Ditengah
penantian pembangunan perbatasan, kita senang membaca apa yang terdapat dalam
twitter presiden RI. Dalam twitter beliau: disampaikan bahwa “Kemajuan
pembangunan jalan perbatasan Kalimantan, NTT dan Trans Papua menggembirakan,”
tulis Presiden Jokowi melalui akun twitternya @Jokowi yang dikutip Republika,
Kamis (27/8/2015). Sementara itu melalui FAN PAGE facebooknya yang juga
diunggahnya Kamis (27/8), Presiden Jokowi menyampaikan, jalan perbatasan Kalimantan
sepanjang 771,36 kilometer (Km), membentang dari Kalimantan Barat, Kalimantan
Utara hingga Kalimantan Timur. “Sampai Agustus 2015, ruas yang sudah diaspal
188,37 Km dan ruas yang sudah fungsional sebagai jalan tembus 441,70 Km,” papar
Jokowi. Adapun jalan perbatasan Nusa Tenggara Timur (NTT) sepanjang 171,56 Km.
Sampai akhir 2015 ditargetkan sepanjang 47 Km, tahun 2016 sepanjang 67,61 km,
dan tahun 2017 adalah penyelesaian akhir sepanjang 56,95 km. Sedangkan jalan
Trans Papua sepanjang 4.325 Km. “Sampai saat ini jalan yang teraspal sudah
mencapai 2.075 Km. Jalan Trans Papua ditargetkan rampung 2019,” kata Presiden
Jokowi. Kita percaya bapa Presiden semoga pembangunan wilayah perbatasan kian
nyata dan terwujud sebagaimana harapan kita semua.
Saat
ini, boleh dikatakan kepercayaan masyarakat perbatasan kepada pemerintah sudah
ada di titik nadir, janji manis membangun perbatasan itu sudah diucapkan oleh
pejabat berwenang sejak puluhan tahun yang lalu. Kini janji yang sama kembali
diutarakan pemerintah. Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menjadikan janji
itu sebagai salah satu poin dalam Nawa Cita, yang merupakan visi dan misi
mereka, membangun Indonesia dari pinggiran. Implementasinya, rencana
pembangunan perbatasan masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) Tahun 2015- 2019. Dengan demikian, setiap kementerian/lembaga harus
membuat rencana strategis untuk mencapai target pembangunan perbatasan di
RPJMN. Di beberapa wilayah perbatasan getaran pembangunan itu meski sedikit, tapi
sudah terasa. Hal itulah yang membuat para pihak juga masih punya optimism.
Program
itu memang nyata dan ada di dalam program pembangunan perbatasan, 10 daerah
bakal dikembangkan menjadi pusat kegiatan strategis nasional (PKSN) dan 187
kecamatan perbatasan ditetapkan menjadi lokasi prioritas pembangunan.
Seluruhnya tersebar di 41 kabupaten/kota dan 13 provinsi. Khusus untuk tahun
ini, dari 187 kecamatan, terlebih dahulu diprioritaskan pembangunan di 50
kecamatan. Secara teoritis daerah yang ditetapkan sebagai PKSN akan
didorong untuk menjadi kawasan/perkotaan yang dapat mendorong pengembangan
kecamatan perbatasan di sekitarnya. ( Mudah diucapkan, misalnya di dorong jadi
kawasan perkotaan, padahal sejatinya proses untuk itu membutuhkan waktu hingga
puluhan tahun, apalagi terkait dengan pembentukan Daerah Otonom Baru, peranan
parpol dan tetek bengek lainnya; sungguh memerlukan waktu lama). Tetapi pejabat
itu seolah menuturkannya bukan sebagai suatu persoalan.
Sistem Acuan Pembangunan Perbatasan
Pembangunan perbatasan di pulau-pulau terluar mungkin
sedikit lebih sederhana. Misalnya kita konkritkan di Saumlaki. Dengan
menjadikan Saumlaki sebagai PKSN. Saumlaki akan didorong menjadi pusat
perekonomian baru. Caranya menurut BNPP
di antaranya dengan membangun infrastruktur dan konektivitas dengan
pusat perekonomian baik di Maluku sendiri maupun dengan di luar Maluku, yaitu
Surabaya. "Direncanakan akan ada kapal KARGO KHUSUS yang melayani jalur dari Surabaya ke Saumlaki
hingga Papua. Tak hanya membawa barang-barang kebutuhan pokok, kapal akan
membawa hasil-hasil bumi rakyat di selatan Maluku," begitu teorinya.
Berarti itukan memerlukan subsidi lagi, dan itu terkait anggaran lagi; padahal
anggaran itu persoalannya. Bisakah itu terwujut? Atau realistiskah yang disampaikan
para pejabat yang berwenang itu? Hal seperti itulah yang sulit untuk dinilai.
Menteri
Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dalam beberapa kesempatan menjanjikan perubahan
wajah perbatasan bisa terlihat dalam waktu tiga tahun ini. Perubahan setidaknya
harus terlihat dari lima hal, yaitu INFRASTRUKTUR JALAN, AIR BERSIH, LISTRIK,
PENDIDIKAN, DAN KESEHATAN. Dia pun menjanjikan egosektoral kementerian/lembaga
yang selama ini menghambat pembangunan perbatasan tidak akan terjadi.
"Koordinasi antarkementerian/lembaga di bawah Menteri Koordinator Politik,
Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan. Sementara BNPP menetapkan
kebijakan program pembangunan perbatasan, menetapkan rencana kebutuhan
anggaran, serta evaluasi dan pengawasan program. Hingga kini koordinasi
berjalan lancar," ujar Tjahjo, yang juga Kepala BNPP.
Untuk
lebih menjamin wajah perbatasan betul berubah
Suhatmansyah, Deputi Bidang Potensi Perbatasan Negara Badan Nasional
Pengelola Perbatasan (BNPP) mengatakan, saat ini disusun instruksi presiden yang
isinya PETA JALAN PEMBANGUNAN PERBATASAN SETIAP TAHUN. "Ditetapkan
pembangunan di perbatasan apa, kementerian/lembaga yang terlibat apa, dan
alokasi anggaran yang harus disediakan kementerian/lembaga. Ini menjadi acuan.
Dengan inpres, tidak ada alasan kementerian/lembaga tidak mengalokasikan
anggaran," ujarnya.
Guru
Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengatakan, hal
paling utama yang menghambat pembangunan perbatasan selama ini adalah setiap
kementerian/lembaga berjalan sendiri-sendiri. BNPP yang diserahi tugas
mengoordinasikan pembangunan perbatasan oleh kementerian/lembaga (K/L) tidak
mampu menjalankan tugasnya. Dengan kendali koordinasi sekarang berada di Menko
Polhukam, dia juga pesimistis tiap kementerian/lembaga bisa menyingkirkan
egonya dan menurut kepada Menko Polhukam.
Kita
bisa memahami apa yang dihawatirkan pa Djohan, sebab biasanya
Kementerian/Lembaga hanya konsern dengan Badan yang menentukan besarnya
anggaran untuk K/Lnya. Menkopolhukam
jelas tidak ada sangkut pautnya dengan anggaran, karena itu biasanya pejabat
koordinasi yang datang terbatas hanya sebatas Kasubdit. Itu artinya tidak ada
yang bisa diputuskan, kecuali hanya sebatas melaporkan ke atasan yang
bersangkutan. Kalau itu yang terjadi, ya sama saja dengan pola yang ada selama
ini. Koordinasi berjalan dan seolah tidak ada permasalahan, tetapi di lapangannya lain lagi yang terjadi. Pendek
kata, yang penting anggaran mereka terserap sesuai dengan administrasinya. Soal
apakah yang mereka kerjakan bisa sinergi dengan program K/L lainnya, itu bukan
lagi urusan mereka.
Hal
seperti itulah yang terjadi selama ini. Katakan Kemdiknas mempunya anggaran
untuk membangun sekolah SMK di perbatasan. Mereka koordinasikan pada para
pihak, tetapi karena wilayah perbatasan
masih terisolasi, seharusnya pembangunan SMK itu ditunda dahulu sampai
jalan raya sampai ke desa tersebut. Tetapi itu tidak akan terjadi. Yang terjadi kemudian, pembangunan SMK
dilakukan tetapi tempatnya jauh dari sasaran. Akibatnya gedung sekolah yang
sudah dibangun itu tidak bisa dipergunakan, karena belum ada jalan, belum ada
listerik dan belum ada aliran air bersih. Pendek ceritra, sekolah itu jadi
muspro. Setelah tiga tahun kemudian sarana jalan raya masuk, tetapi gedung
sekolahnya sudah terlanjur hancur. Pola-pola seperti inilah yang sering
terjadi, masing-masing pihak membangun sesuai sasaran K/L nya masing-masing,
tetapi hasilnya tidak bermanfaat.
Di
wilayah perbatasan itu juga sebenarnya ada Badan Perbatasan milik Pemda, tetapi
mereka tidak memegang mata anggaran atau mereka tidak bisa jadi Bowhirnya
pembangunan perbatasan. Kalau ada pembangunan jalan KemenPu yang punya dana,
kalau ada pembangunan sekolah maka yang punya mata anggaran adalah jajaran
Diknas di daerah. Jadi praktis badan perbatasan ini tidak punya “taring”. Jadi
kalau mereka melaksanakan rapat koordinasi maka yang datang adalah petugas yang
mewakili saja dan itu hanya setingkat jauh dari yang bisa mengambil keputusan.
Teman-teman di Badan Perbatasan Daerah
itu biasanya hanya dapat melihat-lihat saja. Begitu juga dengan Dana Alokasi
Khusus, mereka memang menbantu tetapi semua kendali dan supervise ada pada
Kemdagri dari Pusat. Rekan-rekan dari Perbatasan daerah itu hanya sekedar
meananda tangani surat jalan para petugas dari Pusat, baik dari jajaran K/L
ataupun dari pihak ketiga.
Soal
adanya anggaran sebensar 16.5 Trilin dana perbatasan pertahunnya, ternyata dana
itu adalah dana semua Pemda yang mempunyai daerah perbatasan. Pemda perbatasan
sendiri, prioritas pembangunannya adalah wilayah dimana terdapat banyak
warganya atau dengan kata lain di wilayah Ibu Kota Kabupaten/Kota atau
Kecamatan. Mereka tidak mungkin bisa memprioritaskan wilayah perbatasan yang
jumlah penduduknya tergolong langka. Pemda Perbatasan selalu mengatakan bahwa
untuk membangun wilayah perbatasan itu adalah kewenangan pemerintah Pusat. Dan
hal-hal seperti itulah yang terjadi selama ini. Pemerintah Pusat dan Pemda
mempunyai agendanya masing-masing yang jauh dari saling sinergi.
Karena
itulah Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan
mengatakan bahwa sebaiknya "Kendali harus ada di Presiden. Presiden
sendiri yang memastikan setiap kementerian/lembaga menjalankan program
pembangunan perbatasan yang disusun oleh BNPP. Dengan demikian, menteri/kepala
lembaga pasti ikut," katanya. Hal lain yang sering diabaikan, pemerintah
kabupaten/kota dan pemerintah provinsi yang daerahnya di perbatasan tidak
dilibatkan dalam perencanaan program. "Libatkan daerah karena mereka yang
paling tahu persoalan di daerah dan cara-cara mengatasinya," ujar
Djohermansyah. Selama ini Pusat selalu mengalokasikan dana untuk sektoralnya
masing-masing terlebih dahulu, sehingga pemda nyaris tidak kebagian. Sehingga
dalam pelaksanannya Badan Perbatasan Pemda itu memang hanya sekedar memberi cap
atau tanda tangan bahwa K/L dari Pusat itu sudah sampai ke daerahnya. Selama
ini yang sering terjadi itu, petugas K/L
serta pihak ketiga dari pusat yang mengerjakan proyek perbatasan itu, sudah
datang ke daerah. Di pesawat mereka juga punya tiket resmi tetapi sebagian
orangnya tidak ada. Maksudnya dalam
surat jalan tertera orangnya ada 8 delapan dan tiketnya juga ada 8, tetapi
orangnya hanya empat. Praktek seperti itu nampaknya masih terus berjalan dan
semua pihak masih melihatnya sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja.
Kalau di perbatasan pulau-pulau
terluar Isolasi bias diselesaikan dengan membuka jalur khusus, artinya
pemerintah berjanji akan membangun atau meningkatkan kualitas pembangunan
dermaga, kemudian menyediakan Kapal perintis dan termasuk subsidi Solar atau
BBMnya. Nah kalau diperbatasan darat, tentu sangat tidak sebanding kalau
dilakukan dengan menambah atau membangun lapangan terbang baru di perbatasan.
Jadi praktis harus menunggu pembuatan jalan parallel perbatasan selesai. Kalau ini yang terjadi, maka pembangunan
perbatasan memang secara logika masih akan membutuhkan waktu yang lama. Tetapi
kalau pemerintah punya komitmen dan mengawasi system dan cara kerja para
petugasnya, maka kita masih mempunyai harapan. Tapi kalau system ini masih
seperti yang sudah-sudah ini, maka nampaknya pembangunan wilayah perbatasan
masih sebatas jargon-jargon yang membohongi belaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar