Rabu, 18 November 2009

Program 100 hari, kebijakan penyelesaian masalah wilayah perbatasan.




program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu ke-2, terkait penajaman konsep kebijakan penyelesaian masalah wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar. Departemen stack holder telah melakukan serangakaian kunjungan kerja ke wilayah perbatasan, dalam upaya mengidentifikasi prioritas kerja dan penajaman konsep kebijakan penyelesaian wilayah perbatasan dalam upaya mendorong terwujudnya Badan Nasional Pengelola Wilayah Perbatasan.

Dari kegiatan kunjungan tersebut, beberapa hal yang dijadikan atensi diantaranya adalah persoalan tapal batas, infrastruktur dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan.

Pertama, persoalan tapal batas.

Wilayah Darat.

Perbatasan RI – Malaysia di Pulau Kalimantan
Panjang garis batas :  2004 km, terdiri dari sektor barat (Kalimantan Barat - Sarawak) dan sektor timur (Kalimantan Timur - Sabah). Penegasan batas bersama dimulai sejak tahun 1975. Jumlah tugu batas ada 19.328 buah lengkap dgn koordinatnya. Pada tahun 2000 pekerjaan demarkasi telah selesai, tetapi masih terdapat sepuluh lokasi yang bermasalah (Outstanding Boundary Problems) atau kedua negara belum sepakat tentang batas negara di lokasi tersebut.
Kesepuluh masalah batas tersebut adalah sebagai berikut, untuk Sektor Barat meliputi ; Tanjung Datu; Gunung Raya ; Batu Aum ; Gunung Jagoi dan Titik D. 400. Untuk Sektor Timur meliputi ; Titik B. 2700 – B. 3100; Titik C.500 – C. 600;,S. Sinapad, Sungai Semantipal dan Pulau Sebatik.

Batas RI – PNG.
Panjang garis batas  770 km, darat 663 km, ikut thalweg Sungai Fly  107 km, penegasan batas dimulai tahun 1966. jumlah tugu MM sebanyak 52 buah.
Permasalahan batas antara RI – PNG, pada umumnya terbatasnya dana dari masing-masing pihak, sehingga praktis tidak banyak yang bisa dilakukan untuk melanjutkan penyelesaian tegas batas. Sebagai contoh sejak tahun 2000, program yang ada hanya sebatas, rapat atau pertemuan tahunan.

Batas RI - Timor Leste.

Panjang batas  268,8 km, terdiri dari sektor Timur  149,1 km dan sektor Barat  119,7 km. Telah disepakati 907 tugu dari rencana + 5.000, disepakati 5 dari 8 daerah yg semula ada permasalahan (terutama kesulitan implementasi karena masalah adat, yakni Permasalahan. di Noel Besi, Manusasi, dan Dilumil/Memo.

Wilayah Laut. Indonesia mempunyai perbatasan laut (meliputi atau terdiri dari laut territorial, ZEE dan Zona Tambahan) dengan sepuluh negara tetangga yakni India, Thailand,Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, Kepulauan Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste. Dalam hal penegasan batas di laut pengorganisasiannya relative sederhana karena lebih fokus pada masalah-masalah teknis tegas batas. Masalah batas yang menonjol adalah dengan Malaysia khususnya di selat Malaka, dan Blok Ambalat di laut Sulawesi.

Perbatasan di sekitar Pulau-Pulau Kecil Terluar

Dari hasil penelitian dan penghitungan di wilayah NKRI terhadap 17.504 pulau. Dari jumlah sebanyak itu terdapat 92 Pulau Terluar yang dinilai sangat strategis, 67 diantaranya berbatasan langsung dengan negara tetanngga; dari 67 pulau itu hanya 28 pulau yang berpenduduk sementara 39 lagi masih kosong; Dan dari sejumlah itu terdapat 12 pulau diantaranya yang paling menghawatirkan, hal ini terkait dengan posisinya dan tidak adanya air tawar dan kehidupan di pulau-pulau tersebut.
12 Pulau yang membutuhkan perhatian khusus, yakni : Pulau Rondo (Sabang,NAD). Pulau Sekatung (Natuna,Kepri). Pulau Nipa (Batam, Kepri). Pulau Berhala (Deli Serdang,Sumut). Pulau Marore (Sangihe,Sulut), Pulau Miangas (Kep.Talaud,Sulut), Pulau Marampit (Kep.Talaud,Sulut), Pulau Batek (Kupang,NTT), Pulau Dana ( Kupang, NTT), Pulau Fani (Raja Ampat, Papua), Pulau Fanildo (Biak Numfor, Papua) dan Pulau Brass ( Biak Numfor,Papua).
Khusus pulau-pulau yang berbatasan dengan Singapura seperti Pulau Nipa, Sekatung rawan terhadap kegiatan penjualan pasir ilegal. Contohnya pulau Nipa, pemerintah RI telah mengeluarkan biaya reklamasi lebih dari 300 milyar, untuk mempertahankan keberadaan pulau, karena merupakan titik dasar tegas batas laut antara Ri-Singapura.

Kedua, persoalan terbatasnya infrastruktur. Terbatasnya infrastruktur seperti jalan, jembatan dan sarana transportasi yang dapat menghubungkan antar wilayah di perbatasan. Pada dasarnya disebabkan belum singkronnya antara kebijakan dan strategi pengembangan wilayah perbatasan di lapangan. Kebijakan menghendaki wilayah perbatasan sebagai halaman depan bangsa, tetapi konsep pengembangannya masih mengambang antara Pemda dan Pusat. Baik pusat maupun Pemda belum mampu menyelesaikan Rencana Tata Ruang yang berwawasan regional, yang dapat mengakomodasikan pembangunan wilayah perbatasan dengan negara tetangganya. Yang ada baru sebatas semangat membangun daerah tertinggal dengan terpaksa mengikuti pola ”inward looking” (lebih realistis), pembangunan lebih cenderung ke pusat-pusat pertumbuhan di kota provinsi / Kabupaten/Kota yang pada umumnya di wilayah pantai, sementara perbatasan darat ada di wilayah pegunungan dan terisolir, dan menyebar dengan jarak hingga ribuan kilometer. Karenanya wilayah perbatasan akan selalu kalah prioritas, terlebih lagi dengan terbatasnya jumlah penduduk, dan lokasinya yang menyebar....

persoalan kehidupan sosial ekonomi. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat perbatasan masih sangat memprihatinkan. Tingkat pendidikan, penghasilan dan kesehatan yang rendah, demikian pula dengan lokasi Pulau-Pulau Kecil Terluar pada umumnya terpencil, jauh dari pusat kegiatan ekonomi. sulit dijangkau, demikian pula dengan kondisi alamnya ada yang sama sekali tidak berpenghuni dan tidak mempunyai sumber air tawar.

Pengamanan Wilayah Perbatasan. Pengamanan wilayah perbatasan masih bersifat tradisional, yakni dengan menempatkan Pos-pos pengamanan, baik yang sifatnya bersama (jumlahnya sangat terbatas) maupun atas inisiatif masing-masing pihak dengan sepengetahuan negara tetangga, adapun gambarannya adalah sebagai berikut;

Di wilayah perbatasan RI- Malaysia, terdapat sebanyak 55 Pos, dua diantaranya PPLB (pos pengamanan lintas batas, bersama) dan selebihnya PLB (pos lintas batas, sepihak). Di wilayah perbatasan RI-PNG terdapat sebanyak 114 pos, 17 PLB permanen dan selebihnya pos mobil dan untuk di wilayah RI-RDTL sebanyak 38 PLB (14 permanen dan 12 Pos Teritorial dan 10 pos mobil).
Untuk di pulau-pulau kecil terluar dilakukan penempatan pasukan TNI khususnya marinir - AL dengan prioritas pulau terluar yaitu di Pulau : Rondo, Berhala, Nipa, Natuna, Miangas, Marore, Marampit, Fani, Fanildo, Brass, Batek dan Dana.
Pengelolaan Wilayah Perbatasan. Sekarang ini belum ada badan yang secara khusus dalam menangani wilayah perbatasan, tetapi sebaliknya terdapat 25 Instansi/lembaga, 71 setingkat eselon satu dan 35 program terkait wilayah perbatasan dan pada kenyataannya sulit dalam hal koordinasi serta upaya mensinergikan program. Sesuai amanat UU no.43 tahun 2009 tentang Wilayah telah mengamanatkan pembentukan Badan Nasional Pengelola Perbatasan, sampai saat ini belum terbentuk, namun demikian untuk tingkat daerah sudah terbentuk.

Ada tiga bidang utama yang harus dituntaskan secara terintegrasi, yakni peningkatan keamanan, ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat di perbatasan. Selama ini semua mekanisme penyelesaian masalah perbatasan berjalan linier. Tidak ada simpul yang mengintegrasikan kebijakan dan implementasi kebijakan di lapangan. Idealnya masalah perbatasan sebaiknya disinergikan oleh kementerian Polhukam, Menko Perekonomian, Menko Kesra secara terintegrasi. Tetapi faktanya tidak bisa optimal. Sebagai tindak lanjut diharapkan adanya perumusan kebijakan, minimal ada semacam Instruksi Presiden, lebih tepat lagi dengan mewujudkan Badan nasional perbatasan.

Tidak ada komentar: