Minggu, 10 Januari 2010

Persoalan Lahan, di Perbatasan RI-Timor Leste


Harian Kompas (ben) pada 6/10/2009 menuliskan: Masalah penggunaan lahan seluas 1.062 hektar di Kecamatan Amfoang Timur, Kupang, Nusa Tenggara Timur, oleh warga Timor Leste saat ini sudah ditangani pemerintah melalui Departemen Luar Negeri. Dalam kaitan itu, warga diminta bersabar dan tidak bertindak anarki karena dapat mengganggu hubungan kedua negara. ”Kawasan itu memang di daerah sengketa karena status tanahnya status quo. 
Namun, perlu saya tegaskan, negara kita berpegang pada hukum yang berlaku. Kita hadapi secara baik, tidak emosional. Jadi, jangan sampai terpancing,” kata Panglima Komando Daerah Militer IX/Udayana Mayor Jenderal Hotmangaradja Pandjaitan, Senin (5/10) di Denpasar, Bali, seusai memimpin upacara HUT Ke-64 TNI. ”Secara teknis, persoalan itu sudah diketahui dan ditangani langsung oleh Departemen Luar Negeri. 

Tujuan utama penanganan masalah adalah tercapainya solusi secara hukum. TNI selaku penjaga kawasan perbatasan berusaha mencegah warga di kawasan itu tidak terpancing dan secara emosional membalas aksi yang dilakukan warga Timor Leste itu,” kata Hotmangaradja. Selama ini, warga Timor Leste bersikeras mengklaim Desa Detemnanu masuk dalam wilayah Timor Leste.

Padahal, pada masa integrasi dan sampai hari ini, desa itu masuk wilayah administrasi Kecamatan Amfoang Timur. Menurut Raja Amfoang Kabupaten Kupang, Robi Manoh, sekitar 1.062 hektar lahan milik warga Desa Detemnanu, Kecamatan Amfoang Timur, itu dikuasai warga Oekusi, Timor Leste. Amfoang berbatasan langsung dengan Timor Leste. Konflik horizontal sangat berpotensi terjadi, apalagi Amfoang Timur termasuk daerah terpencil di Kabupaten Kupang karena sulit dilalui kendaraan. Hotmangaradja kemarin juga menekankan, pasukan TNI tetap mengawasi kawasan perbatasan kedua negara itu. ”Salah satu tugas utama TNI di kawasan perbatasan, selain mencegah adanya pelintas batas, juga mencegah timbulnya masalah yang dapat mengganggu hubungan Indonesia dengan negara lain, dalam hal ini, Timor Leste,” ujarnya. 
Dalam konteks itu, lanjut Hotmangaradja, TNI akan berupaya keras mencegah warga Amfoang Timur membalas tindakan warga Timor Leste yang secara sporadis menggunakan lahan di sana sebagai kawasan beternak mereka. Kalay hal ini dikaitkan dengan masalah batas antar kedua Negara maka perlu dilihat akar masalahnya; Secara tehnis, memang masalah yang ada adalah sebagai berikut: Masih adanya persepsi yang berbeda tentang batas anta kedua Negara baik yang terletak di sisi timur maupun sisi barat yaitu Oeccusi (dari sisi sejarah Belanda – Portugis maupun penguasaan/Efective Ocupation). Permasalahan batas masih menyisakan 3 (tiga) unresolved di Noel Besi/Cetrana, Bijael sunan/oben dan Dilumil/memo serta 1 (satu) Unsurveyed yaitu Subina. 
Persepsi Status Quo yang tidak pernah jelas selama ini (tidak dinyatakan secara tertulis) telah menimbulkan berbagai masalah di lapangan dimana pada sisi RI masyarakat yang berada disekitar daerah tersebut dilarang memanfaatkan lahan tersebut untuk kepentingan apapun namun sebaliknya hal ini tidak oleh pihak Timor Leste tidak diberlakukan bagi warga negaranya. Sayangnya, pihak RI tidak pernah melakukan protes resmi. 


Jangan sampai hal seperti kasus Sipadan-Ligitan, media seolah mengatakan wilayah itu dalam posisi status quo, sementara pihak Malaysia ramai-ramai menempatinya, sementara aparat Indonesia justeru melarang warganya melakukan hal yang sama. Hal inipun terulang lagi, Kodam Udayana dalam hal ini Pam-Tas, selalu berpesan taat azas, dan secara aktif melarang warganya mengolah lahan yang sama; padahal warga Timor Leste malah mengelolanya dengan leluasa, warga kita kalau datang, di usir dan malah di tembak, tapi aparat kita malah membela posisi status quo, dan sayangnya Deplu ga juga protes.

Tidak ada komentar: