Selasa, 30 Juni 2009

Pengelolaan Wilayah Perbatasan (2)




PENGELOLAAN WILAYAH PERBATASAN NASIONAL(2) 
Oleh : Harmen Batubara 


 b. Wilayah Laut. Masalah Batas laut RI dengan negara tetangga menggunakan dasar hukum UNCLOS ’82; boleh jadi secara defakto wilayah itu masih masuk dan menjadi kepemilikan RI akan tetapi secara budaya dan ekonomi mereka lebih dekat dengan negara tetangga dengan permasalahannya sebagai berikut : 1) RI - India. UNCLOS 1982, perjanjian garis batas landas kontinen tahun 1974 dan tahun 1977, Sesui dengan Keppres 51/74 tanggal 25 September 1974 dan Keppres 26/77 tanggal 4 April 1977. Sejauh ini belum ada masalah yang muncul. 2) RI - Thailand. UNCLOS 1982, perjanjian garis batas landas kontinen tahun 1971, persetujuan garis batas dasar laut tahun 1971, Keppres 21/72 tanggal 11 Maret 1972 dan Keppres 1/77 tanggal 11 Desember 1975. Secara sepihak Thailand mengumumkan ZEE berdasarkan Royal Proclamation tanggal 23 Pebruari 1981 berjarak 200 NM dari baselines Thailand dan mengusulkan landas kontinen dengan ZEE berhimpit. RI berpendapat ZEE mempunyai rejim hukum yang berbeda dengan landas kontinen sesuai UNCLOS 82. 3) RI - Malaysia. UNCLOS 1982, perjanjian baris batas landas kontinen tahun 1969 (menggunakan Konvensi Geneva 58) dan penetapan garis laut wilayah diselat Malaka tahun 1970, Keppres 89/69 tanggal 15 November 1969 dan UU No. 2/71 tanggal 10 Maret 1971. Malaysia mengklaim Blok Ambalat dilaut Sulawesi, dan tidak konsisten dengan UNCLOS 1982, meskipun ZEE belum ditetapkan. RI berpendapat Blok Ambalat yang berada di Laut Sulawesi masuk dalam wilayah NKRI. 4) RI - Singapura. UNCLOS 1982, perjanjian garis batas laut wilayah tahun 1973, UU No. 7/73 tanggal 8 Desember 1973 (Lembar Negara RI No. 3018). Perjanjian ini dilakukan sebelum UNCLOS 82. Pasir dari Indonesia telah merubah bentuk asli geografi Singapura, sehingga wilayah Singapura kian menjorok ke perairan Indonesia. UNCLOS 82 memungkinkan negara memanfaatkan harbour work sebagai titik dasar. Sampai saat ini ekspor pasir masih berjalan terus, minimal dalam bentuk pasar gelap.... 5) RI - Vietnam. UNCLOS 1982, perundingan penetapan batas landas kontinen tahun 2003. RI belum meratifikasi perjanjian tahun 2003, perairan Laut Cina Selatan mengandung minyak bumi dan gas. 6) RI - Philipina. UNCLOS 1982, penjajakan perundingan tingkat teknis (1994) dan pertemuan informal (2000), pertemuan teknis lanjutan forum Joint Commision Bordering Committee/JCBC (2001). Treaty Of Paris 1898. Belum ada ketetapan untuk penentuan batas maritim, dimana Indonesia mengusulkan diterapkannya prinsip proporsionalitas panjang pantai, dan median line bagi kawasan yang sempit. Philipina pertimbangkan masalah perikanan sebagai faktor yang relevan untuk mencari solusi yang equitable. 7) RI - Palau . UNCLOS 82, Konstitusi Palau tahun 1979. Belum pernah melakukan perundingan karena belum ada hubungan diplomatik antar kedua negara. Dalam masalah kedaulatan AS bertanggung jawab atas pertahanan Palau dan kemungkinan Palau dibantu oleh AS dalam perundingan penetapan batas maritim. 8) RI - PNG. UNCLOS 1982, perjanjian garis batas tertentu (1973) dan persetujuan batas maritim (1982), UU No. 6/73 dan Keppres No. 21/82. Meskipun masalah penangkapan ikan di wilayah hukum tradisional tidak mempunyai masalah akan tetapi luas wilayah daerah hukum tradisional nelayan dan bentuk/sifat kegiatannya belum ditetapkan secara tuntas. 9) RI - Timor Leste. UNCLOC 82, pertemuan Bali (Desember 2004). ALKI yang melintas perairan Timor Leste, akses laut untuk Ocussi ke Timor Leste dan kemungkinan tumpang tindih batas yuridiksi ke dua negara di laut masih belum tuntas. 10) RI - Australia. UNCLOS 1982, perjanjian garis batas landas kontinen (1971), perjanjian penetapan batas dasar laut tertentu (1971), hak perikanan tradisional nelayan RI (1974), Keppres No. 42/71 dan Keppres No. 66/72. Australia ingin memberlakukan perundingan anti terorisme baru dengan memeriksa semua kapal sampai jauh dari batas yurisdiksinya. d. Permasalahan Perbatasan di sekitar Pulau-Pulau Kecil Terluar Dari hasil penelitian dan penghitungan terhadap 17.499 pulau-pulau yang ada, sebanyak 5698 pulau sudah diberi nama, sementara sebanyak 11.801 Pulau belum ada nama. Dari jumlah sebanyak itu terdapat 92 Pulau terluar yang dinilai sangat strategis, karena menjadi lapis terluar Nusantara juga berbatasan langsung dengan Negara Tetangga atau laut Internasional. Dari 92 Pulau tersebut terdapat 12 Pulau yang membutuhkan perhatian khusus, yakni : Pulau Rondo (Sabang,NAD). Pulau Sekatung (Natuna,Kepri). Pulau Nipa (Batam, Kepri). Pulau Berhala (Deli Serdang,Sumut). Pulau Marore (Sangihe,Sulut), Pulau Miangas (Kep.Talaud,Sulut), Pulau Marampit (Kep.Talaud,Sulut), Pulau Batek (Kupang,NTT), Pulau Dana ( Kupang, NTT), Pulau Fani (Raja Ampat, Papua), Pulau Fanildo (Biak Numfor, Papua) dan Pulau Brass ( Biak Numfor,Papua) Sebagaimana diketahui, Pulau-Pulau Kecil Terluar umumnya memiliki karakteristik yang khas dan sekaligus menjadi sumber permasalahan yang membutuhkan perhatian : 1). Lokasi Pulau-Pulau Kecil Terluar pada umumnya terpencil, jauh dari pusat kegiatan ekonomi. Pulau-Pulau Kecil Terluar merupakan kawasan sangat sulit dijangkau, demikian pula dengan kondisi alamnya ada yang sama sekali tidak berpenghuni dan tidak mempunyai sumber air tawar. 2) Minimnya sarana dan prasarana. Hal ini dapat dilihat mulai dari belum adanya apa-apa sama sekali, tidak ada sarana jalan, belum ada terminal, tidak punya pelabuhan laut dan sarana angkutan. Selain itu untuk yang sudah berpenghunipun, umumnya prasarana air terlebih lagi irigasi untuk menunjang kegiatan pertanian belum ada atau jauh dari memadai, demikian pula dengan jangkauan pelayanan lainnya seperti sarana listrik dan telekomunikasi. 3) Akses menuju Pulau-Pulau Kecil Terluar sangat terbatas. Pada umumnya aksesibilitas menuju pulau-pulau kecil terluar tidak ada atau sangat minim sehingga sulit mengharapkan sektor perekonomian bisa berkembang secara alami. 4) Kesejahteraan masyarakat masih sangat rendah. Kondisi masyarakat umumnya masih tergolong sangat sederhana atau dibawah garis kemiskinan. Karena kondisi wilayahnya menyebabkan mereka belum dapat memanfaatkan peluang. Malah pada umumnya mereka lebih mengandalkan negara tetangga. 5) Penduduk merasa lebih dekat dengan negara tetangga. Secara geografis Pulau-Pulau Kecil Terluar berjarak lebih dekat dengan negara tetangga, Penduduk banyak yang mencari nafkah di negara tetangga, karena lebih mudah mendapatkan pekerjaan, misalnya penduduk P. Miangas, ( Batas dgn Pilifina). P. Sebatik (Batas dgn Malaysia). begitu juga dengan sarana dan prasarananya, sehingga kegiatan ekonominya lebih dipengaruhi oleh kegiatan yang terjadi di wilayah tetangga 6) Pengrusakan lingkungan hidup cenderung meningkat. Beratnya beban ekonomi mesayarakat dan rendahnya kesadaran terhadap lingkungan serta lemahnya pengawasan menyebabkan maraknya kegiatan menjual tanah atau pasir yang ada disekitarnya ke negara tetangga (kasus pulau nipah dan sekitarnya). Mereka tidak sadar kalau perbuatan seperti itu justeru memperluas negara tetangga dan sebaliknya mempersempit wilayah negara sendiri dan sekaligus menjadi masalah dalam penegasan batas antar negara. 7) Arus informasi dari negara tetangga lebih dominan. Karena letaknya yang terisolir Pulau-Pulau Kecil Terluar sulit dijangkau oleh teknologi komunikasi dan informasi sehingga cenderung memanfaatkan informasi dari negara tetangga. Sebagian besar mereka hanya dapat mengakses TV negara tetangga dan sebaliknya tidak bisa menangkap jaringan TV nasional, kalaupun dapat tapi kualitas nya kurang baik. 8) Rendahnya kualitas SDM. Salah satu faktor yang menentukan kualitas SDM adalah tersedianya infrastruktur dasar seperti pendidikan, kesehatan dan perumahan. Tetapi karena tidak tersedia maka tingkat pendidikan umumnya masih rendah, demikian pula halnya dengan kesehatan masyarakat.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Pulau terluar sangat perlu diperhatikan masalah listrik dan telekomunikasi, info sekatung di www.sekatung.co.cc