Senin, 21 Desember 2009

Membangun Pertahanan Perbatasan Dengan Empati



Dalam pengabdiannya TNI sebagai tentara penjaga perdamaian di pora Internasional selama ini selalu saja mampu merebut simpati masyarakat lokal. Hal itu bisa mereka peroleh karena mereka memang tidak punya agenda lain kecuali sebagai penjaga perdamaian ditambah merebut hati rakyat. Untuk merebut hati rakyat, mereka melakukan semua cara dalam arti kata yang positip. Nah bisakah kita terapkan hal seperti itu di Papua atau daerah lainnya? Dapatkah kita memanfaatkan Satgas pengamanan wilayah perbatasan sebagaimana kita melakukannya di Negara lain? 
Secara teoritis bisa, tetapi secara anggaran rasanya tidak mungkin, atau akan sangat berat sekali. Seperti kita ketahui, pada saat ini TNI kita ada di setiap wilayah perbatasan, baik itu di wilayah darat, maupun di wilayah perbatasan laut. Jumlahnya juga cukup banyak. Selama ini, selain mereka melaksanakan tugas pokoknya menjaga wilayah, mereka juga secara aktif melaksanakan fungsi-fungsi social, yang pada intinya membantu masyarakat dan mempererat hubungan antara masyarakat dengan para petugas, sehingga diharapkan akan muncul semangat kebersamaan dalam menjaga keamanan dan ketentraman wilayahnya masing-masing. 
Tetapi harus diakui, untuk tugas-tugas seperti itu, mereka tidak dibekali dengan bahan kontak yang memadai. Padahal masyarakat kita sesungguhnya belum bisa melakukan banyak hal, kalau hanya berbekalkan “tenaga semata”. Memang selama ini ada juga satuan-satuan TNI dalam program membangun desa, tetapi itu dilakukan bukan di wilayah tugas, tetapi di daerah aman yang tidak bermasalah. Jadi idenya adalah, bagaimana agar TNI ini diberdayakan untuk mempu mengemban “program sivic-action” disamping tugas pokoknya sebagai tentara penjaga wilayah professional. 

 Karena selama ini streotipe penilaian warga lokal terhadap Satgas-satgas yang di gelar di wilayah perbatasan, pada intinya masih berbau provokator keamanan itu sendiri. Lihat misalnya komentar Mama Yosepha Alomang pada saat kematian Kelly Kwalik Mama Yosepha Alomang, menyatakan, Kelly Kwalik bukan seorang teroris. Alomang menyatakan, Kelly Kwalik tidak pernah memprovokasi kekerasan yang selama ini terjadi di Papua. Hal itu disampaikan Mama Yospeha Alomang ketika berorasi di hadapan para pelayat Kelly di Kantor DPRD Kabupaten Mimika. "Kelly Kwalik bukan teroris, Kelly Kwalik bukan penjahat. Kelly Kwalik bukan provokator," kata Mama Yosepha, sapaan keseharian Alomang. 



Mama Yosepha sendiri dikenal sebagai pejuang HAM yang pernah disiksa dengan dikurung di dalam peti kemas oknum aparat keamanan di Papua. Mama Yosepha menyatakan, pengalaman sejarah yang dialami orang asli Papua menunjukkan justru aparat keamanan yang ada di Papua yang acap kali memprovokasi terjadinya kekerasan di tanah Papua. "Mereka memprovokasi, pemerintah juga diprovokasi. Bukan Kelly Kwalik yang memprovokasi," kata Alomang.( Kompas.com, 21/12/2009).
Mereka melihat aparat keamanan itu, hanyalah alat keamanan semata, yang kalau tidak dibunuh, ya membunuh. Padahal kalau saja, aparat penegak pertahanan itu sebagai penjaga wilayah yang selalu siap membantu mereka, tokh pasti akan berbeda jadinya. Tapi itulah masalahnya, disamping kebijakannya juga pada keterbatasan yang ada pada satuan tugas itu sendiri. Yang jelas, warga itu kalau di berdayakan, di orangkan, dan mau membangun wilayah mereka sendiri. Saya percaya, semangat untuk memberontak itu akan pudar dengan sendirinya.

Tidak ada komentar: