Kamis, 14 Desember 2017

Negara- Negara Besar Berupaya Tapsir Ualng UNCLOS






RI Perlu Siaga: Negara- Negara Besar Berupaya Tapsir Ualng UNCLOS

 Indonesia harus aktif dalam berbagai forum internasional untuk memastikan konvensi hukum laut PBB, UNCLOS, tidak salah dipahami. Sebagai negara kepulauan, Indonesia akan paling dirugikan jika konvensi itu diselewengkan. Pakar hukum internasional Universitas Nasional Singapura, Robert Beckman, mengatakan, tidak semua negara meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut (UNCLOS). Sejumlah negara juga berpotensi mempunyai pandangan berbeda soal UNCLOS.

”Indonesia harus aktif di forum-forum internasional agar perbedaan pemahaman UNCLOS tidak merugikan Indonesia,” ujar Beckman pada simposium Hari Nusantara yang diselenggarakan Kementerian Luar Negeri, Rabu (13/12), di Jakarta. Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Madya Achmad Taufiqoerrochman, Duta Besar Indonesia untuk Inggris dan Organisasi Maritim Internasional (IMO) Rizal Sukma, serta Utusan Khusus Presiden untuk Penetapan Perbatasan Maritim Eddy Pratomo juga menjadi pembicara dalam simposium itu.

Beckman mengatakan, status negara kepulauan Indonesia diakui dunia internasional karena ada UNCLOS. Padahal, Indonesia sudah mendeklarasikan diri sebagai negara kepulauan sejak
13 Desember 1957. Hari deklarasi itu diperingati sebagai Hari Nusantara. Namun, negara-negara lain tak mengakui deklarasi itu dan Indonesia harus menerima fakta, laut di antara pulau-pulaunya bukan wilayah hukum Indonesia.

”Sebelum UNCLOS, laut teritorial Indonesia hanya diakui 3 mil (sekitar 5,5 km) dari garis pantai. Setelah UNCLOS, Indonesia bisa menarik garis perbatasan dari landas kontinen dan semua (perairan dan daratan) di dalam garis itu menjadi wilayah Indonesia,” tuturnya. Rizal Sukma mengatakan, ada upaya menafsirkan ulang UNCLOS oleh negara-negara besar agar sesuai dengan kepentingan mereka. Hal itu bisa mengancam Indonesia.

Letak geografis Indonesia membuka peluang negara lain menafsirkan UNCLOS secara berbeda dan melanggar kedaulatan Indonesia. Semua negara harus melewati perairan Indonesia, baik teritorial maupun zona ekonomi eksklusif, untuk kepentingan niaga dan militer. Sebab, jalur pelayaran vital global harus melewati Selat Malaka, lalu menyisir di sekitar Natuna. ”Indonesia harus asertif di forum internasional dan memastikan UNCLOS tidak ditafsirkan berbeda,” kata Rizal.

Ia mengatakan, perubahan nilai laut dari sekadar ekonomis menjadi strategis membuat solusi sengketa maritim semakin sulit dicari. Sumber daya maritim dan sengketa perairan juga lebih mungkin terjadi. Hubungan antarnegara akan cenderung menjadi perseteruan kekuatan laut. Akibatnya, akan terjadi perlombaan persenjataan di laut. Persaingan di Laut China Selatan dan Samudra Hindia adalah mimpi buruk bagi Indonesia. Sebab, Indonesia berada di pusat dua perairan itu.



Pelanggaran

Achmad Taufiqoerrochman mengatakan, setelah UNCLOS disahkan pada 1982 sekalipun, masih ada negara yang belum mau menghormati kedaulatan Indonesia di wilayah yang penetapannya sudah sesuai UNCLOS. Hal itu, antara lain, tecermin pada insiden Bawean tahun 2003. Kala itu, pesawat F-16 Amerika Serikat terbang sampai di atas Pulau Bawean yang terletak di utara Jawa. AS beralasan, mereka bebas bergerak di mana saja sebagai bagian dari kebebasan bernavigasi (FON). Sampai sekarang, AS memang tidak meratifikasi dan mengakui UNCLOS.


Kini, pelanggaran laut paling banyak terjadi di sekitar Natuna, Kepulauan Riau. Sebanyak 62 persen pelanggaran laut terjadi di sana dalam bentuk pencurian ikan, latihan militer, hingga perlintasan tanpa izin. Eddy Pratomo mengatakan, masalah di sekitar Natuna, antara lain, muncul karena belum selesainya beberapa titik perbatasan Indonesia dengan Vietnam dan Malaysia. Titik perbatasan itu masih terus dirundingkan sampai sekarang. Malaysia berkepentingan dengan Natuna karena wilayahnya pada sisi semenanjung dan daerah di Kalimantan dipisahkan Laut Natuna. Sumber : Kompas.id, RI Harus Aktif Jaga UNCLOS; Ada Upaya Penafsiran Ulang oleh Negara-negara Besar yang Ancam Kedaulatan, 14 Desember 2017  (RAZ)

Tidak ada komentar: