Poros
Maritim : Revitalisasi Pelabuhan Sepanjang Selat Malaka
Oleh harmen batubara
Kita pernah mengenal Jalur
Sutra Nusantara. Jalur sutra nusantara diantara ide poros maritim dunia yang
kini terus mengemuka. Membuat kita ingat kembali pada zaman masa lalu. Jalur
sutra Nusantara muncul karena Pesona dan Kehebatan Rempah-rempah Nusantara
menghipnotis gaya hidup pemilik uang di kala itu. Zaman berubah dan eporia
rempah-rempah sirna. Kemudian muncul Selat Malaka jadi perlintasan perdagangan
dunia di jalur Nusantara. Para ahli melihat betapa strategisnya posisi
Indonesia dalam perlintasan perdagangan Dunia. Tetapi sayangnya Indonesia belum
mampu memanfaatkan peluang – peluang itu secara nyata-Kualitas layanan dan
infrastruktur Pelabuhan kita di sepanjang perlintasan tersebut jauh dari
memadai-Ibarat jalan Tol-Indonesia tidak cukup tanggap untuk membuat “REST
AREA” yang memikat di sepanjang jalur tol atau poros maritime dunia tersebut.
Begitu juga dengan pesona rempah-rempah-tidak ada atau belum terlihat upaya
nyata untuk “menhadirkan kembali kekuatan pesona rempah-rempah” di era modern.
Malah rempah rempahnya sendiri seolah segan untuk tumbuh kembali di pulau itu.
Pada zaman baheula jalur sutra
nusantara itu sejatinya diyakini sudah berkembang sejak zaman Sriwijaya dan
Majapahit, kala itu saudagar dari Gujarat dan semenanjung Arab masuk ke
nusantara lewat kepulauan Andaman – pulau Wee atau Sabang-terus ke Lamuri (Aceh
Besar). Dari Lamuri mereka bisa lewat jalur selatan lewat pulau
Simeuleu-Barus-Padang terus ke selat Sunda. Dari sini mereka bisa langsung ke
Sunda Kelapa (Batavia) dan bisa juga ke pesisir utara pulau jawa lewat Kediri
(Kahuripan)-Bali-Bima-Banggai-terus ke kepulauan Maluku, pada waktu itu Maluku
sebagai pusat perdagangan rempah-rempah. Mereka bisa juga dari
Sabang-Lamuri-Perlak-Kedah-Indragiri-Jambi-Sriwijaya (Palembang) mereka juga
bisa terus ke Sunda Kelapa ( Batavia).
Terkait Poros Maritim dan
revitalisasi Jalur Sutra ini-Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas di
Hotel Inna Parapat, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, Sabtu
petang, 20 Agustus 2016. Rapat terbatas ini membahas tentang Percepatan
Implementasi Poros Maritim. "Hampir dua tahun kita berbicara masalah poros
maritim dan sampai saat ini, saya kira implementasinya ada yang sudah berjalan
tapi banyak yang belum," ujar Presiden ketika memberikan pengantar.
Sebagai negara yang dua pertiga wilayahnya adalah laut, Indonesia harus dapat
memanfaatkan kondisi tersebut. "Kita harus manfaatkan posisi strategis
Indonesia yang terletak berbatasan di antara Samudera Hindia dan Samudera
Pasifik," tutur Presiden.
Lokasi geostrategis ini,
lanjut Presiden, harus dimanfaatkan dengan membangun pengembangan pelabuhan yang
ada. "Kemudian kita juga harus beri prioritas pada infrastruktur,
konektivitas antar pulau, konektivitas maritim dengan membangun tol laut,"
ujar Presiden.Presiden berharap agar dilakukan perhatian terhadap pembangunan
yang berkaitan dengan SEA PORT, DEEP
SEAPORT, LOGISTIK, INDUSTRI PERKAPALAN DAN PENGOLAHAN IKAN. "Saya berharap
pengolahan laut di sepanjang pantai terutama yang berbatasan dengan Selat
Malaka, Batam, Medan, Sumut, bisa betul-betul kita kembangkan menjadi pelabuhan
kelas dunia," imbuhnya.
Jalur perdagangan atau jalur
sutra nusantara masa kejayaan Sriwijaya dan Majapahit itu, kini seolah tidak
berbekas. Ada banyak masa dahulu, pembangunan Nusantara seolah membelakangi
laut dan lautan. Hal ini terlihat dari terus berkembangnya jalur pelayaran
Cargo internasional yang masih memanfaatkan jalur sutra masa lalu tapi
Indonesia tidak mampu memanfaatkannya-misalnya bisa kita lihat dengan jelas.
Jalur cargo internasional (transhipment) dari India dan semenanjung Arab
melewati Sabang-terus ke jalur selatan-lewat Simeuleu-Sibolga-Padang dan terus
selat Sunda-Jakarta-terus ke A jalur ALKI I di laut Sulawesi-terus ke Tawau
(Sebatik) dan terus ke Hongkong-Jepang –USA.
Jalur lainnya lewat Sabang
mereka masuk ke selat Malaka dan terus ke Johor atau Singapura dan kemudian
masuk ke jalur ALKI II terus ke kepulauan Riau-Kepulauan
Natuna-Taiwan-Hongkong-Jepang dan USA. Apa yang terjadi? Mereka memang melewati
laut Nusantara tetapi tidak pernah berhenti atau “isi ulang keperluan
logistik”nya di pelabuhan-pelabuhan Indonesia. Karena memang PELABUHAN KITA
TIDAK MEMENUHI STANDAR INTERNASIONAL yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Pelabuhan kita umumnya terkesan masih kumuh-penuh pungutan liar dengan dwelling
time yang tidak umum.
Dari dahulu kesadaran akan
vitalnya selat Malaka dan besarnya potensi ekonomi yang lewat di jalur Cargo
tersebut sudah kita tahu, tetapi dalam aksinya tidak ada yang sungguh-sungguh
ingin mengembangkan fasilitas atau sarana kepelabuhanan yang bertaraf
internasional di sekitar jalur tersebut. Padahal kita mempunyai gugusan atau
rangkaian pulau-pulau terluat di jalur tersebut. Misalnya, untuk gugusan di
rangkaian Pulau Wee, Sabang terdapat tujuh pulau di sana yakni, Pulau Rondo,
Berhala, Salaut Besar, Salaut Kecil, Rusa, Raya, dan Simeulucut. Kemudian
gugusan di rangkaian Kepulauan Riau, pulau Batam ada sebanyak 19 pulau yakni,
Pulau Sentut, Tokong Malang Biru, Damar, Mangkai, Tokong Nanas, Tokong Belayar,
Tokong Boro, Semiun, Sebetul, Sekatung, Senua, Subi Kecil, Kepala, Iyu Kecil, Karimun
Kecil, Nipah, Pelampong, Batu Berhanti, dan pulau Nongsa.
Indonesia memang mempunyai
pelabuhan di Sabang-Meulaboh-Barus-Padang-Bengkulu dan seterusnya hingga ke
selat Sunda. Tetapi pelabuhan-pelabuhan ini, kualitasnya baru setara kelas
Provinsi, jauh dibawah standar Nasional dan tidak bisa di manfaatkan oleh
kapal-kapal Transhipment internasional. Demikian juga dengan jalur Selat
Malaka. Kita mempunya pelabuhan Sabang- Belawan-Batu Ampar Batam tetapi sekali
lagi masih sangat jauh dari memadai. Pelabuhan Batu Ampar dengan kapasitas 400
ribu TEU bandingkan Singapura dengan kapasitas 34 juta TEU pertahun, masih jauh
dari memadai, khususnya pelayanannya yang sangat memprihatinkan. Batam juga ada
rencana mau membangun Pelabuhan Baru di Tanjung Sauh dengan kapasitas 6 juta
TEU. Tetapi melihat apa yang bisa mereka buat di Batu Ampar, pelabuhan baru ini
juga sepertinya bila tidak diperhatikan dengan benar, maka ia tidak akan mampu
memberikan layanan yang baik bagi kastomernya. Artinya jalur Selat Malaka yang
demikian potensial itu hanya bisa jadi tontonan belaka. Sementara Singapura dan
Malaysia telah menikmati manfaatnya bagi perkembangan ekonomi nasionalnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar