KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI
Bus air yang disebut kempang menjadi satu-satunya sarana penyeberangan dari dan menuju Pulau Merbau.
Oleh : Syahnan
Rangkuti
Hujan emas di negeri
orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri. Peribahasa ini tidak berlaku
bagi pemuda di Pulau Merbau, Kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti,
Riau. Daya pikat kemilau bukan emas di negeri tetangga Malaysia lebih indah
daripada hujan lumpur di negeri sendiri.
Setelah sebulan
bekerja sebagai buruh bangunan di Johor Bahru, Malaysia, Solihin (36) kembali
ke rumahnya di Desa Batang Meranti, Kecamatan Merbau. Selama di negara
tetangga, Solihin, guru mata pelajaran Fisika yang telah mengajar 12 tahun di
Madrasah Aliyah Hidayatul Rahmah di desanya, mengumpulkan penghasilan kotor Rp
7,2 juta. Kepulangannya bertepatan dengan jadwal kelahiran anaknya ke-6.
KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI
Kondisi jalan di Pulau Merbau rusak parah. Pengendara sepeda motor harus sangat hati-hati agar ban motor tidak pecah.
”Saya bekerja di
Malaysia murni persoalan ekonomi. Sudah dua tahun honor saya sebagai guru tidak
dibayar sejak pemerintah (Kabupaten Meranti) memutus dana hibah untuk sekolah
madrasah. Saya harus membayar utang dan memberi nafkah keluarga. Anak saya
banyak. Kalau karena bekerja di Malaysia saya dipecat sekolah, saya siap
menerima konsekuensinya,” ujar Solihin, Rabu (17/1).
Tidak ada yang mau
bekerja bertungkus lumus bermandi keringat di negeri orang. Namun, pilihan
bekerja sebagai buruh di Malaysia, kata Solihin, merupakan jawaban instan guna
menyambung hidup keluarganya. Menurut Solihin, menjadi buruh di Malaysia juga
dijalani oleh puluhan guru dan ribuan warga Pulau Merbau bertahun-tahun.
Kepala Sekolah MA
Hidayatul Rahmah, Abdul Rasyid Harahap (47), tidak menyalahkan Solihin.
Apalagi, kegiatan merantau guru itu sebagian besar dilakukan di masa liburan
sekolah. Sebagai kepala sekolah, Rasyid pasrah. Dia tidak mampu membayar honor
guru.
”Pada awal sekolah
berdiri, kami mengutip SPP (sumbangan pembinaan pendidikan) kepada murid.
Namun, belakangan, SPP kami gratiskan karena Pemkab Meranti memberi bantuan
kepada sekolah. Dari dana pemerintah, guru mendapat honor Rp 900.000 per bulan.
Namun, sejak 2016, bantuan itu diputus, sementara SPP murid tetap gratis. Saya
sempat menangis, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa,” kata Rasyid. Rasyid menambahkan,
Sabtu (13/1), dia mengumpulkan wali murid agar dapat membantu dana gaji guru Rp
6,9 juta per bulan. Untuk itu, setiap murid diminta membayar SPP lagi. Nilainya
Rp 67.000 per bulan. Namun, masalah itu belum tuntas, banyak wali murid
keberatan.
Terlilit kemiskinan
Rasyid mengatakan,
bertahan hidup di Pulau Merbau seakan tidak memiliki masa depan. Tidak ada
pilihan pekerjaan yang menyejahterakan. Pekerjaan yang tersedia adalah menyadap
karet di ladang. Namun, harga getah sangat rendah dan tidak mencukupi kebutuhan
hidup. Apalagi sebagian besar karet rakyat sudah tua dan kurang terurus.
Pekerjaan lain adalah
menjadi penebang batang bakau untuk dijual kepada tauke arang. Pekerjaan itu
dilarang pemerintah karena merusak lingkungan. Namun, warga menebang secara
kucing-kucingan. Pilihan lain adalah menjadi nelayan. Namun, ikan semakin sulit
didapat.”Itulah kondisi riil
di tempat kami. Tidak ada lapangan pekerjaan yang mencukupi hasilnya. Tidak
heran jika merantau ke Malaysia jadi pilihan utama. Lebih dari 80 persen siswa
saya setelah tamat merantau ke Malaysia. Yang perempuan setelah tamat, kalau
bertahan di desa, pasti kawin muda. Suaminya adalah pemuda desa yang merantau
ke Malaysia,” katanya.
Laki-laki dewasa yang
bertahan di desa dapat dihitung jari. Kebanyakan penduduk desa adalah anak-anak
yang ditinggal ayahnya merantau, pelajar, orang setengah baya dan lanjut usia.
Bekerja di negara
tetangga buat perantau asal Pulau Merbau, kata Rasyid, bersifat semiilegal.
Mereka masuk ke Malaysia dengan paspor pelancong atau turis bebas visa yang
berlaku satu bulan. Ketika mendekati hari akhir, perantau yang bekerja keluar
Malaysia. Istilahnya cuti sebentar, sebelum dapat masuk kembali.
Hanya beberapa
gelintir orang yang mendapat kesempatan kerja bagus sehingga dapat mengurus
izin menetap di negara tetangga. Yang perempuan bisa lebih cepat menjadi warga
negara Malaysia jika dipersunting pemuda Malaysia.Nurfadilah (45),
seorang pekerja perantau ulang alik, yang ditemui ketika cuti di Desa Batang
Meranti, mengatakan, dirinya sudah bekerja di Malaysia selama lima tahun.
Sebulan sekali dia pulang. Pekerjaannya adalah buruh potong ayam di sebuah
pasar di Johor Bahru.
KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI
Populasi di perkampungan lebih banyak anak-anak, perempuan, dan lansia.
”Pihak imigresen
(imigrasi) Malaysia yang sering mengecap paspor sudah kenal saya. Dia selalu
membeli ayam saya. Setiap bulan saya masuk ke Malaysia, dia tidak banyak
bertanya. Dia hanya mengatakan kerja yang baik-baik. Itu saja,” kata Nurfadilah
dengan bahasa Melayu kental. Menurut Nurfadilah,
bekal bahasa Melayu asli menjadi nilai tambah warga Pulau Merbau untuk bekerja
di Malaysia. Mereka dapat berkomunikasi tanpa batas, seperti warga asli
Malaysia. Tidak mengherankan jika ribuan warga Pulau Merbau dapat bekerja tanpa
visa resmi di Malaysia. Penghasilan Nurfadilah
mencapai 100 ringgit (Rp 330.000) per hari. Dalam sebulan penghasilan kotornya
Rp 9 juta.
”Kalau pulang, saya
membawa pakaian dan kasut (sepatu) bekas untuk dijual kepada tetangga. Sehari
atau dua hari dagangan saya habis. Kalau balik ke Malaysia, saya membawa madu.
Di sini madu Rp 100.000 sebotol, di sana laku Rp 300.000. Hasil jualan dapat menutup
ongkos pulang,” ujarnya.
Pendapatan bersih Rp 3
juta-Rp 7 juta menjadi magnet bagi para pemuda Merbau merantau ke Malaysia.
Penghasilan itu sebenarnya tidak terlalu besar, tetapi di Pulau Merbau terasa
luar biasa. Menyadap karet milik sendiri paling besar dapat Rp 1,5 juta
sebulan.
Meski ribuan warga
pulang membawa ringgit, belum mampu mengubah wajah Pulau Merbau. Saat
menginjakkan kaki di sana, kondisi pulau terluar yang berbatasan dengan negara
tetangga itu lebih menampakkan raut wajah suram.Potret kemiskinan
dengan akses transportasi buruk langsung tergambar di hadapan mata. Semakin
jauh memasuki pulau, semakin terlihat rumah reyot penduduk, melewati jalan
semen yang rusak parah, terkelupas pecah, dan menonjolkan besi cor berkarat. Namun, kehidupan tetap
berjalan. Anak-anak tetap bermain di halaman. Mereka tidak pernah tahu bahwa
ayahnya membanting tulang di negeri orang untuk dapat menghidupi keluarga.
Sumber : Kompas.id, Kala
Negeri Tetangga Lebih Berkilau, 18 Januari 2018