Melihat
Kembali Semangat Percepatan Penyelesaian Perselisihan Batas Daerah Tahun 2013
Oleh
harmen batubara[1]
Pada
pelaksanaan Rapat Sinkronisasi Data Batas Antar Daerah di Hotel Acacia, Jakarta
dari tanggal 15-17 Februari 2012 yang lalu DitjenPum Kemdagri serta dihadiri
oleh semua perwakilan provinsi menyiratkan perlunya percepatan dalam
penyelesaian permasalahan perselisihan batas antar daerah. Menurut DirjenPUM
masalah perbatasan antar daerah ini baru muncul setelah era reformasi, zaman
orde baru boleh dikatakan persoalan batas antar daerah sama sekali tidak pernah
mengemuka; kalaupun ada pasti dapat di selesaikan oleh Gubernurnya.
Tetapi
setelah reformasi, masalahnya sangat berbeda; dari jumlah perbatasan yang
terdiri dari 966 segmen (161 segmen provinsi, 805 segmen Kab/Kota) yang
terselesaikan 151 segmen dan yang sudah ditetapkan dengan Permendagri baru 79
dan dalam proses 206 segmen sementara 681 segmen lagi belum tersentuh. Dalam
manajemen dan penyelesaian konflik, sangat penting untuk terlebih dahulu
dilakukan analisis untuk mencari sebab-sebab terjadinya konflik (Furlong,
2005). Karena tanpa tahu secara persis penyebab perselisihannya tentu akan
sulit menemukan solusi yang pas. Analisis untuk mencari penyebab sengketa batas
daerah di Indonesia dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan teori
penyebab konflik yang dikemukakan oleh Moore (1986).
Konflik
atau perselisihan adalah salah satu bentuk perilaku persaingan antar individu
atau antar kelompok orang. Potensi terjadinya konflik akan ada bila dua atau
lebih aktor bersaing secara berlebihan atau tidak adanya kesesuaian tujuan
dalam kondisi sumberdaya yang terbatas (Moore, 1986). Pendekatan Moore (1986)
ini sering digunakan untuk alat analisis konflik terutama dalam hal menentukan
penyebab sengketa dan perilaku konflik
(Forbes, 2001 dan Furlong, 2005).
Menurut
Moore (1986) ada lima penyebab utama terjadi nya konflik batas dan untuk
mengidentifikasi penyebab utama terjadinya konflik bisa dilihat dari : (1)
persoalan hubungan antara orang atau kelompok, (2) persoalan dengan data, (3)
tidak diperhatikannya atau tidak ada kesesuaian nilai (value), (4) kekuatan
terstruktur dari luar yang menekan para aktor dalam sengketa, (5) persoalan
kepentingan yaitu tidak diperhatikannya atau tidak ada kesesuaian dalam hal
keinginan.
Penyebab Perselisihan Batas Untuk dapat melihat berbagai
perselisihan batas maka ada baiknya memakai kacamata Moore, dengan cara itu
kita bisa melihat berbagai faktor penyebab terjadinya konflik atau
perselisihan. Menurut Moore (1986), Furlong (2005) dan outdoorKristiyono (2008)
penyebab konflik itu dapat dilihat dari berbagai sisi perselisihan tersebut
yakni sebagai berikut[2] :
Konflik structural Adalah sebab-sebab konflik
yang berkaitan dengan kekuasaan sehingga ada ketidak seimbangan kekuatan
misalnya dalam hal ketimpangan kontrol sumberdaya, wewenang formal yang membuat
bagaimana suatu situasi dapat dibuat untuk tujuan tertentu melalui kebijakan
umum (baik dalam bentuk peraturan perundangan maupun kebijakan formal lainnya).
Aturan main dan norma untuk menentukan aspirasi apa yang menjadi haknya. Ketika
aspirasi dianggap tidak kompatibel dengan tujuan pihak lain maka hasilnya dapat
menimbulkan konflik.
Faktor geografis dan sejarah
merupakan dua aspek penyebab konflik struktural diantara aspek lainnya yang
sering menjadi alasan klaim suatu wilayah. Faktor geografis merupakan klaim
klasik berdasarkan batas alam, sedangkan faktor sejarah merupakan klaim berdasarkan
sejarah kepemilikan (pemilikan pertama) atau lamanya kepemilikan
(Prescott, 2010).
Faktor kepentingan Masalah kepentingan
menimbulkan konflik karena adanya persaingan kepentingan yang dirasakan atau
yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik kepentingan ini terjadi
ketika salah satu pihak atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan
kebutuhan/keinginannya, pihak lain harus berkorban. Konflik kepentingan mungkin
bisa bersifat substantif, prosedur atau psikologis.
Konflik nilai Konflik
nilai biasanya disebabkan oleh sistem kepercayaan (nilai) yang tidak
bersesuaian misalnya dalam hal definisi nilai dan mungkin nilai-nilai
keseharian.
Konflik hubungan Konflik hubungan antar manusia
terjadi karena adanya emosi negatif yang kuat, salah persepsi, salah komunikasi
atau tidak ada komunikasi, atau perilaku negatif yang berulang.
Konflik data/informasi Konflik data/informasi terjadi
ketika kekurangan atau tidak tersedianya data dan informasi yang dibutuhkan
untuk mengambil keputusan, data dan informasi yang tersedia salah, tidak
sepakat mengenai data dan informasi yang relevan, beda cara pandang dalam menterjemahkan
data dan informasi, atau beda interpretasi dan analisis terhadap data dan
informasi.
Menurut
Moore, konflik data, konflik nilai dan konflik hubungan sebenarnya konflik yang
tidak perlu terjadi, artinya kalau data dan informasi tersedia sesuai
kebutuhan, nilai-nilai yang ada dapat difahami secara baik dan emosi serta
perilaku negatif dapat dijaga, maka tidak akan terjadi konflik. Konflik yang
sebenarnya adalah konflik struktural dan konflik kepentingan yang hampir selalu
terjadi karena antara faktor kepentingan dan faktor struktural adalah dua
faktor yang saling berhubungan dan selalu ada dalam kehidupan manusia (Furlong,
2005).
Dari
penelitian kasus sengketa batas daerah sesuai hasil penelitian Sumaryo dkk,
yang dilakukan terhadap berbagai kasusu yang dilaporkan Kemendagri (2013),
dapat diklasifikasi atas dasar katagori tahun pembentukan daerah otonom dengan
mengingat tahun UUPD daerah yang bersengketa, yaitu:
Sengketa
batas daerah antar DOB yang dibentuk pada era otonomi daerah ( tahun 1999 s.d. 2009)
Sengketa
batas daerah antara DOB yang dibentuk pada era OTDA (tahun 1999 s.d. 2009)
dengan daerah otonom yang dibentuk sebelum tahun 1999.
Sengketa
batas daerah antara daerah otonom yang dibentuk sebelum tahun 1999 (sebelum
OTDA) namun munculnya sengketa terjadi pada era OTDA. Dari analisis yang mereka
lakukan dengan menggunakan pendekatan
lingkaran konflik Moore seperti telah diuraikan sebelumnya, maka perselisihan batas dapat dikelompokan
atas jenis sengketa batas daerah yang terjadi selama era OTDA, yaitu:
Konflik
data/informasi, dalam hal ini data dan infromasi geospasial yaitu kualitas peta
lampiran UUPD yang tidak memenuhi syarat sebagai dasar dalam penegasan batas
daerah Kombinasi antara konflik data dan
informasi geospasial dengan faktor kepentingan memperebutkan SDA dan faktor
struktural terkait suatu wilayah pada DOB hasil pemekaran ingin tetap gabung
dengan kabupaten induk.
Hasil Pengamatan atas
Perselisihan Batas Era Otda[3]
Dari
hasil penelitian secara observasi yang dilakukan selama periode tA 2006-TA 2013
ditemukan beberapa masalah perselisihan batas yang merujuk pada;
— Ketidakjelasan UU Pembentukan. Salah satu penyebab yang menonjol terdapat
pada UU pembentukan Pemda, klausul tentang batas hanya disebutkan sebagai
berbatasan dengan derah tetangganya. Misalnya disebelah utara berbatasan dengan
daerah A; di sebelah selatan berbatasan dengan daerah B dst. ( sehingga
muncullah perbedaan penafsiran antar UU, perbedaan pasal-pasal dengan peta
lampiran, ketidakjelasan peta lampiran). Contoh: Sengketa Pulau Berhala antara
Prov, Kepri dan Prov. Jambi.
— Perebutan SDA. Kalau di daerah itu ada sumber SDA maka batas
bisa jadi rebutan. Masing-masing pihak biasanya akan berlomba melayani dan
itulah awal sengketa. Contoh: Kab. Muba-Kab. Mura Prov Sumsel (Sumur Migas
Subhan 4); Prov. Riau (Kab.Rohil)-Prov.Sumut (Kab.Labuan Batu) terkait patok
153 (perkebunan sawit); Prov.Aceh (Kab.Aceh Tamiang)-Prov.Sumut (Kab.Langkat)
terkait potensi sarang burung walet di Goa Bukit Kapal.
— Kesukuan/Kultur/Etnis. Meski batas hanya
mengatur persoalan administrasi dan sama sekali tidak mempengaruhi masalah
kepemilikan. Tetapi batas seolah sudah menjadi “pemisah” sehingga batas yang
terdapat pada etnis yang sama; dinilai menjadi sebagai pemisah etnis itu
sendiri. Contoh: Prov.Sumsel (Kab.Mura)-Prov. Jambi
(Kab.Sorolangun) terkait eksistensi penduduk Suku Rawas.
— Pelayanan Publik. Hal ini dimaksudkan untuk
lebih mendekatkan pelayanan publik kepada warganya. Diharapkan warga yang ada di
daerah batas tersebut lebih dekat dengan
pusat-pusat pelayanan. Contoh: di Prov. Bengkulu: keinginan penduduk sebag Desa
di Kab. Kepahiang kembali bergabung ke Kab.Bengkulu Utara, Penduduk salah satu
Kecamatan di Kutai Timur ver KTP Kota Bontang dan ingin bergabung ke Kota
dengan alasan akses ke pusat pemerintahan lebih dekat (ke Sangata, Kutim 65 km;
ke Kota Bontang hanya 3 km).
Adanya Kesamaan Persepsi Moore
dan Realita Perselisihan Batas
Apa
yang ditemukan Sumaryo dkk dalam penelitiannya berdasarkan pendekatan Moore
dengan hasil observasi staff khusus Ditjem PUM Kemdagri, terdapat kesamaan
terkait penyebab perselesihan batas. Yakni Konflik yang muncul karena kualitas
data/informasi pada peta lampiran UUPD yang tidak memenuhi syarat sebagai dasar
dalam penegasan batas daerah.
Kurangnya
kualitas peta Lampiran UUPD kemudian menjadi “entri point” bagi masuknya
berbagai kepentingan para pihak, seperti
kepentingan memperebutkan SDA, masalah etnis, kemudahan pelayanan.
Percepatan Penyelesaian Sengketa Batas
Selama
ini yang dianggap sebagai salah satu kendala yang menyebabkan penyelesaian
perselisihan batas itu jadi mahal dan memakan waktu lama, disebabkan
peraturannya itu sendiri; yakni permendagri no 1 tahun 2006 tentang penegasan
batas di daerah serta ketentuan yang harus dilaksanakan di lapangan.
Sekarang
halangan itu sudah diperbaiki, Permendagri No I tahun 2006 telah direvisi
dengan Permendagri No 76 Tahun 2012 yang pada intinya memberikan penekanan
secara lebih tegas dan kuat kepada Pemda Provinsi ( Gubernur) sebagai
perpanjangan tangan Mendagri di daerah. Revisi tersebut kembali memberi
penekanan sesuai amanat penyelesaian perselisihan batas daerah sesuai dengan UU
No. 32 Tahun 2004 Pasal 198, yakni :
Apabila
terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar kab/kota
dalam satu provinsi, Gubernur menyelesaikan perselisihan dimaksud. Apabila
terjadi perselisihan antar provinsi, antara provinsi dan kab/kota di
wilayahnya, serta antara provinsi dan kab/Kota di luar wilayahnya, Menteri
Dalam Negeri menyelesaikan perselisihan dimaksud.
Keputusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat final.
Juga
ditegaskan jangka waktu dan mekanisme yang lebih jelas.
Yang
tidak kalah menariknya adalah Pemamfaatan Teknologi Survei dalam penyelesaian
perselisihan batas; yakni dengan metode Kartometrik. Dengan metode ini kondisi
lapangan yang sebenarnya dapat dihadirkan di ruangan rapat; sehingga berbagai
kesulitan ke lapangan tidak lagi jadi masalah; dengan demikian akan sangat
menghemat waktu dan biaya.
Mengoptimalkan
Penyelesaian Batas dengan cara Kartometrik dapat di optimalkan dengan dukungan
data dari Pemerintah (berupa peta dasar, peta Batas Indikatif yang lebih akurat
dengan memanfaatkan the best available
data seperti Citra satelit, SRTM, DEM dan IFSAR dalam bentuk digital). Kerjasama
(Kesepakatan atau Kontrak Kerjasama) dengan Bakosurtanal dan Dittopad untuk
penyediaan Peta Dasar Rupabumi atau Topografi
dalam format digital dengan skala yang memadai.
Metode
kartografis dilakukan pada tahap pelacakan batas daerah dengan catatan
untuk pelacakan batas yg sulit dilakukan
di lapangan ditelusuri pada peta kerja & ditentukan titik koordinatnya dan
titik-titik koordinat batas yg belum disepakati/ masih meragukan, dapat
dilaksanakan pelacakan/ recheck ke lapangan. Hasil pelacakan di atas peta yg
disepakati digunakan sbg bahan penyusunan PERMENDAGRI ttg Batas Daerah; Pilar
dapat dipasang kemudian jika dipandang perlu dan memungkinkan.
Penyusunan
SOP . Beberapa SOP perlu diterbitkan
untuk memberikan panduan baku bagi Tim PBD Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Pembuatan
beberapa Standar Operasi Presedur (SOP) terkait penyelesaian batas yang
meliputi; SOP penyiapan Dokumen; SOP Pelacakan Batas; SOP Pengukuran dan
Penghitungan Koordinat Batas; SOP Penggambaran Peta Batas dan SOP Sosialisasi
Batas.
Pengoptimalan
Kemampuan Internal, meliputi; Masalah
Kelembagaan seperti :
Kurangnya Sumber Daya Manusia (pegawai) sesuai
kualifikasi yg dibutuhkan untuk itu
telah dilakukan;
Pembentukan
Tim Asistensi/Konsultansi di tingkat pusat untuk membantu Tim PBD Pusat dan
Ditjen PUM dalam proses survey, pemetaan, fasilitasi konflik, verifikasi dan
perancangan Permendagri, serta sekaligus membantu Pemerintah Provinsi dalam
memfasilitasi Kab/Kota.
Tim
Asistensi/Konsultansi bersifat paralel (beberapa Tim bersama-sama), setiap Tim
menangani beberapa Provinsi.
Tim
Asistensi/Konsultansi terdiri dari para ahli antara lain di bidang: survey,
pemetaan, geodesi, geografi, pemerintahan, manajemen konflik, sistem informasi,
map drafter, dan operator.
Tim
bertugas sebagai pendamping (management consultant) sampai dengan target
pekerjaan terselesaikan.
Untuk
merealisir percepatan tersebut disamping
merevisi Permendagri dan penetrapan metode kartogmeteris juga telah diambil
langkah-langkah konkrit berupa ;
Quick Win Penyelesaian Segmen
Batas Daerah :
Percepatan
Penegasan Segmen Batas Daerah Yang Tidak Bermasalah.
Gubernur
Melaporkan Progres Penanganan Penegasan Batas
Kab/Kota Yang Ada Di Daerahnya.
Gubernur
Melaporkan Secepatnya Kepada Mendagri Untuk Proses Penyelesaian Segmen Batas
Yang Tidak Bermasalah Untuk Di Proses Permendagri Ttg Penegasan Batas Daerah.
Sinkronisasi Data Batas Daerah
Data
yang ada, sebagian besar daerah belum melaksanakan penegasan batas dengan sistematis dan terkoordinasi. Karena itu data
perlu di sinkroniskan.
Untuk itu perlu sinkronisasi data batas antar
daerah yang sinergis antara Pusat, Provinsi dan Kab/Kota sebagai tindaklanjut pelaksanaan penegasan batas. Agar
sinkronisas penegasan batas berjalan dengan baik serta sesuai dengan yang
diharapkan, diperlukan data kegiatan penegasan batas yang mencakup: Identifikasi
jumlah Kab/Kota yang berbatasan baik antara kabupaten/kota dalam satu provinsi
maupun antar provinsi; Identifikasi permasalahan batas daerah dan
tindaklanjutnya;
Identifikasi
progres penyelesaian batas daerah; Rencana kerja tahunan dan anggaran serta
sumber anggaran penataan batas daerah. Perkuatan Tim PBD Provinsi ; Pemberian
SOP kepada provinsi ; Pemberian pelatihan, fasilitasi, asistensi dan
konsultansi ; Pemberian dana dekonsentrasi kepada pemerintah provinsi untuk
kegiatan koordinasi dan fasilitasi penyelesaian batas antar kabupaten/kota di
wilayahnya.
Prioritas Percepatan Prioritas program pada
penyelesaian batas antar Provinsi melalui penegasan batas antar kabupaten/ kota
berlainan provinsi.
Diikuti
dengan penyelesaian batas antar kab/kota dalan satu provinsi
Mendorong
provinsi memfasilitasi proses penegasan batas antar kabupaten/kota di
wilayahnya.
Ekses
Ketidakjelasan Batas Daerah dapat berupa;
- Ketidakjelasan Cakupan Wil Admin Untuk Penyelenggaraan Kewenangan Pemda
- Inefisiensi Pelayanan Kpd Masy (Duplikasi)
- Ketidakjelasan Luas Wilayah
- Ketidakjelasan Admin. Kependudukan
- Ketidakjelasan Dapil (Pemilu, Pilkada)
- Ketidakjelasan Administrasi Pertanahan
- Ketidakjelasan Perijinan Pengelolaan Sda
- Kesulitan Pengaturan Tata Ruang Daerah
Target
tahun 2013 terkaiy penyelesaian 609
Segmen Batas Antar Daerah, meliputi;
Batas
Daerah Antar Provinsi Berjumlah 127 Segmen Batas
Batas Daerah Antar Kab/Kota Dalam Satu Provinsi
Berjumlah 482 Segmen Batas.
Batas
Daerah Antar Provinsi Menjadi Kewenangan Menteri Dalam Negeri Untuk
Menyelesaikannya.
Batas
Daerah Antar Kab/Kota Dalam 1 Provinsi Menjadi Kewenangan Gubernur Untuk Menyelesaikannya
Dasar
Hukum Penyelesaian Adalah Pada Uu No. 32 Tahun 2004 Pasal 198 Dan Permendagri
No. 1 Tahun 2006 Pasal 20
Dari
482 Segmen Batas Mencakup Seluruh 33 Provinsi.
[1]
CEO – www.wilayahperbatasan.com
[2]
“Informasi Geospasial dan Sengketa Batas Daerah dalam Kegiatan Penegasan Batas
Daerah pada Era Otonomi Daerah di Indonesia” hasil Penelitian Sumaryo
Joyosumarto dkk-2013, mahasiswa Program Pascasarjana S3 Teknik Geomatika
Fakultas Teknik UGM.
[3]
Dari hasil observasi terkait perselisihan batas yang dilakukan oleh ( Harmen
Batubara dkk) staff khusus Batas Antar Daerah Ditjen PUM Kemdagri periode
2006-2013.