Sabtu, 03 Oktober 2009

Memandang NKR Indonesia dari Merauke



Oleh ARIFIN PANIGORO 
 Saat mendapat gelar adat Warku Gebze dan dianggap Namek (saudara laki-laki) bagi masyarakat adat suku Malind Marori di Kampung Wasur, Merauke, Papua, pertengahan Agustus lalu, saya ”ditikam” sebuah kesadaran baru. Memandang Indonesia dari Merauke ternyata lebih nyata ketimbang dari Jakarta dan kota besar lain. Hamparan tanah seluas 11 juta hektar di Papua selatan, Kabupaten Merauke, Asmat, Mappi, Boven Digoel, itu belum banyak tersentuh tangan pertanian, misalnya, mengingatkan penulis akan sempitnya sawah petani saat ini. Luas sawah di republik tinggal sekitar 12 juta hektar. Jika tanah yang idle di Merauke itu disentuh tangan-tangan produktif, ketahanan pangan kita akan menggeliat dan sangat kuat. Lebih dari itu, hasil pertanian itu juga bisa diolah menjadi energi terbarukan (biofuel) untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. 
Pendeknya, dari kesunyian dan ”keperawanan” Merauke, saya bisa lebih memahami pemikiran Thomas L Friedman (2008) tentang realitas dunia kekinian yang panas, datar, dan kumuh. Juga keinginannya untuk sebuah revolusi hijau di seluruh dunia agar kelangsungan hidup bumi tetap terjaga. Untuk itu semua, kita butuh pangan, pendidikan, dan energi. Segitiga pertahanan Fenomena dunia yang datar, sama seperti gejala yang lain, selalu merupakan pedang bermata dua. Di satu sisi, ia membuka peluang bagi siapa pun untuk maju dan berkembang tanpa adanya ganjalan diskriminatif. Di sisi lain, ia juga mengancam siapa pun yang tak bisa bertahan dalam pertempuran tanpa batas wilayah itu. 
Dunia begitu sempit dan mereka yang tak berkemampuan pasti akan terjepit dan tertinggal. Dilihat dari Merauke, terasa sekali Indonesia masih perlu kerja keras dan persiapan sistemik dalam menyongsong tekanan dunia yang semakin panas, datar, dan kumuh tersebut. Perasaan bening seperti itu, selama ini sering terhalang tingginya gedung-gedung mewah, hotel-hotel berbintang, dan fasilitas teknologi informasi canggih yang tersedia di Jakarta dan kota besar lainnya. Padahal, di balik itu, sejatinya kita masih lemah. Tiga pilar yang menjadi segitiga pertahanan, yaitu pangan, pendidikan, dan energi, masih kurang berdaya. Dalam produksi pangan, misalnya, saat ini kita masih jauh dari perkasa. 

Kecuali beras, hampir semua bahan pangan masih impor. Sementara itu, sumber pangan alternatif sejauh ini belum dikembangkan. Mengikuti logika dunia yang datar, kegagalan panen akan berubah menjadi hantu menakutkan apabila sekuen waktunya bersamaan dengan kelangkaan produksi pangan dunia. Bukan saja harga bahan dan produk pangan menjadi mahal, tetapi suhu politik domestik bisa berubah memanas seketika. Energi dan pendidikan Sementara itu, dalam hal energi, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa cadangan minyak yang kita miliki semakin menipis, jika tidak boleh disebut habis. Tekanan dunia yang datar, bukan saja memaksa pemerintah mengambil kebijakan untuk mengikuti harga minyak dunia, tetapi juga memaksa para pelaku bisnis energi berusaha untuk menemukan sumur baru dan sumber energi alternatif.... 
Pergumulan untuk menemukan sumber-sumber energi itu dan mengembangkan energi yang terbarukan kini sedang berlangsung. Sama seperti pilar pangan dan energi, pilar pendidikan juga masih lemah. Padahal, ia adalah titik keseimbangan dalam model segitiga pertahanan menghadapi dunia yang datar. Jika China sudah mempunyai lebih dari 30.000 doktor dalam bidang sains dan teknologi, Indonesia diduga baru mempunyai sepersepuluhnya. Karena itu, lompatan yang luar biasa perlu dilakukan untuk mengejar ketertinggalan di ranah pendidikan, khususnya menyangkut pengembangan nanoteknologi, bioteknologi, teknologi informasi, dan neurosains. 
 Integrasi keempat bidang tersebut dalam pilar pangan, pendidikan, dan energi akan memperkokoh soliditas segitiga pertahanan dalam menghadapi dunia yang panas, datar, dan kumuh. Tanpa penguatan tersebut, pertempuran yang kita lakukan di dunia yang datar adalah semu. Kita sudah kalau dari semula. Mendatarkan Indonesia Dari Merauke, terlihat jelas bahwa di antara lintasan dunia yang datar, keadaan Indonesia sendiri justru masih diwarnai lembah-lembah curam dan bukit-bukit berbatu. Ilustrasi itu merupakan suatu analogi bahwa selain segitiga pertahanan (pangan, pendidikan, energi) yang belum kuat, banyak praktik bisnis di negeri ini masih jauh dari efisiensi dan rasionalitas. 

Segmentasi pasar domestik masih begitu memprihatinkan. Untuk ongkos angkut kontainer, misalnya, jarak dari Jakarta ke Batam biayanya hampir dua kali lipat dibandingkan dengan jarak Singapura ke California. Padahal, ukuran kontainer itu sama besar. Hal yang sama juga terjadi pada ongkos angkut dan harga buah-buahan. Harga buah impor bisa jadi lebih murah daripada buah lokal karena mahalnya ongkos angkut antarpulau dan pungutan lain yang harus dibayar. Adalah tugas kita bersama untuk mendatarkan Indonesia. Tanpa lalu lintas barang dan pelayanan yang bebas (free movement of goods and services) serta kuatnya segitiga pertahanan (pangan, pendidikan, energi) di republik, dunia yang panas dan datar akan melibas kita. Dari Merauke, ketika mendapatkan gelar adat Warku Gebze, saya meyakini bangkitnya optimisme Indonesia, dalam waktu sesingkat-singkatnya.(Kompas,Sabtu, 29 Agustus 2009) | ARIFIN PANIGORO Seorang Pelaku Usaha dan Peminat Masalah Sosial-Politik

Tidak ada komentar: