Secara
Sederhana kalau kita mendengar kata DIPLOMASI PETA maka pikiran kita akan
merujuk pada suatu kegiatan melakukan penerbitan Peta Wilayah NKRI secara
periodik yang diikuti oleh berbagai kegiatan yang memungkinkan pemunculan Peta
NKRI baru tersebut akan memberikan lebih terjalinnya suasana persahabatan
dengan negara tetangga. Hal itu bisa terkait dengan kegiatan perpetaan dengan
negara tetangga; baik dengan negara tetangga dekat ataupun tetangga jauh.
Tetapi kalau kegiatan tersebut justeru menuai “Kritik” maka tentu saja akan
berlawanan dengan istilah Diplomasi itu sendiri.
Dengan
kacamata seperti itu. Indonesia, entah terinspirasi oleh Filipina atau tidak,
tetapi faktanya Indonesia juga ikut mengubah nama Laut China Selatan menjadi
Laut Natuna Utara. Sebagaimana kita ketahui Filipina pada tahun 2011 mengubah
nama Laut China Selatan menjadi Laut Filipina Barat. Tiongkok waktu itu tidak terima dan protes ke Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag,
Belanda. Pada tahun 2016 Badan itu ternyata menolak keberatan pemerintah Tiongkok, dan
mengatakan bahwa Filipina punya hak untuk menamai wilayah lautnya sesuai dengan
keinginan mereka.
Pada
tahun 2017, tepatnya 14 Juli 2017 Indonesia resmi mempublikasikan Peta NKRI
baru dengan mengganti Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara. Tongkok
jelas tidak bisa terima.Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Geng
Shuang, menekankan bahwa diperlukan waktu lama, serta sesuai dengan penamaan
standar internasional, istilah Nanhai atau Laut China Selatan telah diterima
komunitas internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa. “Perubahan nama
sebagaimana Anda sebutkan itu tidak masuk akal dan tidak kondusif bagi upaya
standardisasi internasional penamaan sejumlah tempat,” kata Shuang sembari
berharap negara-negara yang berada di wilayah Laut China Selatan untuk bekerja
sama dengan Beijing.
Terkait
protes ini, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan
menegaskan penggunaan nama Laut Natuna Utara bukan untuk menggantikan nama Laut
China Selatan. "Perubahan peta itu sebenarnya masih di daerah kita saja.
Tidak mengganti South China Sea (Laut China Selatan)," ujar Luhut di
Gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta,
Bagi
Indonesia sendiri, peluncuran peta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
pada (14/7/2017) di Jakarta oleh Kemenko Kemaritiman sejatinya adalah hasil
dari kegiatan pemetaan batas bersama antara Indonesia dengan negara
tetangganya, seperti Malaysia, Singapura dan Filipina. Pembaharuan itu jelas
merupakan bagian ajang persahabatan Komunitas penegasan batas antara Indonesia
dengan negara tetangganya. Kegiatan itu sangat konstruktif dan dalam suasana
bersahabat yang telah terjalin lama dalam hal kegiatan penegasan batas laut dengan negara tetangga.
Kita
mengatakannya demikian karena yang dilakukan “Panitia Pembaruan Peta NKRI 2017”
itu memang masih merupakan kelanjutan berbagai kegiatan penegasan batas yang
telah dilakukan oleh Indonesia dengan negara tetangganya. Konkritnya ada
beberapa hal dan data perbatasan baru yang melatarbelakangi perlunya pembaruan NKRI
tersebut, beberapa diantaranya :
Pertama, Pemetaan Batas Laut
antara Indonesia-Singapura-Filipina; yakni adanya perjanjian perbatasan laut
teritorial yang sudah berlaku, yakni antara Indonesia dan Singapura di sisi
barat dan sisi timur. Demikian juga dengan perjanjian batas Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) Indonesia dan Filipina yang sudah disepakati bersama dan
diratifikasi. Maka, dalam waktu yang tak lama lagi, dua perjanjian itu akan
berlaku.
Kedua, hal itu juga masih berkaitan
keputusan arbitrase antara Filipina dan China. Keputusan ini memberikan
yurisprudensi hukum internasional bahwa pulau kecil atau karang kecil di tengah
laut yang tak bisa menyokong kehidupan manusia tidak memiliki hak ZEE 200 mil
laut serta landas kontinen. Karena itu, pulau-pulau kecil milik negara tetangga
hanya diperhitungkan dan diberikan batas 12 mil laut.
Ketiga, merujuk pada pembaruan
kolom laut di utara Natuna. Hal ini mengacu pada Landas kontinen di kawasan itu
sejak 1970-an menggunakan nama blok sesuai dengan referensi arah mata angina
seperti Blok Natuna Utara, Blok Natuna Selatan, Blok Natuna Timur, dan Blok
Natuna Tenggara.
Karena
itu, supaya ada satu kejelasan, kesamaan antara kolom laut di atasnya dengan
landas kontinennya dibawahnya, kolom laut itu disepakati oleh tim nasional diberi nama
Laut Natuna Utara. Nama ini disebutnya jelas menyesuaikan dengan nama blok-blok
migas yang sudah ada di landas kontinen di bawahnya.
Keempat, pemerintah ingin
mempertegas klaim di Selat Malaka dengan melakukan simplifikasi klaim garis
batas guna mempermudah penegakan hukum. Selain itu, di kawasan dekat perbatasan
Singapura, sudah ada garis batas yang jelas. Dengan posisi itu, peta perlu
diperbarui sehingga petugas TNI AL, Bea dan Cukai, serta kesatuan penjagaan
laut dan pantai akan mudah berpatroli.
Tradisi Pembaruan Peta NKRI
Pemerintah
Indonesia meski tidak dijadwalkan secara periodik, tetapi sudah melakukan pembaharuan
Peta NKRI sesuai kebutuhan. Pembaruan Peta NKRI selama ini dilakukan oleh badan perpetaan Nasional yang dimotori
oleh BIG, Dittop TNI-AD, Pusat Hidrografi
& Oseanografi TNI-AL serta oleh Kementerian/Lembaga ( K/L) terkait seperti Kemenko Polhukam, Kemenko Perekonomian,
Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan,
Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian
Perhubungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan
dan Perikanan, Polri, Badan Keamanan Laut, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, dan Badan Meteorologi, Klimatologi
dan Geofisika Dll sesuai kebutuhan.
Indonesia
sudah sering memperbaharui Peta NKRI, misalnya ketika akan merilis UU No 43 Tahun 2008
tentang Wilayah Negara juga di rilis peta NKRI baru ; Tahun 2015 Indonesia juga Indonesia mengeluarkan
Peta NKRI. Dalam revisi ini terdapat sejumlah pembaharuan seperti revisi
perbatasan dengan negara tetangga dan perubahan atau penambahan toponim batas
administrasi. Terjadi revisi berupa tambahan batas laut teritorial yang telah
disepakati pada September 2014 antara Indonesia dengan Singapura, serta
perubahan batas landas kontinen. Selain itu, juga telah disepakati persetujuan
perubahan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dengan Filipina, batas wilayah darat
Indonesia dengan Timor Leste, dan perubahan tempat tulisan Laut Natuna di dalam
peta dll.
Memang
tidak ada yang kurang dalam hal ini. Tapi kalau kegiatan Peta pembaharuan perbatasan
ini dilakukan secara seremonial dengan mengikut sertakan negara-negara tetangga
yang terkait tentu akan berbeda suasannya dan jelas akan menjadikan kegiatan
penegasan batas itu lebih bersahabat dan menyenangkan. Jadi apa yang terjadi dengan pembaharuan Peta
NKRI 2017?. Yang istimewa dari Peta NKRI 2017 sebenarnya hanya “sedikit” yakni adanya
penamaan ruang laut yang tadinya dikenal sebagai bagian dari Laut China Selatan
(LCS) ditambah menjadi Laut Natuna Utara (LNU). Secara logika sebenarnya tetangga
jauh tidak perlu protes, sebab kedua negara sendiri tidak termasuk dalam bagian
negara yang saling berbatasan. Kalau kita mengubah nama yang mereka senangi
dengan yang kita senangi tentu tidak perlu dipersoalkan. Tokh kita bukannya
mengubah nama tetapi menambah nama yang kita senangi di wilayah kita sendiri.
Deklarasi Peta Malaysia 1979
Berbeda
dengan semangat diplomasi penerbitan Peta NKRI 2017 yang tidak mendapat protes
dari negara tetangganya. Pemerintah
Malaysia justeru pernah mendeklarasikan Peta Barunya pada Tahun 1979, tetapi
justeru mendapat protes dari negara negara tetangganya sendiri. Usut punya usut,
ternyata pemerintah Malaysia mengeluarkan Peta 1979 justeru merupakan jurus
Diplomasi untuk memanfaatkan situasi sebelum hadirnya UNCLOS 1982. Pemerintah
Malaysia ingin mengantisipasi UNCLOS (United Nations Convention on the Law of
the Sea, Hukum Laut Internasional). Sebab
mereka percaya UNCLOS justeru akan memperlemah posisi perbatasannya
sendiri, dan sebaliknya memperkuat
posisi perbatasan negara tetangganya, seperti Indonesia, Singapura dan Filipina.
Jadi sangat wajar kalau Peta Malaysia Tahun 1979 ini diprotes banyak negara
tetangganya.
Peta Malaysia
Tahun 1979, mendapat protes dari negara tetangganya hampir menyangkut semua segmen. Di Selat Malaka Malaysia
mencampur aduk antara ZEE (zona ekonomi eksklusif) dan landas kontinen. Di
Selat Singapura, dia memasukkan beberapa wilayah Singapura ke peta tersebut. Di
dekat Laut Cina Selatan, gambaran dia juga membuat masalah dengan Filipina,
Vietnam. Di Laut Sulawesi bermasalah dengan kita dan dengan Filipina. Di semua
segmen dia bermasalah. Itu permasalahan Peta Malaysia 1979. Tetapi sebagai
langkah Diplomasi, apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang perlu di
apresiasi. Kepekaannya atas kepentingan Nasionalnya, negara itu dengan lihai
memanfaatkan “timing waktu” sebelum UNCLOS diberlakukan.
Dalam
sejarah nya negara-negara ASEAN, Asia Tenggara, tidak ada yang mengeluarkan
peta unilateral selain Malaysia. Tetapi
kini langkah seperti itu nampaknya justeru dimanfaatkan dan dicontoh oleh
negara-negara anggota Asean, minimal oleh Filipina dan Indonesia. Tetapi
sebenarnya kalau dilihat dari sisi Diplomasi, penamaan baru seperti itu tidak
akan membawa perubahan apa-apa. Kecuali bagi negara si penerbitnya. Secara
emosional mereka mungkin senang nama wilayahnya disebut dengan nama yang
berciri khas negaranya.
Tetapi
bagi regional, hal itu sebenarnya hanya membuat suasana kurang kondusif. Tidak
ada yang salah di sana, dan seperti kata Menteri Koordinator Bidang
Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan penggunaan nama Laut Natuna Utara bukan
untuk menggantikan nama Laut China Selatan. Tapi itulah dinamika. Meski bisa
jadi menimbulkan sedikit gaduh, tetapi Diplomasi Peta memang sebaiknya
dilakukan secara bersama-sama dengan negara tetangga yang terlibat langsung.
Karena dipercaya dengan cara itu, maka penerbitan Peta NKRI baru justeru akan
membuat persahabatan antar negara yang saling berbatasan bisa lebih solid dan
saling menguatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar