Selasa, 07 September 2010

Permasalahan Batas Indonesia-Malaysia, Masalah Komunikasi





Ketika presiden pidato di Markas Besar TNI, banyak pihak tadinya presiden akan memberikan pidato yang menentukan. Nyatanya pidato itu  lebih pas kalau disebut sebagai pidatonya seorang Menlu; pidato yang dengan secara sadar dikemukakan agar kedua Negara tetap mawas diri dan melihat masalah yang ada secara proporsional. Banyak orang kecewa, dan sangat setuju kalau saja pidato yang bagus itu diberi bumbu;


bahwa sebagai Negara bertetangga, ke depan Malaysia tidak boleh berbuat sekehendaknya dan harus mampu Manahan diri dan menjaga hubungan agar selalu tetap baik. Seperti pesannya pak Yowono Sudarsono (mantan Menhan) kepada menhannya Malaysia; agar Malaysia jangan kebabalasan, sebab Indonesia itu punya semangat nekat - semangat bondo nekat. Tapi ya sudahlah, pidato itu tokh sudah di ucapkan, dan nyatanya juga bisa membawa suasana hubungan kedua Negara kian lebih baik.

readbud - get paid to read and rate articles
Lalu kemudian muncullah pertemuan yang ke-17 di Kota Kinabalu, Sabah. Banyak pihak tadinya, menyangka jadwal ini sebagai hasil diplomasi baru Indonesia. Padahal yang benar adalah, pertemuan tersebut adalah pertemuan tahunan yang telah terjadwal; dan seperti biasanya, pihak Malaysia selalu ada saja alasannya untuk tidak memasuki substansi persoalan; dan kali ini hanya mereka jadikan sebagai ajang perkenalan antar pejabat saja. Bagi mereka yang tadinya berharap bahwa perundingan ini akan bisa memasuki persoalan perbatasan; nyatanya harus kecewa berat; sebab pertemuan ini memang tidak memiliki agenda yang pasti kecual hanya sekedar up-dating pertemuan saja.

Persoalan Perbatasan

Permasalahan batas antar Negara di lingkungan anggota sesama Asean sebenarnya banyak persoalan; permasalahan batas darat dan batas laut antara Indonesia dengan sepuluh Negara tetangganya, masih sangat potensial untuk jadi persoalan. Artinya sengketa perbatasan bagi masing-masing anggota Asean adalah sesuatu yang real, konkrit dan melelahkan. Celakanya, dari sisi pengalaman masing-masing, ternyata persoalan batas itu adalah masalah yang sangat sensitive. Artinya sangat jarang ditemui di kawasan ini yang dapat menyelesaikan masalah batasnya secara logis dan dengan menggunakan akal sehat; yang kuat itu biasanya adalah dorongan emosi, persepsi dan harga diri dari mereka yang bertikai. Mereka menaroh harga diri, kedaulatan di tapal batas. Dalam budaya yang seperti ini? Dapatkah Asean memberikan pencerahan yang konstruktif?
Setahun yang lalu Kamboja, mengatakan, akan meminta para pemimpin ASEAN dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Hua Hin, Thailand, 23-25 Oktober, untuk membantu menyelesaikan pertikaian wilayahnya dengan Thailand. Pertikaian itu memicu aksi protes, bentrokan bersenjata, serta dikhawatirkan akan berkembang menjadi perang di perbatasan. Permintaan Kamboja itu seyogianya disambut dengan baik. Di usianya yang kian dewasa, para pemimpin ASEAN seharusnya berani mengambil tanggung jawab untuk membicarakan pertikaian perbatasan yang terjadi di antara mereka dan membantu mencarikan jalan untuk menyelesaikannya. Sayangnya, langkah seperti itu tidak muncul.

Sikap seakan-akan segala sesuatu di ASEAN berlangsung baik-baik saja, sudah harus ditinggalkan. Apalagi, sejak tahun 1976, ASEAN telah menandatangani Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia/TAC) yang merupakan code of conduct dalam menyelesaikan pertikaian di antara anggota ASEAN. Seharusnya, pertikaian perbatasan di antara negara ASEAN, termasuk pertikaian perbatasan antara Kamboja dan Thailand, diselesaikan dalam kerangka TAC. Namun, sejak ditandatangani di Bali pada tahun 1976, belum sekali pun ASEAN menggunakannya. Selama ini, negara anggota ASEAN lebih memilih untuk menyerahkan penyelesaian masalahnya kepada Mahkamah Internasional yang berkedudukan di Den Haag, Belanda.

Tidak ada komentar: