Oleh
Arif Havas Oegroseno
Indonesia
adalah satu-satunya negara yang mampu memperluas wilayah kedaulatan dan hak
berdaulatnya dari 2 juta kilometer persegi menjadi 6 juta kilometer persegi,
negara kepulauan terbesar di dunia, tanpa ekspedisi militer. Capaian ini diraih
lewat diplomasi maraton di PBB sejak akhir 1960-an hingga diterimanya UNCLOS
pada 1982.Diplomasi ternyata bukan sekadar berbasa-basi dengan tutur kata indah
tanpa makna. Operasi gencar melawan pencuri ikan hari ini tidak akan pernah
ada, apabila diplomasi tidak menghasilkan hak berdaulat ZEE 200 mil laut dari
garis pangkal negara kepulauan.
Dengan
kebangkitan ekonomi, politik dan militer Asia, terutama Asia Timur, posisi
silang Indonesia berubah dari strategis menjadi super-strategis.
Tak
hanya posisi silang di antara dua benua (Asia dan Australia) serta dua samudra
(Samudra Pasifik dan Samudra Hindia), tetapi juga di antara Laut China Selatan
dan Laut Asia Timur dengan Samudra Hindia, antara individualisme liberal di
selatan dan komunisme di utara. Juga antara penghasil komoditas di selatan dan
pengguna komoditas di utara, antara penghasil energi di selatan dan pengguna
energi di utara, antara middle power di selatan dan global power di utara, antara
non-nuclear power di selatan dan nuclear power di utara, serta antara anggota
tetap Dewan Keamanan (DK) PBB di utara dan bukan anggota DK PBB di selatan.
Indonesia kini ada dalam lingkaran perebutan pengaruh antara kekuatan dominan
pasca-Perang Dunia II dan kekuatan lama yang bangkit kembali.
Posisi
super-strategis Indonesia beserta kemajemukan dan toleransi antarsuku, bangsa,
dan agama juga menempatkan Indonesia dalam posisi penting di kawasan, yaitu
dalam memengaruhi stabilitas politik, ekonomi, dan keamanan. Tak terbayangkan
betapa sulitnya kondisi politik, ekonomi, dan keamanan kawasan apabila
Indonesia berada dalam konflik seperti Suriah.Selain sumber daya alam yang
bernilai tinggi di laut Indonesia, alam Indonesia sendiri bernilai strategis
bagi Planet Bumi. Indonesia memiliki hutan tropis kedua terbesar di dunia, 20
persen terumbu karang di dunia, 20 persen hutan bakau dunia, 30 persen padang
lamun, serta di pertemuan arus Samudra Hindia dan Samudra Pasifik yang membawa
sumber makanan bagi kehidupan laut.
Hutan
bakau dan padang lamun mampu menyerap emisi gas rumah kaca lebih besar daripada
hutan teresterial. Kemampuan ini harus diperhitungkan dalam menghitung emisi
dan serapan emisi Indonesia sebagai bagian solusi masalah pemanasan bumi dan
perubahan cuaca dunia.
Kemampuan
kelola laut
Pertanyaan
mendasar bagi kita sekarang adalah: (a) apakah kita telah mampu memanfaatkan
sumber daya alam laut yang diberikan hak pengelolaannya oleh para pendiri
bangsa dan perunding ulung kita di UNCLOS 1982; (b) apakah kita telah mampu
menjaga kelestarian dan keberlanjutan lingkungan laut yang sangat luas ini; (c)
apakah benar laut kita telah menjadi pendukung pemerataan pembangunan; dan (d)
apakah kita mampu mengamankan laut kita dari ancaman agresi atau kriminal.
Semua
pertanyaan itu tak bisa dijawab secara terpisah karena terkait satu sama lain
dengan erat. Kita pun tak bisa lagi menggantungkan diri kepada para tokoh
Indonesia perumus UNCLOS 1982. Tugas mereka telah selesai. Adalah tugas kita
semua untuk menjawab berbagai pertanyaan krusial itu dengan satu narasi besar
yang komprehensif dan juga didukung oleh strategi yang tajam dan rencana aksi
yang spesifik. Tidak akan ada manfaatnya lagi berkutat pada wacana dan debat
tentang masalah kelautan tanpa arah yang jelas.
Dalam
konteks inilah, kini Indonesia memiliki Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI) atau
Indonesian Ocean Policy yang diluncurkan dalam bentuk Perpres No 16/2017.
Indonesia satu-satunya negara ASEAN dan satu dari sedikit negara di dunia yang
memiliki pada 2013.
Sebagai
suatu narasi besar bangsa Indonesia untuk menjadi pemenang di lautan, KKI
berpijak pada tujuh pilar, yaitu pengelolaan sumber daya kelautan dan
pengembangan sumber daya manusia (SDM); pertahanan keamanan, penegakan hukum,
dan keselamatan di laut; tata kelola dan kelembagaan laut; ekonomi dan
infrastruktur kelautan dan peningkatan kesejahteraan; pengelolaan ruang laut
dan pelindungan lingkungan laut; budaya bahari; dan diplomasi maritim.
Tujuh
pilar ini dijabarkan secara rinci dengan strategi yang jelas dan rencana aksi
yang nyata serta terkait satu sama lain. Perang melawan penangkapan ikan secara
ilegal (illegal, unreported and unregulated fishing/IUUF), misalnya, memiliki
keterkaitan erat antara kebijakan penangkapan kapal asing dan perlunya membuat
norma baru kejahatan perikanan di kawasan dan global serta peningkatan ekspor
hasil perikanan, peningkatan kesejahteraan nelayan dan pembangunan
infrastruktur pelabuhan perikanan yang modern serta gudang es yang memadai.
Keterkaitan
adalah kunci krusial dalam pelaksanaan KKI. Tak hanya keterkaitan dari sisi
tujuh pilar dengan strategi dan rencana aksi nyata, juga keterlibatan semua
pemangku kepentingan—pemerintah pusat dan daerah, industri, dan gerakan akar
rumput—secara komprehensif. Masalah sampah plastik di laut, misalnya. Indonesia
dinilai negara terburuk kedua di dunia yang menghasilkan sampah plastik. Riset
Universitas Hasanudin pada 2015 menunjukkan, 28 persen dari 76 sampel ikan dari
pasar ikan Paotere, Makassar, memakan plastik dengan ukuran 0.1–4.5 mm.
Pelancong ke Kepulauan Seribu sering mengeluhkan banyaknya plastik di laut
kita.
Sekitar
80 persen sampah plastik di laut berasal dari daratan. Sampah ini tidak
dikelola dengan baik oleh pemda, yang faktanya telah berhasil mengambil alih
hak pengelolaan sampah dari pusat dengan alasan otonomi daerah. Tanpa langkah
konkret dan cepat, sampah plastik dapat menyerang kita kembali dalam bentuk
asupan toksin, racun, atau kanker, atau bahkan perubahan DNA manusia Indonesia.
Sinergi kebijakan
Langkah
cepat Indonesia dalam menangani hal ini melalui penyusunan rencana aksi
nasional penanganan sampah plastik di laut, kerja sama dengan inovator pembuat
jalan aspal dengan plastik, membuka diri kepada investor pusat listrik tenaga
sampah yang sudah sangat lazim di Uni Eropa, dan memimpin diskursus global soal
penanganan sampah plastik di laut telah menciptakan momentum baru dalam
menangani masalah ini. Momentum ini diciptakan bersama-sama antara birokrasi
dengan industri nasional dan global serta gerakan akar rumput lingkungan hidup.
Tak
terlalu sering terjadi di dunia ini, suatu tantangan nasional menciptakan
gerakan nasional yang pada saat sama juga mengantarkan negara menjadi pemimpin
dunia. Indonesia telah membuktikan. Gerakan nasional melawan sampah plastik di
laut membuat Indonesia dikenal sebagai pemimpin global dalam menangani masalah
ini. Hal ini terjadi karena adanya acuan KKI.
Kebijakan
ini memang harus dilengkapi rencana aksi yang rinci karena salah satu tantangan
besar bangsa Indonesia adalah inefisiensi dan birokrasi yang dinilai lambat dan
kurang tanggap. Memang, rujukan yang rinci pun belum tentu menjamin
terlaksananya suatu program nasional yang kompleks, tetapi Indonesia telah
memiliki suatu acuan mendasar tentang arah pengelolaan laut Nusantara melalui
KKI. Apabila kita semua memang ingin menjadi negara maritim yang sejahtera dan
kuat serta disegani dunia, pelaksanaan KKI adalah suatu keniscayaan.
Arif
Havas Oegroseno Deputi Kedaulatan Maritim Kemenko Kemaritiman
(
Sumber : Harian Kompas.id Tanggal 14 Juli 2017 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar