di kota-kota di wilayahnya karena itu
terkait “para warga pemilih” mereka dan itu penting untuk direspon. Akibatnya
sarana dan prasarana pendidikan di perbatasan dan daerah tertinggal tidak
pernah terperhatikan dengan wajar. Cobalah lihat bagaimana kondisi pendidikan warga
kita di desa Tanjung Datu, Kal Barat; di desa Binter, Lumbis Ogong; di
simantipal atau Sinapad perbatasan Kalimantan Utara; bisa juga di desa
Pegunugngan bintang, atau di desa muting perbatasan Papua; atau di Naibenu;
Noemuti; dan Noemuti Timur di perbatasan
Timor Leste; kondisinya sungguh jauh dari memadai.
Masalahnya itu umumnya, sarana
berupa ruang-rung Kelas yang tidak berfungsi, tidak ada kapur tulis, tidak ada
buku pelajaran. Ruang kelas yang kumuh dan tidak mempunyai MCK. Kondisi
guru-gurunya juga tidak lebih baik; secara fisik mereka tinggal di Kota
Kabupaten atau Kecamatan jauh dari lokasi tempat mereka mengajar; akibatnya
kehadiran mereka hanya bisa mencapai 40% dalam setahun; bisa dibayangkan dengan
petugas-petugas sekolah lainnya atau semacam pembantu dan sekaligus penjaga
sekolah; lebih parah lagi.
Hal yang juga tidak kalah
memperihatinkannya adalah kondisi ekonomi para orang tua siswa tersebut. Mereka
adalah masyarakat peramu, yang kalau di Kota bisa kita sebuat sebagai tenaga
serabutan. Penghasilan mereka sepenuhnya masih tergantung dengan kemurahan
alam, seperti berburu, mencari kulit kayu manis, cari damar dll yang hanya bisa
menopang kehidupan yang sangat-sangat sederhana. Kalau mereka sempat sakit,
maka tamatlah sudah. Kemana mau mintak pertolongan? Ke Puskesmas? Yang ada
hanya Plang namanya saja, ruangan tidak punya kalau beruntung warga masih punya
bidan atau perawat desa. Mereka senang sekali kalau bisa membantu, tetapi
karena mereka juga tidak punya apa-apa; yang masih ada hanya sebatas pemberi
semngat, dan doa semoga lekas sembuh. Sementara di negara tetangga, Puskesmas
itu ada dan real fungsinya. Puskesmas mereka nyata ada baik secara fisik,
maunpun non fisik. Mereka punya petugas yang diberi gaji dan tunjanga-mereka
punya sarana peralatan kesehatan; mereka punya sarana tempat menginap pasien
dll. Puskesmas mereka sangat dekat dengan warga.
Semua Konsep Masih Rencana dan
Akan
Seperti apa sebenarnya
persepsi Pemda terkait “Boarding School” gagasan Mendikbud ini? Salah satunya kita bisa lihat konsep pemerintah
Provinsi Kalimantan Barat, mereka akan membangun sekolah terpadu minimal pada
lima titik di lima kabupaten di sepanjang perbatasan dengan Negara Bagian
Sarawak, Malaysia.“Sekolah terpadu dilengkapi fasilitas asrama, mulai dari
Pendidikan Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD),
Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) dalam satu kawasan,” kata Aleksius Akim[2],
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi (Kadis Dikbud Prov) Kalimantan
Barat (Kalbar), Jumat (1/7).
Menurut Akim, keberadaan
sekolah terpadu satu atap akan menjadi pilot project secara nasional yang sudah
dikoordinasikan dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, agar ada model
sekolah yang efektif di dalam pembinaan karakter bangsa.Akim mengatakan,
sekolah terpadu satu atap biayanya akan jauh lebih murah dibandingkan dengan
sekolah-sekolah dengan lokasi terpisah, karena sistem pembiayaan terintegrasi.
Terintegrasi, ujar Akim, nanti ada segmen yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi
Kalimantan Barat dan APBD Kabupaten yang bersangkutan.
Diungkapkan Akim, tahap awal
sekolah terpadu satu atap dimulai di Sintang, Kabupaten Sintang yang sudah
mulai jalan tahun 2016, dimana dari PAUD, TK, SD, SMP, SMA dan SMK dalam satu
kawasan.“Sekarang dalam tahap inventarisir lahan di perbatasan wilayah
Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sintang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten
Bengkayang dan Kabupaten Sambas. Kawasan sekolah terpadu minimal menempati
lahan 10 hektar, lengkap dengan fasilitas pendukung, seperti asrama, perumahan
guru dan lain-lain,” ungkap Akim.
Konsep yang mirip juga tengah
di wacanakan pemerintah Kabupaten Tana Tidung (KTT) dalam mempersiapkan sekolah
unggulan terpadu berkonsep boarding school (sekolah asrama). Sejauh ini, pemkab
terus memberi perhatian terhadap persiapannya. Hal ini diungkapkan Bupati KTT
Dr H Undunsyah MH MSi pada sebuah acara di KTT, Selasa (23/8). “Awal tahun 2017
nanti kami akan meresmikan boarding school. Kita sangat berharap selain SDM
lokal, bisa diisi dari anak-anak sekitar KTT. Seperti yang di perbatasan-perbatasan
dan wilayah terpencil. Daripada harus ke kota-kota besar dengan jarak yang
jauh, lebih baik bisa diarahkan di KTT,” ungkapnya. “Dengan konsep boarding
school yang akan ada di KTT, anak akan diwajibkan tinggal di sekolah dengan
disediakan fasilitas dan ditanggung makan yang akan ditanggung oleh pemerintah
daerah,” bebernya. Sekadar informasi, hingga saat ini pembangunan sekolah telah
mencapai 60 persen dengan segala perencanaan fasilitas. Karena bertajuk sekolah
kejuruan, fasilitaspun akan dilengkapi dengan lokasi-lokai praktik, seperti
hutan buatan dan lahan untuk bercocok tanam.
Perlu Kerja Kolaborasi K/L
Bagi daerah perbatasan dan
daerah tertinggal, menyelamatkan SDM nya agar tetap bisa berkembang sebagai
mana mestinya jelas suatu kepentingan mendesak dan strategis sifatnya. Kedepan
kita ingin melihat bagaimana konsep “boarding school” ini bisa di kolaborasi
oleh K/L terkait dan Pemda sehingga sekolah ini bisa diwujudkan dan jadi nyata.
Tetapi satu hal yang jadi ikutannya adalah, bagaimana agar K/L dan Pemda yang
sama juga bisa memberdayakan para warganya atau para orangtua murid yang ada.
Selama ini kita banyak mendengar program dan gagasan K/L terkait pembangunan
SDM perbatasan dan daerah tertinggal. Tetapi terus terang sasarannya itu banyak
yang naggak jelas dan sering dibalut oleh jargon-jargon yang sama sekali sulit
dipahami. Misalnya jadi Desa Mandiri; lokasi priritas satu; prioritas dua dst
dst. Tapi kalau kita telusuri kepada warganya, hasilnya nggak bisa di baca.
Padahal kita maunya warga
perbatasan itu, minimal nantinya mempunyai paktor produksi yang berupa
perkebunan ( karet, kopi, coklat dll sesuai kecocokan daerah) atau persawahan
minimal 2 Ha per kepala keluarga. Daerah mereka terjangkau sarana transfortasi,
tersedia pasar, pengolahan hasil, sehingga mereka benar-benar jadi warga yang
punya penghasilan. Cobalah baca visi dan Misi BNPP, Kementerian Desa Tertinggal
dan Transmigrasi; Kemendikbud, KemnePu, Pemda dll begitu bagus dan hebat-hebat
tetapi apa hasilnya bagi warga? Sama sekali jauh dari memadai. Saya lalu
teringat dengan Tim Perbatasan Indonesia 30 tahun yang lalu. Juru masaknya
sudah bangun sejak jam 04 subuh, mereka dengan cekatan dan semangat menyediakan
masakan pagi untuk Tim; tetapi pada saat makan pagi jam 06.30 yang diolah
mereka hasilnya hanya nasi dengan lauk krupuk ikan teri dan rebusan daun
singkong. Sementara Juru masak Tim Negara tetangga bangunnya jam 05.30 dan tiba
saat sarapan pagi mereka menyantap
berbagai pilihan; Makanan Roti ala Barat dan Makanan Prasmanan ala Melayu dan
lengkap. Padahal biayanya sama, semangat dan selogannya sama; tapi hasilnya
yang satu dengan tetangganya berbeda seperti langit dan bumi.
[1]
Tulisan ini pertama kali dimuat di - http://www.wilayahperbatasan.com/boarding-school-di-perbatasan-babak-baru-pendidikan-di-desa-tertinggal/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar