Oleh Tanri Abeng
PADA opini
berjudul ”Ihwal Kerugian Negara” (Kompas, 15/1), Hikmahanto Juwana mengupas
pertanyaan besar: apakah kerugian negara selalu berkorelasi dengan korupsi? Satu dari empat jenis kerugian negara yang dinyatakan
dalam tulisan tersebut adalah yang terjadi di lembaga/badan yang menggunakan
dana APBN untuk pendiriannya atau sebagian dana operasionalnya, seperti BUMN. Disebutkan
oleh Hikmahanto, jika ada kerugian negara yang diakibatkan kebijakan atau
keputusan, evaluasi bisa dilakukan. Hasil evaluasi dapat menunjukkan apakah
keputusan benar atau salah. Hanya, evaluasi harus menggunakan konteks dan
suasana pada saat kebijakan atau keputusan diambil. Dalam konteks ini,
kebijakan atau keputusan apa pun, termasuk yang salah sekalipun, tetapi yang
dilandasi itikad baik, harus dihormati. Sanksi tak dapat diberikan mengingat
ini merupakan judgement. Begitu pun di BUMN yang harus melakukan investasi.
Investasi belum tentu untung, tetapi
dapat juga rugi. Rugi dan untung adalah dua sisi mata uang. Kerugian
tak mungkin diberi sanksi karena didasarkan kalkulasi bisnis (business
judgement). Akibat ketakutan dan salah paham akan makna kerugian negara,
Hikmahanto menyatakan itu membuat pengambil keputusan ekstra hati-hati, bahkan
cenderung tak ambil keputusan. Sikap mereka,
lebih baik negara tak selamat, sementara saya (pejabat) selamat. Ini karena
jika negara selamat, pejabat itu khawatir masuk penjara. Pemimpin lembaga/badan
yang didirikan dengan APBN punya sikap sama. Akibatnya, lembaga/badan,
khususnya BUMN, tak selincah perusahaan swasta sejenis
.
”Business
Judgment Rule”
Tak bisa terbantahkan, BUMN punya
peran strategis sebagai pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan swasta
besar, dan turut membantu pengembangan usaha kecil/koperasi.
Pelaksanaan peran BUMN ini
diwujudkan dalam kegiatan usaha pada hampir semua sektor perekonomian, seperti
pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan, manufaktur, pertambangan,
keuangan, pos dan telekomunikasi, transportasi, listrik, industri dan
perdagangan, serta konstruksi. BUMN juga salah satu sumber penerimaan
negara yang signifikan dalam bentuk berbagai jenis pajak, dividen, dan hasil
privatisasi. Dengan kata lain, BUMN pada dasarnya sangat fundamental bagi
sistem ekonomi kita. Mau tak mau BUMN secara terus-menerus harus mengembangkan
dan dikembangkan, bukan saja demi kelangsungan hidupnya, melainkan juga bagi
keberlangsungan sistem ekonomi itu sendiri dan keberlangsungan negara Indonesia.
Pengalaman
saya sebagai Menteri Negara Pemberdayaan BUMN pertama dan berdasarkan data yang
ada, kalaupun BUMN kita telah memberikan kontribusi ekonomi dan sosial yang
signifikan, benturan penerapan politik dan birokrasi mengakibatkan kinerja BUMN
tertinggal jauh dari beberapa negara lain.
Tahun
2013, total keuntungan neto 141 BUMN lebih dari 15 miliar dollar AS. Bandingkan
dengan Petronas yang menyumbang 40 persen dari APBN Malaysia dengan keuntungan
neto 20 miliar dollar AS atau BUMN Tiongkok dengan keuntungan neto 398 miliar
dollar AS pada 2013. Direksi BUMN Indonesia tidak bisa lincah dalam melakukan
manuver bisnis melalui merger dan akuisisi serta berinvestasi di mancanegara
karena mereka tak terproteksi dari langkah- langkah korporasi.
Harus
diakui, saat ini (banyak) direksi BUMN dalam pengelolaan perusahaan sering
dihadapkan pada situasi dilematis. Di satu pihak, direksi dituntut memperoleh
pendapatan signifikan (revenue) dan pertumbuhan (growth). Namun, di lain pihak,
dihadapkan pada situasi ”gamang” dalam mengambil keputusan bisnis karena adanya
tumpang tindih kaidah hukum yang berada pada ranah hukum perdata dan hukum
bisnis khususnya.
Ada
banyak aturan yang melingkupinya, misalnya UU PT (UU No 40/2007), UU Pasar
Modal (UU No 8/1995), UU BUMN (UU No 19/2003), dan UU Perbankan (UU No 7/1992
jo UU No 10/1998). Kondisi ini menjadi lebih blunder jika bersinggungan dengan
kaidah hukum publik, antara lain UU Keuangan Negara (UU No 17/2003), UU
Perbendaharaan Negara (UU No 1/2004), UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara (UU No 15/2004) jo UU BPK (UU No 15/2006), serta UU
Tipikor (UU No 31/1999). Euforia pemberantasan korupsi saat ini sering kali
menempatkan direksi pada situasi dan sikap gamang.
Guna
keluar dari kegamangan itu, Prasetio melalui bukunya, Dilema BUMN: Benturan
Penerapan Business Judgment Rule (BJR) dalam Keputusan Direksi BUMN, membuat
analisis menarik sebagai solusi. Solusi itu adalah mempergunakan doktrin
Business Judgment Rule (BJR) sebagai acuan bagi direksi BUMN dalam membuat
perlindungan hukum kepada dirinya dalam mengambil keputusan bisnis yang
dilandasi prinsip prudent, utmost good faith, responsibility, accountability.
Perlu
harmonisasi
Dalam
hukum bisnis, BJR pada hakikatnya adalah perlindungan hukum bagi direktur dan
jajarannya (termasuk BUMN) dari pertanggungjawaban atas setiap kebijakan atau
keputusan bisnis atau transaksi yang mengakibatkan kerugian bagi perusahaan.
Selama kebijakan atau keputusan bisnis atau transaksi bisnis dilakukan dengan
itikad baik (good faith, tegoedetrouw), penuh kehati-hatian (prudent), sejalan
dengan tanggung jawab dan wewenangnya (accountable atau responsible,
verantwoordelijkheid), kerugian perusahaan akan menjadi kerugian bisnis yang
akan ditanggung oleh perusahaan. Bukan oleh direksi.
Sayangnya,
fenomena yang berkembang, (sebagian) aparat penegak hukum belum menjadikan
doktrin BJR sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan hukum. Mereka belum
membedakan dua asas penting dalam sistem hukum Indonesia menyangkut kedudukan negara,
terutama terhadap status kekayaan negara dalam suatu perseroan. Apakah masuk
dalam lingkungan hukum publik atau hukum privat, lebih khusus lagi menyangkut
perseroan yang telah menjadi perusahaan publik (sahamnya dimiliki oleh banyak
pihak dan diperdagangkan di pasar modal atau bursa efek).
Ketidakharmonisan
peraturan perundang-undangan ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan risiko
bagi para direksi persero untuk mengambil keputusan bisnis karena dalam
praktiknya doktrin BJR cenderung diabaikan. Pada kenyataannya, dari sejumlah
kasus yang muncul, kita menyaksikan direksi BUMN dapat saja setiap saat dituduh
merugikan negara kendati keputusan yang diambilnya itu sudah berdasarkan
prinsip-prinsip bisnis rasional dan berpijak pada tata kelola yang baik.
Pesan
penting yang ingin disampaikan dari BJR adalah perlunya dilakukan harmonisasi
terhadap undang-undang dan sejumlah doktrin yang melindungi para profesional
BUMN dalam menjalankan tugas dan perannya. Pemerintah, sebagai pemegang saham
BUMN, harus menjadi yang terdepan dalam melakukan perlindungan atas direksi
apabila ia telah melakukan pengambilan keputusan berdasarkan pada prinsip
kehati-hatian, dan laporan kinerjanya sudah disahkan dalam RUPS. Sebaliknya, jika pemegang saham menilai
direksi tak menjalankan fungsi dengan baik dan nyata-nyata menerima/memberikan
suap, pemerintah punya kewenangan sangat luas untuk menghukum. Bahkan, bukan
hanya pengadilan, negara sebagai pemegang saham dapat memiskinkan para direksi,
melakukan pemecatan dengan tak hormat, menuntut ganti rugi, dan menyita aset
kekayaan pribadinya.
Catatan Redaksi:
tulisan ini memang tidak dikaitkan dengan Industri Pertahanan, tetapi sebagai
bagian dari BUMN tentu tulisan ini juga menyangkut kelangsungan industri
pertahanan tersebut. (Sumber: Kompas 2 Februari 2015,Tanri Abeng, Mantan Menteri Negara Pemberdayaan BUMN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar