Konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja, khususnya terkait dengan kuil Preah Vihear, menjadi ilustrasi yang gamblang tentang dinamika konflik tanpa kesepakatan. Akar masalahnya bermula pada tahun 1962, ketika Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan bahwa Kuil Preah Vihear berada di wilayah Kamboja. Meskipun keputusan ini secara hukum mengikat, Thailand tidak sepenuhnya mengakui dan menerima implikasinya.
Penolakan awal terhadap kesepakatan yudisial ini menjadi pemicu serangkaian bentrokan yang terus terjadi hingga saat ini. Meskipun ada upaya-upaya diplomatik dan perundingan, ketiadaan kesepakatan menyeluruh mengenai demarkasi batas di sekitar area tersebut terus memicu insiden.Ketidakjelasan
Batas: Karena tidak adanya demarkasi yang jelas dan diakui bersama
pasca-keputusan ICJ, kedua negara terus memiliki interpretasi yang berbeda
mengenai garis batas di sekitar kuil dan area sekitarnya. Ini menciptakan
"zona abu-abu" di mana klaim wilayah saling tumpang tindih.
Insiden
Berulang: Perbedaan interpretasi ini sering kali menyebabkan tentara kedua belah
pihak berhadapan langsung, memicu tembak-menembak dan eskalasi ketegangan.
Insiden-insiden ini bukan sekadar gesekan kecil; mereka adalah manifestasi dari
perselisihan mendasar yang belum terselesaikan.
Skala
Lebih Besar: Seperti yang kita sebutkan, hingga tahun 2025, bentrokan tidak hanya
berlanjut tetapi juga terjadi dalam skala yang lebih besar, menunjukkan bahwa
akar masalahnya masih belum tertangani.
Seiring
waktu, ketegangan meningkat menjadi bentrokan bersenjata pada tahun 2008, 2011,
hingga berlanjut dalam ketegangan yang lebih besar pada tahun 2025 ini,
melibatkan pengerahan pasukan dalam skala signifikan dan menimbulkan korban
serta kerusakan di wilayah perbatasan.
Konflik
perbatasan ini membuktikan bahwa:
Putusan sepihak atau klaim sepihak tidak
menyelesaikan konflik tanpa
adanya penerimaan dan pengakuan dari kedua belah pihak.
Kesepakatan merupakan kunci penyelesaian karena dengan kesepakatan kedua
belah pihak, terdapat dasar hukum dan politik untuk menegakkan perdamaian.
Tanpa kesepakatan, akan terus terjadi insiden dan
bentrokan kecil yang dapat berkembang menjadi konflik berskala besar, sebagaimana terjadi kembali
pada 2025 ini.
Kesepakatan memerlukan negosiasi dan kompromi, bukan paksaan sepihak, karena
batas negara juga terkait dengan martabat dan keamanan nasional masing-masing
pihak.
Konflik perbatasan tanpa kesepakatan juga
menghambat pembangunan daerah perbatasan, karena tidak ada kepastian hukum yang dapat
melindungi investasi, infrastruktur, maupun kehidupan warga di sekitar
perbatasan.
Kesimpulan:
Kasus
Thailand-Kamboja menjadi pelajaran penting bagi dunia bahwa penyelesaian
konflik perbatasan tidak cukup dengan klaim sepihak atau kekuatan militer,
tetapi hanya dapat diselesaikan melalui kesepakatan yang diakui bersama.
Kesepakatan akan memberikan dasar bagi stabilitas, kerja sama, dan pengelolaan
wilayah perbatasan secara damai, yang pada akhirnya menjadi landasan bagi
pembangunan ekonomi dan perdamaian kawasan secara berkelanjutan.
Konflik
perbatasan tidak akan pernah selesai tanpa kesepakatan. Itulah hukum
utama yang harus dipahami setiap pihak yang ingin mewujudkan perdamaian di
perbatasan antar negara. Pihak ketiga hanya bisa berbuat sebatas memberikan
Fasilitasi sehingga kedua pihak yang bersengketa bisa melihat Kesepakatannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar