Sabtu, 30 Maret 2013

Wilayah Perbatasan, Penanganan OBP Outstanding Boundary Problems RI-Malaysia Belum Ada Kemajuan | WilayahPerbatasan.com



Wilayah Perbatasan, Penanganan OBP Outstanding Boundary Problems RI-Malaysia Belum Ada Kemajuan | WilayahPerbatasan.com



Terkait permasalahan di kawasan, ditemukan beberapa pakta yang mencengangkan, artinya sekilas kita menganggapnya biasa saja, tetapi fakta memperlihatkan bahwa masalah terkait perbatasan suatu wilayah adalah sesuatu yang mampu membawa sengketa sampai ke tingkat yang paling konyol, misalnya saling menghancurkan. Hal ini terjadi di dalam negeri dan juga perbatasan dengan negara tetangga. Indonesia mempunyai 10 negara tetangga, dan sampai sekarang belum ada perbatasannya yang sudah selesai.
Masalah perselisihan batas terjadi di berbagai provinsi, kabupaten/kota di Negara kita. Boleh dikatakan hampir semua pemda yang mempunyai persoalan perbatasan baru satu persen yang bisa diselesaikan. Di Indonersia berbagai persoalan yang terkait dengan batas pemerintahannya. Dari jumlah perbatasan yang terdiri dari 946 segmen (151 segmen provinsi, 795 segmen Kab/Kota) yang terselesaikan baru 151 segmen dan yang sudah ditetapkan dengan Permendagri baru 79 dan dalam proses 206 segmen sementara 609 segmen lagi belum tersentuh.
Di kawasan Asia hal yang sama juga terjadi, misalnya persoalan batas antara kedua Korea; masalah batas antara Thailand dan Kamboja, antara RI-Malaysia, antara Bangladesh-Birma dan masalah batas di kepulauan Spratly di laut China selatan yang menyangkut perseteruan batas antara China-Vietnam-Malaysia-Filipina dan Brunai Darussalam.
Masalah perbatasan walaupun bukan sesuatu yang sulit untuk ditetapkan ( secara teknis penetapan batas sangat mudah) tetapi persolan batas perlu dikerjakan dengan baik, sesuai dengan acuan hukum yang berlaku. Menurut Laksamana pertama Soesetya (Deputi I BNPP); sekali batas ditetapkan maka selamanya dia tidak bisa diganggu gugat. Tidak ada maaf dan tidak ada negosiasi ulang; kalaupun misalnya terjadi perang, maka Negara pemenang tidak juga bisa menetapkan batas seenaknya.
Nah kalau kita berkaca dengan penegasan perbatasan antara RI-Malaysia, disamping telah banyak yang dapat diselesaikan dengan baik dan sama-sama senang tetapi sesungguhnya kita mempunyai persoalan batas Negara dengan Malaysia. Tetapi belum tertangani dengan baik. Sebagai Negara bekas jajahan Inggris dan ditembah lagi dengan tingkat kesejahteraan Negara itu, mereka telah melaksanakan penegasan batas Negara dengan baik, dan terorganisir dengan cara-cara yang sederhana, tetapi “built-in”, artinya badan/kementerian yang menanganinya dari dahulu ya ada dalam satu kementerian.
Sangat berbeda dengan Indonesia, yang penanganannya lebih bersifat kepanitiaan dan ad-hoc. Setiap tahun pejabat dan instansi yang menanganinya berbeda dan itu sudah berjalan lebih dari 30 tahun. Untungnya sekarang Indonesia sudah mempunyai BNPP ( badan nasional pengelola perbatasan) dan kita berharap badan inilah yang akan mengelola dan menanganinya dengan baik dan sungguh-sungguh. Hanya saja setelah tiga tahun berdiri BNPP ternyata masih belum bisa memberikan solusi yang memadai. Malah terlihat justeru semakin tidak tertata dengan baik, khususnya yang terkait OBP.
Pelaksanaan survei dan penegasan batas wilayah RI – Malaysia di Kalimantan dimulai pada tahun 1975. Pada pelaksanaan survei dan penegasan batas tersebut, telah timbul permasalahan di perbatasan baik yang diakibatkan oleh perbedaan datum seperti yang dijelaskan di atas, maupun karena perbedaan interpretasi Traktat-traktat yang dibuat antara Pemerintah Belanda dengan Pemerintah Inggris. Permasalahan-permasalahan(kedua pihak menyebutnya dengan : The Out Standing Boundary Problems(OBP)tersebut.
Pada dasarnya perbatasan sepanjang 2004 km telah selesai di survey dan diukur oleh Tim bersama kedua negara. Tim bersama ini telah melakukan delineasi diatas peta dan foto udara, sama-sama melakukan pengecekan di lapangan, sama-sama melakukan proses demarkasi sesuai prosedur yang telah di setujui. Tetapi kemudian sesuai dengan pertimbangan kepentingan negaranya, pemerintah Malaysia lalu memintak untuk mengkaji ulang kembali posisi batas pada lokasi-lokasi tertentu. Itulah kemudian yang menyebabkan munculnya permasalahan OBP.

Terkait OBP ini telah dibahas dalam berbagai  pertemuan kedua belah pihak, antara lain : 

Pada pertemuan Panitia Nasional ke – 18 (Minutes Nasional/JIM ke – 18) yang diadakan di Jakarta, Indonesia, tanggal 18 – 20 Oktober 1993, antara lain telah menyetujui bahwa supaya semua masalah yang berkaitan dengan perbatasan kedua negara segera diputuskan setelah seluruh pelaksanaan survei dan penegasan batas selesai dilaksanakan. 
Pada Pertemuan Panitia Nasional ke – 25 (Minutes Nasional JMI  ke – 25) yang diadakan di Pulau Pinang, Malaysia, tanggal 24 – 26 February 2000, telah menyetujui dan memerintahkan kepada Kedua Komite Teknik untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengkaji dan mengemukakan alternatif penyelesaian permasalahan perbatasan tersebut sebaik mungkin. 
Pada Pertemuan Teknik ke – 31 (Minutes Teknik/IMT – 31) di  Bandung, Indonesia, tanggal 20 – 22 September 2000pada titik g. Agenda 7, 3)( halaman 12) menyatakan bahwa : untuk segera membentuk sebuah Kelompok Kerja (A Joint Working Group / JWG) dan menerbitkan proposal sebagai bahan pertimbangan dan persetujuan terhadap Pokja ini.
Pada Pertemuan Tingkat Nasional/The Joint Bondary Committee Meeting (Minutes Nasional/JMI – 27) di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia tanggal 29-31 Oktober 2001, telah disetujui untuk menyelenggarakan pertemuan khsusus untuk membahas TOR untuk The Joint Working Group dalam rangka membahas OSBP tersebut.
Dari Pertemuan ke 27 tersebut, diputuskan untuk diadakan Pertemuan Khusus (The Special Metting) yang diberi nama “The Special Metting to Finalise the Terms of Reference for the Joint Working Group on the Outstanding Boundary Problems on the Joint Demarcation and Survey of The International Boundary betweenIndonesia and Malaysia) di Jakarta pada 10-11 April 2002.Sejak itu sampai dengan sekarang kedua belah pihak belum bisa membahas persoalannya secara substansi dengan semua alasan yang logis dan diterima oleh kedua Negara tentunya.

Dalam hal ini permasalahan dibagi atas dua bagian besar yaitu permasalahan di sektor Barat, antara Kalimantan Barat (Indonesia) dengan Serawak (Malaysia) serta permasalahan di sektor Timur, yaitu antara Kalimantan Timur (Indonesia) dengan Sabah (Malaysia).
PERMASALAHAN DI SEKTOR BARAT
Ada 5 (lima) permasalahan di Sektor Barat batas negara antara Kalimantan Barat (Indonesia) dengan Serawak (Malaysia), yaitu :
  1. Masalah Tanjung Datu,
  2. Masalah Batu Aum,
  3. Masalah titik D.400
  4. Masalah Gunugn Raya
  5. Masalah Gunug Jagoi/Sungai Boean

Kelima masalah tersebut memang tidak tepat kalau saya uraian disini, sebab persoalannya memang masih ditangani oleh Tim dan tentu sangat tidak tepat kalau persoalannya dibuka kepada umum.
PERMASALAHAN DI SEKTOR TIMUR
Ada 5 (lima) permasalahan di Timur batas negara antara Kalimantan Timur (Indonesia) dengan Sabah (Malaysia), yaitu :
  1. Masalah Pulau Sebatik
  2. Masalah Sungai Sinapad,
  3. Masalah Sungai Sematipal
  4. Masalah di titik B.2700-B.3100
  5. Masalah di Titik C.500-C.600

Ketidak Siapan Pemerintah Indonesia 

Seperti dikemukakan, kelemahan yang paling mendasar dalam Tim Perbatasan Indonesia adalah karena sifatnya yang berpola Kepanitiaan atau ad-hoc. Secara fungsional penanganan OBP ada pada Direktorat Administrasi dan Wilayah Perbatasan, Ditjem PUM Kemdagri, sementara secara teknis keanggotaannya tersebar di Direktorat Teknis Survei dan Pemetaan yang meliputi; Badan Informasi Geospasial (BIG), Direktorat Topografi TNI-AD, Dinas Oceano Hydrografi TNI-AL, Lapan, Perguruan Tinggi dll.
Karena sifatnya yang kepanitiaan, maka personil yang menanganinya juga terus berganti sesuai dinamika di instansinya masing-masing. Sehingga secara teknis yang menguasai dan mengetahui persoalannya terus tergerus, dan bahkan sering terjadi pesertanya sama sekali tidak tahu persis apa itu perbatasan, apalagi OBP. Padahal masalah OBP sangat teknis, sangat detail yang memerlukan pemahaman teknis, sejarah dan hukum Surta itu sendiri.
Seharusnya Tim Teknis ini harus secara terus menerus melakukan kajian, yang meliputi kajian Traktat, sejarah, teknis Survei dan pemetaan. Tim ini membutuhkan dukungan teknis, baik itu peta-peta versi lama tahun 1891 an, juga data-data empiris  liputan citra dalam time frame tertentu yang kesemua itu memastikan agar Tim mengetahui secara persis wilayah yang mereka akan tentukan batasnya. Sayangnya, keinginan untuk mendukung cara kerja Tim OBP Batas yang seperti itu tidak terdukung dengan baik. Sehingga bisa dibayangkan, apa yang bisa mereka lakukan untuk mempersiapkan diri dalam berunding dengan Malaysia. Sehingga dalam puluhan tahun terahir posisi Indonesia itu boleh dikatakan hanya sebagai pengamat dan maksimalnya hanya bisa “take Note”.
Tadinya kita berharap pada BNPP, tetapi ternyata BNPP malah belum ditugasi untuk itu dan sayangnya BNPP juga tidak ada perhatian yang memadai. Jadi apa yang terjadi? Batas kedaulatan yang demikian kita hargai itu, sama sekali tidak tertangani secara memadai. Pokja OBP yang diharapkan dapat melakukan kajian yang benar, serius dan berlanjut kini sama sekali tidak jalan. Kalaupun jalan itu hanya oleh karena “kesadaran” para orang per orangnya yang masih mau melakukan “kajian” secara bergilir di kantonya setelah jam kantornya usai. Artinya mereka sama sekali tidak memperoleh dukungan. Sebenarnya hal ini terjadi karena mereka yang tengah diberi kewenangan untuk menanganinya, tetapi tidak menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya.
Jadi bagaiamana kita mengatakan ini pada mereka yang menjadi pengelola atau ketua atau anggota pokja OBP perbatasan RI-Malaysia. Sungguh sebuah ke alfaan yang menurut penulis tidak akan pernah termaafkan. Kita mengharapkan Pokja OBP ini bisa bekerja optimal, dengan target yang jelas, jadwal kerja yang konkrit dan dukungan material yang baik. Sayangnya hal itulah yang belum bisa Indonesia lakukan. Konyol memang, tetapi itu nyata. Padahal di kalangan Asean Indonesia selalu dianggap bijak terkait masalah perbatasan; padahal nyatanya persiapan untuk itu sama sekali jauh dari memadai. 


Tidak ada komentar: