Gelar Kekuatan TNI di Wilayah Perbatasan
Oleh harmen batubara
Dalam dua tahun
terakhir, kita sudah melihat pemerintah Jokowi – JK terus melakukan dan
fokus untuk mempercepat pembangunan dari pinggiran, membangun kawasan timur,
kawasan perbatasan dan pulau-pulau terluar Indonesia. Idenya adalah, pemerintah
ingin pembangunan dilakukan lebih merata, sehingga mengatasi kesenjangan antar
wilayah, terutama kawasan barat dengan kawasan timur Indonesia. Hal seperti itu
dikatakan Presiden Jokowi dalam pengantarnya pada Rapat Terbatas tentang
Sinkronisasi Gelar TNI dengan Pembangunan, di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis
(12/1/2017) siang. Presiden meyakini, dengan pemerataan pembangunan antar
wilayah, maka daerah-daerah di wilayah pinggiran, seperti Kepulauan Natuna di
bagian barat, Kepulauan Miangas di utara, Biak-Merauke di sebelah timur, sampai
Pulau Rote dan sekitarnya di sebelah selatan, akan tumbuh menjadi sentra-sentra
ekonomi baru, sentra-sentra pertumbuhan ekonomi.
Apa yang menjadi
pemikiran Presiden terkait “gelar kekuatan TNI”, khususnya di daerah perbatasan
dan pulau-pulau terluar mengingatkan saya akan tulisan Pa Wiranto[1] .
Menurut beliau, TNI dibentuk tahun 1945, sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan,
17 Agustus 1945. Dalam catatan sejarah, pada saat pembentukannya, kondisi keuangan
negara masih serba kekurangan. Konsep pembentukan dan penataan TNI juga belum
memiliki pola yang cukup jelas. Orientasi saat itu adalah sesegera mungkin
mengorganisasi tentara pejuang kemerdekaan dalam unit-unityang lebih teratur,
sebagaimana tentara reguler.
Dalam kondisi seperti
itu, Pemerintah Indonesia terpaksa mengambil langkah-langkah paling logis,
yakni mengambil alih seluruh persenjataan dan perlengkapan pasukan penjajah.
Demikian pula seluruh barak, asrama, dan markas komando yang dibangun
pemerintahan penjajah Belanda dan Jepang langsung diambil alih dan dijadikan
milik pemerintah, untuk kemudian dijadikan aset TNI. Itulah mengapa pada awal
keberadaan negara Indonesia, peta kekuatan militer TNI terpusat di kota-kota
besar di Jawa. Pada kondisi keuangan negara yang tak kunjung menguat,
pembangunan fasilitas militer yang baru bukan jadi prioritas. Gelar pasukan
darat di Pulau Jawa yang tadinya dilakukan dengan terpaksa, bersifat sementara,
menjadi suatu kondisi permanen yang tak terelakkan. Dari tahun ke tahun
dislokasi pasukan angkatan darat yang terpusat di kota-kota besar di Jawa menjadi
sesuatu kewajaran yang menggiring kita pada pemikiran yang tak lagi rasional.
Komando daerah militer
(kodam) di Jawa dibangun sebagai kodam kelas I dengan jumlah pasukan sangat
besar, sedangkan kodam di luar Jawa hanya kelas II dengan sedikit pasukan.
Pasukan Kostrad sebagai pasukan cadangan strategis sebagian besar berlokasi di
Jawa, dilatih, dilengkapi, dan dipersiapkansetiap saat dikirim ke luar Jawa,
membantu pasukan setempat. Tanpa disadari, konsep operasi yang dianut
benar-benar mengulangi apa yang dilakukan tentara kolonial. Tentara yang
terpusat di Pulau Jawa dikirim guna menumpas pemberontakan ke daerah-daerah
yang bergolak.
Dari catatan sejarah
operasi TNI, pada 1958-1959 pasukan dari Jawa dikirimke Sumatera dan Sulawesi
melawan PRRI/Permesta. Pada 1968-1969 pasukan dari Jawa dikirim ke Kalimantan
menumpas pemberontakan PGRS/Paraku. Dari tahun 1960-an sampai sekarang masih
ada pasukan dikirim ke Irian Jaya (sekarang Papua) untuk menumpas berbagai aksi
pemberontakan. Tahun 1976 sampai 1999 mengirim pasukan ke Timor Timur. Tahun
1990-1998, melalui Operasi Jaring Merah, pasukan dari Jawa dikerahkan ke Aceh
guna menumpas Gerakan Aceh Merdeka, dan masih banyak lagi operasi serupa yang
ternyata banyak menuai masalah.
Pertama, biaya menjadi
sangat mahal. Kedua, ada kesan dominasi pemerintah pusat (Jawa) digunakan untuk
menindas daerah (luar Jawa) dengan kekerasan. Ketiga, mental pasukan yang
dikirim tidak prima, jauh dari keluarga dalam jangka waktu yang cukup lama.
Keempat, banyak tuduhan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang terus
dipermasalahkan sampai saat ini sebagai akibat dari pola operasi semacam itu.
Pertahanan di Perbatasan Jauh Dari Memadai?
Catatan saya terkait
“kesigapan TNI” di perbatasan memang banyak yang menghawatirkan. Salah satunya
ya terkait perbatasan negara kita dengan Malaysia. Tetangga kita ini sering
melakukan pelanggaran ke wilayah kita, khususnya di Ambalat. Memang wilayah itu
masih dalam kondidi abu-abu, kedua negara masih belum bisa menyepakati batas di
wilayah tersebut. Dalam penglihatan kita, semestinya mereka bisa menahan diri
dan tidak melakukan profokasi. Bayangkan sejak januari – Juni 2015, sudah ada 7
Nota Protes Indonesia ke Malaysia. Soal profokasi mereka ke wilayah sengketa
itu; tetapi sama sekali tidak ditanggapi pihak tetangga itu. Mereka tidak
menjawabnya, adalah bagian strategi “penanganan perbatasan”, sehingga kelak
mereka tidak pernah mengakui” adanya protes seperti itu.
Kala itu, juru bicara
Arrmanatha Nasir mengaku Kemlu telah mengirimkan nota protes kepada Pemerintah
Malaysia sebanyak tujuh kali. Nota protes itu dikirim terhitung sejak Januari
lalu. Hal itu disampaikan oleh Arrmanatha ketika dikonfirmasi VIVA.co.id
melalui telepon pada Rabu, 17 Juni 2015. Kemudian kita bisa melihat “insiden
pendaratan tanpa izin helikopter Malaysia” yang membawa Menteri Dalam Negeri
negara itu di Pulau Sebatik, Kalimantan Utara, pada Minggu, 29 Juni 2015.
Helikopter itu bebas pergi karena personel TNI yang bertugas di sana tidak
siap. Meskipun kejadian itu murni “insiden” salah identifikasi lokasi. Tetapi
tetap saja, pertahanan kita di sana masih belum bisa berbuat yang sepantasnya.
Berikut juga fakta yang bisa memperlihatkan seperti apa porsi yang diberikan
oleh kekuatan pertahanan kita di perbatasan.
Fakta pada pukul 11.40
WITA, Jumat 26 Juni 2015. Mesin pesawat yang baru mendarat setelah melakukan
PATROLI DI PERBATASAN itu tiba-tiba mati sebelum berhasil masuk ke dalam taxy
way. Pesawat TNI AL itu kemudian ditarik secara manual oleh petugas bandara dan
anggota TNI masuk ke area parkir pesawat. Butuh waktu sekitar 12 menit untuk
bisa menarik badan pesawat ke area parkir pesawat. Untunglah kejadian tersebut
tidak mengganggu jadwal penerbangan di Bandara Juwata Tarakan,” kata Kepala
Bandara Juwata Tarakan, Syamsul Bandri waktu itu. Belum ada informasi resmi
penyebab kejadian terhentinya pesawat TNI AL di landasan pacu Bandara Juwata.
Namun diduga, mesin pesawat tersebut mengalami gangguan teknis. Dalam bahasa
pertahanan, gangguan teknis itu bisa terjadi karena system perawatannya, jauh
dari memadai.
Ada juga secuil
kebanggan, takkala TNI AU berhasil memaksa turun pesawat asing yang dipiloti
seorang perwira Amerika Serikat (AS) di Tarakan, Kalimantan Utara (Kaltara)
pada Senin (9/11/2015). Namun, Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu
mengaku adanya kealpaan, untuk segera menempatkan penjagaan di perbatasan
negara di Tarakan, Kaltara.“Kalau orang melihat ada yang JAGA pasti tidak akan
lewat situ. Jadi ada kesalahan juga selama ini kita tidak ada efek detterence
(pencegahan) begitu. Kalau ditaruh (penjaga) di ujung-ujung kan kalau mau lewat
pasti ngomong dia ‘kulo nuwun’. Kalau enggak ada orang (jaga) bagaimana mau
kulo nuwun,” aku Ryamizard Ryacudu, di Jakarta, Rabu (11/11/2015). Menhan waktu
itu, akan menempatkan satu flight atau 4-5 pesawat pesawat tempur bakal
ditempatkan di wilayah itu. Menhan juga mengungkapkan, selain di Tarakan juga
bakal dilakukan di Natuna, Kepulauan Riau, dan Papua. Daerah-daerah perbatasan
itu merupakan daerah yang masih minim penempatan ALUTSISTA.
Kehadiran TNI di Perbatasan, Flash Point dan
Jalur ALKI
Kalau kita melihat
pembangunan pola Nawacita, maka yang terlihat adalah pembangunan yang dimulai
dari daerah perbatasan dari pulau-pulau terluar, lokasi-lokasi Flash Point
pertahanan, termasuk jalau-jalur ALKI. Setelah pemerintah membuka isolasi
perbatasan, dengan membangun jalan paralel perbatasan di Kalimantan, membuka
jalur isolasi di perbatasan Papua, dan perbatasan Timor Leste, demikian juga
dengan pulau-pulau terluar seperti pulau Miangas, termasuk dengan membangun
kembali 9 PLBN yang akan jadi pintu ekspor-impor di kawasan perbatasan, maka
semakin jelas pada penglihatan kita bahwa perlu segera adanya kehadiran
kekuatan pertahanan di lokasi-lokasi tersebut, khususnya bagian dari “gelar
kekuatan TNI”. Kita tahu, bahwa dareah-daerah tersebut sebenarnya adalah bagian
dari wilayah Kodam, Polda, Armada dan Koops AU., tetapi ternyata “mereka” tidak
hadir di sana. Kalaupun ada banyak pos-pos TNI di perbatasan, ternyata
keberadaan Pos-pos itu, masih merupakan bagian dari masalah itu sendiri. Mereka
sama sekali tidak punya kemampuan “deteksi” dan kemampuan “pemaksa” sama
sekali. Apalagi adanya komando “real time” antara wilayah perbatasan dengan
Pusat Komado TNI di Jakarta.
Kita bisa bayangkan apa
yang akan terjadi di Miangas? Siapa yang melakukan “monitoring” kekuatan asing
di wilayah tersebut? Sementara cakupan Radar belum sampai, sementara Kodamnya
ada di Makassar, Poldanya ada di Sulawesi Utara dan Armada dan Koops AU nya ada
di Makassar. Hal yang sama dengan Natuna? Kodam nya ada di Medan, Poldanya ada
di Kepri, Armadanya dan KoopsAUnya ada di Jakarta. Begitu juga kalau ada
apa-apa di pulau Sebatik atau Nunukan? Kodam dan Poldanya ada di Balikpapan,
Armada dan Koopsnya ada di Makassar. Begitu juga kalau ada apa-apa dengan
Merauke? Kodam dan Poldanya ada di Jayapura, Armada dan Koops Aunya ada di
Makassar. Padahal gelar kekuatan Trimatra TNI dengan gelar komandonya masih
berjalan sendiri-sendiri.
Intinya adalah, kita
ingin mengatakan bahwa Kaji Ualng Gelar Kekuatan TNI seperti yang jadi wacana
pa Wiranto adalah sesuatu yang perlu dan harus. Hal itu bukan permasalahan yang
sederhana, karena ia mencakup gelar kekuatan TRI MATRA dan juga gelar Komando
bagi kekuatan yang mengawakinya. Pada era SBY dahulu sempat muncul adanya ide
Komando Gabungan Wilayah untuk mengurai dan membantu Panglima TNI dalam
mengoptimalkan Komandonya. Tetapi kemudian meredup seiring dengan pergantian
presiden. Kita hanya ingin menyampaikan, bahwa keinginan presiden Jokowi untuk
menghadirkan kekuatan pertahanan di daerah pinggiran, di daerah perbatasan, dan
pulau-pulau terluar adalah sesuatu yang sederhana. Tetapi untuk bisa
memenuhinya memerlukan kaji ulang yang mendasar.
[1] Kaji Ulang Gelar Pasukan TNI, oleh
Wiranto, mantan Panglima TNI; wilayahperbatasan.com February 25th, 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar