Kompas/Hamzirwan
Presiden Joko Widodo dan
Ibu Negara Nyonya Iriana Joko Widodo, setelah meresmikan kompleks Pos Lintas
Batas Negara Terpadu Aruk, Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat,
Jumat (17/3), melihat kondisi di sekitar tugu. Presiden Jokowi memerintahkan
pembangunan kawasan perbatasan agar bisa menjadi titik pertumbuhan ekonomi baru
di daerah.
Pembangunan infrastruktur
dan fisik di sejumlah wilayah perbatasan Indonesia mulai membuahkan hasil.
Namun, agar lebih optimal meningkatkan kesejahteraan warga di perbatasan,
pembangunan itu juga mesti diikuti dengan pembangunan perekonomian lokal.
Pembangunan wilayah
perbatasan menjadi satu dari sembilan agenda prioritas pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla yang disebut dengan Nawacita. Poin ketiga dari Nawacita
berbunyi, Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah
dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
Untuk membangun wilayah
perbatasan, menurut situs resmi Badan Nasional Pengelola Perbatasan, pada 2017
pemerintah menyiapkan anggaran Rp 17,839 triliun. Anggaran itu meningkat
dibandingkan dengan 2016 yang sekitar Rp 9 triliun. Terkait pembangunan
perbatasan, dalam kunjungan kerja ketujuh kalinya di Kalimantan Barat sejak
dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober 2014, Presiden Jokowi meresmikan
kompleks Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Terpadu Aruk-Sajingan di Kabupaten Sambas,
Kalimantan Barat, Jumat (17/3). Sehari sebelumnya, Presiden meresmikan PLBN
Terpadu Nanga Badau di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar. Pada 21 Desember 2016,
Presiden juga meresmikan PLBN terpadu Entikong, Kalbar. Pembangunan ketiga PLBN
Terpadu di Kalbar tersebut berlangsung sejak 2015.
Indonesia memiliki 87
PLBN dengan 35 PLBN laut dan 52 PLBN darat. Tujuh pos di antaranya dibangun
baru sebagai PLBN terpadu yang melayani keimigrasian, bea dan cukai, serta
karantina pertanian (Kompas, 26/1).”Saya hanya ingin titip pos lintas
batas negara yang ada di Aruk ini agar betul-betul digunakan masyarakat untuk
pusat pertumbuhan ekonomi yang baru. Jangan hanya sebatas sebagai kantor
imigrasi, karantina, serta bea dan cukai. Seharusnya masyarakat bisa
memanfaatkan PLBN ini untuk menumbuhkan aktivitas ekonomi di daerah
perbatasan,” kata Presiden Jokowi di PLBN terpadu Aruk, Sajingan, Sambas.
Seusai peresmian,
Presiden dan Ibu Negara Nyonya Iriana Joko Widodo, didampingi sejumlah menteri
Kabinet Kerja, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, dan pejabat Kalimantan
Barat, meninjau fasilitas gedung PLBN Aruk yang bergaya tameng Dayak.
Dengan berjalan kaki,
Presiden bersama rombongan lalu menuju taman asri berhiaskan tugu Garuda
Pancasila, tiang bendera Merah Putih, dan tulisan Aruk Indonesia berwarna merah
putih yang menghadap ke arah perbatasan Malaysia.
Kondisi daerah
Selain pembangunan PLBN,
pengaspalan jalan raya yang menghubungkan Sambas-Aruk sejauh 81 kilometer juga
sudah selesai dilakukan. Pengaspalan ini membuat waktu tempuh dua daerah itu
menjadi dua jam dari empat jam sebelum 2015. Pembangunan infrastruktur di
wilayah perbatasan juga dilakukan di daerah lain. Di Pulau Miangas di Kabupaten
Talaud, Sulawesi Utara, tahun ini dibangun jalan beton lingkar pulau dengan anggaran
Rp 53 miliar. Di daerah yang berbatasan dengan Filipina tersebut, pada 2015
pemerintah membangun dermaga feri dengan anggaran Rp 40 miliar.
Pembangunan dermaga dan
jalan itu melengkapi pembangunan bandara dengan anggaran Rp 300 miliar, lengkap
dengan ruangan terminal berpenyejuk udara. Namun, John Lupa (67), tokoh
masyarakat Miangas, menyebut pembangunan infrastruktur itu belum optimal
memberikan manfaat bagi warga Miangas yang masih berkutat dengan ketersediaan
bahan pangan. ”Buat apa dibangun bandara kalau harga tiket pesawat mahal. Kami
butuh beras, bensin, minyak tanah, dan solar,” katanya.
Demsy Namare (46), warga
Miangas, menambahkan, pembangunan dermaga yang dimulai 2015 kini juga berhenti.
Camat Miangas Steven Maarisit mengatakan, stok beras di wilayahnya kosong sejak
pertengahan Februari lalu. Ancaman kelaparan menghantui Miangas jika beras
belum dikirim hingga akhir bulan ini. Biasanya, setiap tahun, Pulau Miangas
mendapat bantuan 10 ton beras untuk disimpan di gudang yang dibangun Pemprov Sulut
tahun 2005.
Sementara itu, warga
pulau terdepan di Kepulauan Riau (Kepri), seperti Anambas, hingga kini
terkendala terbatasnya jaringan telepon seluler. Banyak pulau terdiri atas
bukit sehingga antarpemancar tak bisa saling terhubung. ”Kami mengusulkan
dibuat pemancar induk di tempat paling tinggi agar bisa menjangkau pemancar
lain. Usulan itu ditolak karena biayanya dinilai terlalu tinggi,” kata Kepala
Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Anambas Jeprizal.
Jeprizal mengatakan,
keterbatasan sinyal telepon seluler menyulitkan warga ikut menjaga keamanan
laut. Kerap warga melihat nelayan asing mencuri ikan di perairan Anambas.
Namun, mereka tak bisa segera melapor karena sedang jauh dari darat. Jika harus
kembali, mereka membutuhkan lebih dari dua jam untuk mencapai daratan atau
paling sedikit 1,5 jam berlayar untuk mencapai perairan yang terjangkau sinyal
seluler. Warga di Kepri juga butuh tambahan frekuensi pelayaran. Sebagai
provinsi dengan 96 persen wilayah berupa laut, Kepri mengandalkan pelayaran
sebagai sarana transportasi utama. Namun, kapal-kapal yang dioperasikan Pelni
hanya singgah 11 hari sekali di sejumlah pulau besar.
Manfaat ekonomi
Guru Besar Ilmu Ekonomi
Universitas Tanjungpura, Pontianak, Eddy Suratman menuturkan, kerja keras
pemerintah untuk membangun perbatasan patut diapresiasi. ”Pembangunan fisik itu
akan berdampak besar bagi masyarakat jika tata niaga di perbatasan dibenahi,”
katanya.
Jalur perbatasan
Indonesia- Malaysia, misalnya, belum bisa untuk ekspor-impor dalam skala besar.
Selama ini, tata niaga di perbatasan diatur dalam Perjanjian Sosial Ekonomi
Malaysia Indonesia. Perdagangan hanya boleh 600 ringgit Malaysia atau sekitar
Rp 2 juta orang per bulan. Itu hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
”Jika aturan tata niaga itu tidak direvisi, bagaimana ekonomi masyarakat bisa
berkembang?” tanyanya.
Pemerintah juga hendaknya
mulai merancang pelabuhan darat. Kini, perbatasan di Kalbar belum dapat izin
ekspor-impor karena tak ada pelabuhan darat.
Ewin Ignatius (35),
pelaku usaha di Entikong, menuturkan, pelaku usaha dan masyarakat sudah siap
mengekspor komoditas unggulan. ”Tinggal menunggu fasilitasnya saja,” ujarnya. (Sumber
: Harian Kompas, 18 Maret 2017; Edn/Esa/Raz/Mhd/Zal/Pra/Ham)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar