Selasa, 19 Juli 2016

Perbatasan, Peran Kaltara Membangun Halaman Depan Bangsa


Dilihat dari berbagai sisi, provinsi Kaltara mempunyai simbol-simbol yang menggambarkan strategisnya provinsi ini. Pertama di provinsi ini terdapat Garis Batas Negara (RI-Malaysia) termasuk OBP (Outstanding Boundary Problem yakni di sungai Sinapad, sungai simantipal dan pulau sebatik);kita paham bahwa garis perbatasan adalah Batas Kedaulatan Negara-analogi mengisyaratkan perlunya persiapan yang baik terkait pertahanan keamanan; di daerah pantainya khususnya di Pantai Timur di pulau Sebatik, merupakan titik awal penarikan garis pangkal batas laut; masih ditambah lagi dengan permasalahan Perairan laut Sulasewi di sekitar Ambalat; juga terdapat Alur Laut Kepulauan Indonesia ALKI tempat lalu lalangnya Kapal bertonase besar-kapal perang dan dagang-yang mengharuskan kita memperhatikan kepentingan nasional di wilayah tersebut. Meskipun hal itu wewenang pemerintah Pusat, tetapi selayaknya Kaltara mempunyai ahli yang menguasai permasalahan Batas tersebut baik secara teknis maupun secara hokum. Dengan demikian Kaltara akan dapat memposisikan dengan baik terkait berbagai isu perbatasan.

Jadi tidaklah berlebihan kalau kita sebut provinsi Kaltara adalah provinsi strategis yang memerlukan perencanaan pembangunan secara khusus yang mampu mengakomodasi pertahanan wilayahnya sendiri. Perencanaan yang bisa mengintegrasikannya dengan  pembangunan kawasan didalam negeri dan dengan negara tetangga. Pembangunannya harus juga mencerminkan kerjasama dengan jaringan infrastruktur yang terkoneksi dengan connectivity Asean (Malaysia-Brunai-Filipina). Kaltara harus dari awal mendesain lapangan terbangnya mulai dari Tarakan, Nunukan, Malinau, Tanjung Selor bisa didarati oleh pesawat tempur dengan panjang Run Way minimal 2500 meter. Kalau Amerika cukup punya satu “Pearl Harbour” maka Indonesia minimal ada dua, yakni di Natuna dan Tarakan.

Pendidikan di Kaltara

Masalah pendidikan adalah persoalan SDM warga perbatasan, dan hal itu harapan kita menjadi salah satu perioritas yang menjadi perhatian Kaltara. Kita tahu setiap tahunnya, banyak anak-anak yang ada di perbatasan tidak bisa melanjutkan sekolahnya karena persoalan ekonomi orang tua mereka dan juga karena sarana dan prasarana untuk pendidikan itu masih sangat terbatas. Harapan kita sesungguhnya Kaltara melakukan sesuatu yang sifatnya proaktif dalam hal pembangunan sarana penunjang pendidikan ini, khususnya pembangunan asrama bagi para siswa di tiap masing-masing kecamatan perbatasan, dan juga di Kabupaten. Dengan catatan asrama itu difungsikan mulai dari tibgkat SD, SMP,SMA dan sederajat dalam artian mereka diberikan jatah makan dan minum serta uang saku gratis. Termasuk juga pendirian asrama-asrama mahasiswa di dekat kampus-kampus terbaik di Kalimantan dan Indonesia. Menurut kita kalau Kaltara hanya melihat pendidikan ini sama seperti provinsi lainnya maka jelas Kaltara kurang peka dengan pembangunan SDM nya dan hal ini jelas akan mendatangkan kerugian tidak terhingga bagi peningkatan marwah perbatasan.
Hal yang juga bisa dimintakan untuk mendapat perhatian dari Kaltara adalah pendidikan anak-anak para TKI yang ada di sekitar Tawau dan Kota Kinabalu. Kita tahu, menurut data catatan KJRI Kota Kinabalu, jumlah WNI yang berada di Sabah per 09 Februari 2012 sejumlah 401.773 orang, dengan komposisi TKI dan keluarganya 305.584 orang, Tenaga Profesional (guru, pilot, dosen dan dokter) 165 orang dan sejumlah 96.024 orang adalah masyarakat keturunan pemegang paspor RI. Dari sejumlah WNI tersebut di atas, sebanyak 53.768 orang adalah anak-anak. Dipercaya masih banyak lagi anak-anak Indonesia yang lahir tanpa akta lahir, apalagi paspor. Jadi jumlah diatas bisa berlipat menjadi 150% – 200%. Pendidikan anak-anak TKI itu sangat memelas, diatas kertas maka dari sisi pendidikan generasi mereka ini jelas lebih rendah mutu SDM nya disbanding orang tua mereka.
Pemerintah Indonesia pada 2006 mulai mengambil langkah untuk menangani nasib pendidikan anak-anak Indonesia yang ada di Sabah dengan membuat MOU antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia melalui NGO Borneo Child Aid – Humana Child Aid Society Sabah. Kini ada sekitar 90 gedung sekolah informal yang dikelola Humana dengan jumlah murid sekitar 7.000 orang,sisanya 46.000 lagi dapat pendidikan apa?. Sejak tahun 2007, Indonesia mengirimkan 109 guru. Pemerintah Sabah mengijinkan adanya sekolah Indonesia di Kota Kinabalu bagi anak-anak TKI. Sebagai propinsi di Perbatasan, kita berharap Kaltara bisa mengambil peran yang positip untuk ikut serta memecahkan permasalahan pendidikan para anak-anak TKI ini. Kalau hal ini belum juga terpikirkan oleh Kaltara, tentu sangat di sayangkan sekali.

Mulau Membangun Infrastruktur dan SDM

Kalau anda pernah ke Tanjung Selor, ibu kota Provinsi Kalimantan Utara, maka inilah gambarannya. Tanjung Selor tadinya adalah sebuah kecamatan dan sekaligus Ibu Kota Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur. luasnya 1.277 km persegi, dengan penduduk 37.539 orang. Kepadatan penduduknya 30 jiwa per km persegi. Di Tanjung Selor, hanya ada satu stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Jumlah minimarket tidak lebih dari 4-5 buah. Tidak ada gedung bioskop, mal, hotel berbintang, maupun tempat hiburan keluarga.
Jalanan pun cukup lengang. Bahkan, hanya terdapat empat persimpangan yang memiliki lampu pengatur lalu lintas. Untuk bandara, Tanjung Selor memiliki Bandar Udara Tanjung Harapan, bandara kecil yang selama ini baru diisi rutenya oleh satu maskapai dengan pesawat kecil. Selama ini warga jika hendak merasakan hiburan, setidaknya mal, atau berbelanja, warga pergi ke Tarakan dengan menggunakan speedboat. Alternatif lain ialah ke ibu kota Kabupaten Berau, yakni Tanjung Redeb, dengan menempuh jalur darat sejauh 125 km. Kini ia sudah resmi jadi Ibu Kota Provinsi Kaltara.
 Tapi kalau anda bertemu dengan Gubernurnya, maka kesannya bisa beda. Gubernur Kalimantan Utara (Kaltara) Irianto Lambrie[1] di awal pemerintahahnya mengatakan, pembangunan infrastruktur di wilayah perbatasan menjadi perhatian serius pihaknya. Hal itu telah dia lakukan sejak  dirinya menjabat sebagai Pj Gubernur Kaltara.
Menurutnya  anggaran yang telah dialokasikan sebesar Rp 35 miliar untuk pembangunan sekaligus peningkatan Jalan Long Midang, Long Bawan hingga Long Pasia. Kemudian  pembangunan jalan perbatasan Long Layu, Pa Upan, Long Rungan juga sebesar Rp 35 miliar. Pembangunan jalan perbatasan Long Rungan, Long Padi, Binuang, Malinau juga sebesar Rp 35 miliar. Sedangkan pembangunan Jalan Perbatasan Long Apung, Long Nawang, Data Dian, Long Pujungan, Malinau menggunakan nilai anggaran yang sama.
Untuk pembangunan Jalan Perbatasan Long Apung, Sungai Barang, Sungai Boh alokasi anggaran yang disediakan juga sebesar Rp 35 miliar. Untuk jalan Perbatasan Long Nawang, Batas Negara (Tapak Mega), dialokasikan sebesar Rp 3 miliar yang diserap dari APBD Kaltara. Gubernur juga  mengungkapkan, Pemerintah pusat telah mengalokasikan dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN) untuk kegiatan pembangunan jalan dari Kabupaten Malinau hingga ke Long Bawan. Alokasi dana yang dianggarkan oleh pemerintah pusat sebesar Rp 250 miliar untuk pembangunan jembatan."Mudah-mudahan dalam tiga tahun kedepan, hasilnya sudah terlihat. Tahun ini saja sudah terlihat hasilnya, kita sudah bisa mengendarai mobil dari Malinau, Binuang, Long Bawan," urainya. Menurutnya, "Jika infrastruktur telah dibangun dengan baik, maka hal itu akan dapat mendorong kemajuan perekonomian masyarakat yang ada di perbatasan," begitu pungkasnya.
Kalau kita melihat ke MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia), kita dapat mengidentifikasi proyek proyek MP3EI yang ada di Kalimantan Timur  meliputi: 1. Pembangunan Express Way Samarinda – Balikpapan; 2. Pengembangan Kapasitas Pelabuhan Maloy; 3. Pembangunan Jembatan P. Balang Bentang Panjang 1.314 m; 4. Percepatan Pembangunan Bandara Samarinda Baru; 5. Pembangunan Terminal Peti Kemas Kariangau; 6. Satker Sementara Pembangunan Pelabuhan PPU dan Kariangau; 7. Peningkatan Jalan Tj Selor-Tj. Redep – Maloy; 8. Pembangunan Jembatan P. Balang Bentang Pendek; 9. Peningkatan Jalan Samarinda-Bontang – Sangatta – Maloy; 10. Pelebaran Jalan Samarinda-Tenggarong; 11. Satker Sementara Pembangunan Faspel Laut Maloy/Sangkulirang; 12. Pembangunan Waduk Wain untuk kebutuhan air baku; 13. Pelebaran Jalan menuju P. Derawan; 14. Pembangunan Pelabuhan Tanjung Issuy; 15. Pelabuhan Tanah Grogot; 16. Kanpel Nunukan; 17. Pembangunan Jalan Lingkungan di Derawan dan Tanjung Batu; 18. Pembangunan Pembangkit Listrik; 19. Bandara Balikpapan; 20. Pembangunan Fasilitas Transmisi Kelistrikan; dan 21. Pembangunan Jalur Kereta Api Puruk Cahu–Tanjung Isuy sepanjang 203 km. Menurut hemat kita pembangunan Infrastruktur akan sangat baik bila tetap dikembangkan bersama antara Kaltim dan Kaltara. 



[1] http://www.merdeka.com/peristiwa/gubernur-kaltara-fokus-pembangunan-jalan-perbatasan.html

Jumat, 08 Juli 2016

Perbatasan, Australia Merampok Hak Nelayan Tradisional Indonesia di Pulau Pasir


Di perairan Natuna Indonesia bentrok dan mengusir “Nelayan Tradisional Tiongkok”. Karena dalam bahasa perbatasan, Tiongkok bukanlah negara tetangga yang berbatasan dengan Indonesia. Klaim Tiongkok dengan alasan sebagai tradisional fishing groundnya dengan dasar “Nine Dash Line”, juga tidak terdapat dalam ketentuan “perbatasan” yang mengacu pada UNCLOS1982. Jadi menurut hemat kita. Indonesia sangat wajar bertindak seperti itu. Kalau mau kerja sama tentu ada saja caranya. Tetapi ini soal kisah dan cara Australia mengusir dan membakar kapal-kapal nelayan tradisional Indonesia; negara tetangga kita sendiri. Australia jelas-jelas tidak lagi mengakui Hak Penangkapan Ikan Nelayan Tradisional (HPT) Indonesia di sekitar pulau-pulau Ashmore Reef, Cartier Islet, Scott Reef, Seringapatam Reef, dan Browse Islet meski sebelumnya mereka akui. Pemerintah Australia, sejak awal mengakui adanya HPT tersebut. Tapi karena Indonesia kurang “ serius melobi” lama kelamaan hpt itu malah jadi malapetakan bagi para nelayan kita di sana.

Sesuai hukum laut Internasional. Hak Penangkapan Ikan Secara Tradisional (Traditional Fishing Right), yaitu hak yang diberikan kepada nelayan-nelayan tradisonal negara tetangga untuk menangkap ikan secara tradisional di Perairan Kepulauan tertentu berdasarkan perjanjian bilateral. Mengenai hal ini sudah diatur berdasarkan perjanjian bilateral sesuai ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut dan ketentuan Hukum Laut Internasional (HLI).
Perairan antara Indonesia dengan Australia meliputi wilayah  yang sangat luas, terbentang lebih kurang 2.100 mil laut dari selat Torres sampai perairan P.Chrismas. Perjanjian perbatasan maritim antara Indonesia dengan Australia yang telah ditentukan dan disepakati, menjadi sesuatu yang menarik untuk dipelajari perkembangannya, karena perjanjian tersebut dilaksanakan baik sebelum berlakunya UNCLOS ’82 (menggunakan Konvensi Genewa 1958) maupun sesudahnya.
•           Perjanjian yang telah ditetapkan juga menarik karena adanya negara Timor Leste yang telah merdeka sehingga ada perjanjian (Timor Gap Treaty) yang menjadi batal dan batas-batas laut yang ada harus dirundingkan kembali secara trilateral antara RI – Timor Leste – Australia.
•           Secara Garis besar perjanjian batas maritim Indonesia – Australia dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu :
•           Perjanjian  perbatasan pada tanggal 18 Mei 1971 mengenai Batas Landas Kontinen di wilayah perairan selatan Papua dan Laut Arafura.
•           Perjanjian perbatasan pada tanggal  9 Oktober 1972 mengenai Batas Landas Kontinen di wilayah Laut Timor dan Laut Arafura.
•           Perjanjian perbatasan maritim pada tanggal 14 Maret 1997 yang meliputi ZEE dan Batas Landas Kontinen Indonesia Australia dari perairan selatan P.Jawa termasuk perbatasan maritim di P.Ashmore dan P.Chrismas.
Pada tanggal 9 September 1989 telah disetujui pembagian Timor Gap yang dibagi menjadi 3 area (A,B dan C) dalam suatu Zone yang disebut ”Zone Of Cooperation”. Perjanjian Timor Gab ini berlaku efektif mulai tanggal 9 Februari 1991, perjanjian ini juga tidak membatalkan perjanjian yang sudah ada sebelumnya, namun dengan merdekanya Timor Leste maka perjanjian ini secara otomatis menjadi batal.
Catatan saya terkait Masalah Batas Laut RI-Australia sesuai dengan apa yang dimuat oleh harian Kompas (6/7/2011). Kompas menuliskannya sebagai berikut: Tata batas Laut Timor dan Laut Australia masih membingungkan nelayan di sepanjang pesisir selatan Nusa Tenggara Timur. Banyak nelayan ditangkap dan ditahan Australia karena dianggap melanggar batas wilayah perairan itu. Akan tetapi, menurut nelayan, mereka berada di perairan Indonesia saat ditangkap. Status hukum batas laut antara Indonesia dan Australia belum diratifikasi. Tahun 1997, kedua negara melakukan perjanjian mengenai batas wilayah laut, tetapi sampai hari ini perjanjian itu belum diratifikasi atau disahkan.
Perlu Kerja Sama Lebih Lanjut      
Indonesia dan Australia telah mempunyai MOU tentang “Memorandum of Understanding between the Government of Australia and the Government of the Republic of Indonesia Regarding the Operations of Indonesian Traditional Fishermen in Areas of the Australia Exclusive Fishing Zone and Continental Shelf” pada tanggal 7 November 1974. Dengan demikian, MOU 1974 ini dapat dijadikan sebagai landasan hukum bagi nelayan tradisional Indonesia untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di beberapa zona perikanan eksklusif Australia beserta landas kontinennya. Adapun zona perikanan yang diperjanjikan kedua negara ini adalah meliputi, Ashmore Reef, Cartier Islet, Scott Reef, Seringapatam Reef, dan Browse Islet. Artinya, di wilayah ini, Pemerintah Australia tidak akan menerapkan peraturan perikanananya kepada nelayan tradisional Indonesia.
Berdasarkan MOU 1974 tersebut, Australia mengakui nelayan tradisional Indonesia untuk menangkap ikan di beberapa wilayah perairannya, karena selama beberapa dekade, mereka telah melakukannya di sekitar perairan Australia secara tradisi tanpa mendapatkan hambatan atau larangan. Dengan demikian, hak perikanan tradisional di zona perikanan Australia merupakan satu-satunya hak perikanan tradisional yang diakui secara resmi.
Persoalan baru muncul setelah pemerintah Australia mengeluarkan UU Cagar Alam Australia  (National Park and Wildlife Conservation), 16 Agustus 1984. UU ini menjadi larangan sepihak dan menuntut adanya amandemen terhadap MoU 1974. Pada tahun 1986 pemerintah Australia mengusulkan amandemen terhadap MOU 1974. Inti usulan amandemen tersebut antara lain :
·         larangan nelayan-nelayan Indonesia untuk mendarat di Ashmore Reef;
·         larangan mencari ikan dan organisme laut yang menetap di Ashmore Reef;
·         sebagai gantinya pemerintah Australia mengusulkan tempat yang lebih luas di wilayah perairan Australia.
Sebagai negara tetangga, usulan itu sebenarnya dapat di kompromikan atau bahkan di tolak bilamana perlu. Pengaturan terkait perberlakuan akibat batas laut suatu negara harus selalu dilakukan dengan kesepakatan negara-negara bertetangga. Pengaturan tentang penentuan suatu wilayah berbatasan, baik di laut dan darat mewajibkan adanya suatu kesepakatan Negara-negara tetangga seperti yang ditegaskan dalam UNCLOS 1982, yaitu “penentuan batas wilayah laut suatu Negara harus dilakukan dengan suatu kesepakatan bilateral  yaitu dengan melibatkan Negara Negara tetangga (neighboring countries).
Traditional fishing rights antara Indonesia-Australia sebenarnya mempunyai legalitas yang kuat dan hal ini mendapatkan pengakuan pada Bab IV Konvensi PBB tentang Hukum Laut UNCLOS 1982. Sangat di sayangkan, kedua Negara khususnya Indonesia kurang sungguh-sungguh dan belum pernah mendesak kesepakatan bersama tentang apa sebenarnya yang disebutkan dengan “nelayan tradisional” termasuk dengan perangkat penangkap ikan yang mereka pakai baik itu terkait kapalnya ataupun soal perorangan atau perusahaan.
Pengaturan Hak Penangkapan Ikan Tradisional
Sebelum Pemerintah Australia mengeluarkan UU Cagar Alam Australia  (National Park and Wildlife Conservation), 16 Agustus 1984. Dalam pandangan penulis, dan melihat sejarah persahabatan antara Indonesia dan Australia saya cenderung mengatakan Australia itu sering melecehkan atau meng”under estimated Indonesia. Banyak hal alasan untuk dikemukakan untuk itu. Mulai dari pelanggaran perbatasan laut yang mereka lakukan; penyedapan hanphone para pejabat Indonesia; protes mereka atas ketidak mampuan “menjaring” kapal pencari suaka yang ahirnya banyak yang lolos ke Australia; cara mereka menyogok nakhoda kapal pencari suaka untuk mengembalikan para pengungsi yang mereka bawa kembali ke perairan Indonesia; dll masih banyak lagi. 
Australia terlihat secara berkelanjutan memang mempunyai kebijakan khusus dan agresif dalam upaya melindungi hak berdaulatnya meski hal itu bertentangan dengan UU Internasional. Hal ini terlihat dari polanya. Nelayan Indonesia yang ditangkap di perairan Australia umumnya langsung ditahan di Darwin biasanya 1-2 minggu untuk diinterogasi dan proses lainnya. Dalam berbagai kasus, hampir semua nelayan ditetapkan bersalah dan langsung diterbangkan kembali ke Indonesia, sementara perahu, peralatan, dan sebagainya dibakar atau dimusnahkan. Para nelayan tersebut, secara sepihak malah dikategorikan sebagai 'trans-organized crime' yang termasuk pencari suaka, pelanggar imigrasi, bahkan sebagai penyelundup.  Australia, menerapkan kebijakan Rapid Repatriation (RR) dan AMIS yang menurut saya cenderung bersifat diskriminatif khususnya bagi nelayan tradisional Indonesia, dan tidak dituangkan dalam perangkat perundang-undangan Australia secara memadai. 
Kebijakan yang agresif ini, sebenarnya lebih menyerupai semangat melecehkan, dan ini bukanlah hal baru bagi Australia. Berbagai kebijakan dari tahun ke tahun telah terbukti mempersempit akses ke lokasi penangkapan ikan bagi nelayan tradisional Indonesia. Misalnya, perluasan kawasan Australian Fishing Zone (AFZ) dari 3 menjadi 12 mil tahun 1968 menjadikan wilayah tangkapan nelayan berkurang. Melalui kesepakatan MoU tahun 1974, penangkapan ikan hanya diperbolehkan pada wilayah 12 mil wilayah tertentu yang diklaim Australia di Laut Timor. Selanjutnya tahun 1979, dengan meluasnya kawasan AFZ dari 12 mil menjadi 200 mil, hak nelayan Indonesia semakin terbatas.
Membela Kepentingan Nasional Bersama
Sebelum tulisan ini saya ahiri, saya ingin mengatakan bahwa ketentuan mengenai semua larangan yang diterapkan oleh Australia justru bertentangan dengan hak tradisional nelayan Indonesia sesuai Pasal 51 Konvensi Hukum Laut PBB (The United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) 1982. Para nelayan tradisional itu wajib memperoleh penghormatan dan perlindungan dari Pemerintah Australia meskipun wilayah Pulau Pasir dan sekitarnya tunduk di bawah kedaulatan Australia. Hal ini ditambah lagi setelah berlakunya Deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak-hak Masyarakat Adat (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) yang telah berlaku sejak 13 September 2007 yang menjamin hampir semua masyarakat adat di dunia untuk dapat mengklaim wilayah daratan dan wilayah kelautan yang telah lama mereka diami, jauh sebelum para kolonial datang menjajah dan mencaplok wilayah-wilayah mereka.
Apabila Australia menolak untuk melakukan amandemen sesuai kesepakatan yang “menjamin kepentingan nasional kedua negara” terhadap MoU 1974, maka sebaiknya Pemerintah Indonesia, menarik kembali MoU RI-Australia 1974 dan kemudian mengajukan persoalan tersebut kepada salah satu badan peradilan yang disediakan oleh konvensi, seperti Mahkamah Internasional (International Court of Justice) atau Mahkamah Hukum Laut Internasional (International Tribunal For The Law Of The Sea).
Pengakhiran MoU 1974 akibat hukumnya, maka MoU 1974 ini menjadi berakhir dan hak nelayan Indonesia dikembalikan kepada kedudukan sebelumnya yakni seperti yang dilakukan nenek moyang Indonesia sejak ratusan tahun yang silam. Sebaliknya jika persoalan ini di bawah ke salah satu peradilan internasional, maka hak nelayan Indonesia di sekitar Pulau Pasir MEMILIKI PELUANG untuk dipulihkan kembali sebab kewajiban penghormatan terhadap hak nelayan tradsional secara turun-temurun telah memperoleh pengakuan secara yuridis dalam UNCLOS 1982 maupun Deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak-hak Masyarakat Adat (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) yang telah berlaku sejak 13 September 2007.