Rabu, 28 April 2010

Menghadirkan Negara di Perbatasan Harus Diperkuat


Bagi mereka yang baru saja melihat wilayah perbatasan, pastilah menilai  bahwa pemerintah  belum serius membangun wilayah perbatasan. Baik itu di wilayah perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan Timur atau di perbatasan antara RI-PNG atau RI-Timor Leste. Pada kenyataannya bukti kehadiran negara, baik fisik maupun informasi, amat minim. Akibatnya, orientasi politik, sosial, dan budaya warga perbatasan berkiblat ke Negara tetangga atau malah kehilangan jati diri sebagai bangsa.

Mungkin ada baiknya kita melihat rekaman tujuh anggota Komisi I DPR RI menegaskan hal itu setelah mengunjungi Tawau, Sabah (Malaysia), Nunukan dan Tarakan di Kalimantan Timur (Kaltim), akhir Desember lalu. Mereka adalah Hayono Isman (ketua tim), Ny Soemientarsi Muntoro, Tantowi Yahya, Fayakhun Andriadi, Muchamad Ruslan, Achmad Basarah, dan Achmad Daeng Sere. Setelah Tawau, Sabah, Malaysia (Kompas, 11/12), rombongan mengunjungi Sebatik, pulau yang secara administratif terbagi atas wilayah RI dan Malaysia.
Kedua Negara di pisahkan oleh garis lintang 04º 10’ LU , bagian utaranya adlah wilayah Malaysia dan sebelah selatannya di miliki oleh RI.  Bagian selatan pulau yang jadi milik Indonesia kemudian  membaginya menjadi dua kecamatan dengan jumlah total penduduk 32.272 jiwa.

Ragam masalah

Sebatik wilayah RI terbagi atas Kecamatan Sebatik Barat dan Sebatik. Dalam salah satu pertemuan dengan tim Komisi I, penduduk Sebatik Barat mengeluhkan tentang tidak adanya perhatian pemerintah dalam membantu kehidupan mereka dalah kehidupan sehari-hari; misalnya ketiadaan listrik, kesulitan air bersih, dan kelangkaan bahan bakar minyak (BBM). Malah Camat Sebatik Barat Junaidi pad saat itu melaporkan, di wilayahnya itu sebenarnya sudah dibangun tiang-tiang listrik dan juga sudah pula  dilengkapi jaringan kabelnya, malah semua itu  sudah dibangun sejak tahun 1991. Namun, hingga kunjungan komisi I DPR itu, atau setelah 18 tahun kemudian  listriknya malah belum nyala. Itu baru di Pulau Sebatik, bagaimana lagi kalau hal itu di lihat di perbatasan yang berada di tengah-tengah Kalimantan. Padahal panjang perbatasan di sana itu ada 2004 km.

Kalau di sungai Musi, kita melihat yang menonjolnya di sana adalah sungai musi sebagai “jamban” terpanjang di dunia, maka warga pulau sebatik menyebut tiang dan kabel itu sebagai ”tiang tali jemuran terpanjang di dunia”. Bagi sebagian penduduk Kecamatan Sebatik sudah ada juga yang telah dilayani penerangan listrik, sekalipun pada kenyataannya dalam sehari bisa terjadi pemadaman berkali- kali.

Pada saat itu Komisi I juga heran mengapa negara begitu lamban dalam melayani kebutuhan dasar warga perbatasan. Listrik merupakan salah satu bentuk fisik dari kehadiran negara di perbatasan. ”Listrik tidak saja membangkitkan ekonomi kreatif warga, tetapi juga menarik investasi dan salah satu bukti kehadiran negara di sini,” kata Hayono Isman pada waktu itu. Tetapi ya hanya setakat itu saja yang bisa mereka sampaikan.

Malah kalau menurut  Basarah, sudah keterlaluan kalau masalah listrik terbengkalai sampai hampir 18 tahun. ”Kalau setahun dua tahun saja, mungkin masih bisa dimaklumi. Akibatnya, muncul kesan di kalangan warga, pemerintah tidak peduli terhadap kebutuhan dasar warga perbatasan,” katanya. Ya memang serba mengherankan, anggota DPR yang terhormat itu juga ga habis piker, lalu apa saja yang dilakukan oleh PLN di sana selama 18 tahun ini? Yah, mereka hanya bisa geleng-geleng kepala.
Hal lain yang lebih mendngkolkan adalah berbagai sarana dan fasilitas yang terkait erat dengan pertahanan Negara. Misalnya Fasilitas pangkalan udara TNI di Tarakan, sebagai pangkalan terdepan di perbatasan, tertinggal jauh dari pangkalan angkatan udara Malaysia di Tawau, Sabah. Misalnya, landasan pacu Tarakan berukuran 2.250 x 45 m, Nunukan 900 x 23 m. Panjang landasan Tawau 2.670 x 47 dan Kinabalu 3.050 x 45 m. Jadi, kalaupun RI mempunyai pesawat tempur canggih sekalipun, ternyata mereka tidak kan bisa memanfaatkan pangkalan yang berada di wilayah perbatasan. Panjang landasan berkaitan erat dengan kemampuan operasional pesawat patroli atau pesawat tempur.

Kapal-kapal patroli TNI AL juga persoalannya sama, selain kapalnya tidak ada, kapal perang KRI juga datangnya hanya sewaktu-waktu , kehadiran mereka di pantai timur Kalimantan juga terbatas. Ada satu kapal patroli mewah di Nunukan, yang ditempatkan sejak dua tahun silam tapi tidak bisa beroperasi karena kesulitan bahan bakar. Kapal berkecepatan 40 knot per jam itu menggunakan bensin, tetapi stok bahan bakar yang tersedia justeru kebanyakan solar. Padahal sesuai disiplin anggaran, menjualnya untuk diganti dengan BBM bensin tentu tidak diperkenankan. Tetapi nyata setelah puluhan tahun, kejadiannya terus berlanjut.

Rombongan Komisi I prihatin terhadap berbagai persoalan perbatasan. Basarah melihatnya sebagai bentuk ketidakseriusan pemerintah, pusat dan daerah, membangun perbatasan sebagai etalase bangsa.  Pada kenyataannya baik Pemda maupun Pusat hanya memanfaatkan wilayah perbatasan atau tapal batas jadi konsumsi politik, tetapi begitu anggarannya turun, pemanfaatannya bukannya untuk membawangun wilayah perbatasan. Akibatnya orientasi politik, sosial, dan budaya warga berkiblat ke Negara tetangga.

Misalnya, warga lebih sering dan mudah mengakses informasi, publikasi, dan penyiaran di bidang politik, ekonomi, budaya dan perkembangan dunia lain dari media Malaysia. Mereka menghafal lagu-lagu pop Melayu yang dinyanyikan artis Malaysia ketimbang artis Tanah Air.

Tantowi dan Fayakhun menambahkan, jangan salahkan warga jika mereka berkiblat ke ”seberang”. Pemerintah RI harus mengubah cara pandang membangun perbatasan serta terus memperkuat kehadiran negara di perbatasan, baik itu secara fisik (bangunan) maupun penyebaran informasi. (Sumber; Kompas, 14/12/09/CAL)

Tidak ada komentar: