Senin, 12 April 2010

Hutan Lindung Yang Tak Terlindungi

Belum tuntas tindakan tegas pemerintah menggusur vila-vila illegal di kawasan hutan lindung Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Bogor, Jawa Barat, kini bermunculan masalah lain terkait penggunaan hutan lindung. Pemerintah bagai tidak sepenuh hati untuk melindungi hutan hutan lindung di Indonesia.

Masalahnya kali ini adalah terkait penggunaan kawasan hutan lindung untuk kegiatan pertambangan. "Dari 13 perusahaan yang mendapat persetujuan penggunaan kawasan hutan lindung, hanya dua perusahaan yang benar-benar mendapat Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Kementerian Kehutanan," ujar anggota DPR Komisi IV, Erik Satrya Wardhana kepadamediaindonesia.com, Jumat (19/2). Keduanya adalah PT Indominco Kaltim dan PT Antam di Maluku Utara.

Selain itu, dari ke-13-nya juga hanya satu yang memenuhi kewajiban penyediaan lahan kompensasi, sedangkan sisanya hanya membayar kompensasi Penerimaan Negara Bukan Pajak terkait penggunaan kawasan hutan sesuai PP No 2 tahun 2008.

Hal yang menurut Erik mengkhawatirkan, adalah ternyata Freeport adalah salah satu dari perusahaan-perusahaan yang belum mendapat IPPKH namun terus beroperasi hingga saat ini. "Kalau perlu tutup Freeport. Paling tidak pemerintah saat ini bekukan dulu usahanya sampai seluruh permasalahannya terselesaikan. Padahal mereka menguasai 200ribu hektar lebih hutan. Itu juga menunjukkan arogansi Freeport yang luar biasa," ujar Erik.

Menurut Erik hal tersebut membuktikan bahwa pemerintah tak sepenuh hati melindungi hutan-hutan lindung di Indonesia. Alasannya, meskipun belum mengantongi izin–izin secara lengkap, mereka terang-terang melakukan usahanya dengan bebas.

"Juga kepada para pengusaha tambang, padahal bangsa ini sudah terlalu baik. UU No 19 tahun 2004 sudah merupakan langkah kompromi terhadap kegiatan penambangan di kawasan hutan lindung yang sudah terlanjur ada dan sebenarnya dilarang," ungkap Erik.

Sejarah menyebutkan bahwa UU No 5/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan diubah menjadi UU No 41/1999 tentang Kehutanan. UU baru tersebut merumuskan definisi hutan lindung lebih luas dan melarang kegiatan pertambangan terbuka di dalam kawasan hutan lindung.

"Perubahan itu pun dilakukan karena secara faktual sudah ada banyak sekali perusahaan perusahaan yang melakukan kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan lindung dengan pola terbuka," ungkap Erik yang berasal dari Fraksi Hanura tersebut.

Namun sementara itu, pada 11 Maret 2004 silam pemerintah menerbitkan Perppu No 1/2004 yang mengizinkan kegiatan penambangan di hutan lindung. Perppu tersebut pun akhirnya disahkan DPR pada 16 Juli 2004 menjadi UU No 19 tahun 2004.

Namun pada 12 Mei 2004 dikeluarkan Keppres No 41/2004 yang mengizinkan 13 perusahaan tambang dari 22 yang diajukan untuk melanjutkan operasinya. Kepres itu bahkan keluar sebelum Perppu No 1/2004 dibahas untuk dijadikan Undang-undang di DPR.

Atas dasar itulah menurut Erik, kini malah perusahaan perusahaan pertambangan besar di kawasan hutan mengancam akan membawa perkara larangan pertambangan di dalam kawasan hutan lindung ke Pengadilan Arbitrase Internasional. (MI/ Mar/OL-03/20/2/2010)

Tidak ada komentar: