Sumpah
Kebersamaan, Bertemu untuk Menjadi Satu
oleh Imam Nahrowi
Sebagai
pemuda yang lahir dan tumbuh di sebuah kepulauan seperti Madura, saya memiliki
persepsi tersendiri tentang apa itu kesatuan dan persatuan. Garis pantai yang
begitu dekat dengan tanah yang kami jejak telah membentuk cara pandang saya
terhadap kesatuan Indonesia yang begitu luas. Bercampur antara kemusykilan,
keajaiban, dan kebanggaan.
Saya
sebut musykil karena bagaimana mungkin menyatukan orang dari ribuan pulau yang
secara budaya, bahasa, dan tradisi berbeda-beda satu sama lain. Jangankan
membayangkan bersatu, membayangkan orang-orang tersebut sekadar bertemu saja
bukan pekerjaan mudah. Ribuan kilometer jarak harus ditempuh. Ribuan perbedaan
dan juga sekat-sekat sosial harus ditebas jika ingin bertemu, apalagi bersatu
dalam satu cara pandang yang sama tentang kenegaraan. Saya sungguh ragu-ragu mengemukakan
kemusykilan di depan khalayak luas di saat bersamaan duduk di posisi pemegang
amanat. Namun, itulah yang saya alami. Itulah yang saya rasakan. Dan,
alhamdulillah, kemusykilan itu langsung runtuh tatkala saya membaca fakta
sejarah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Saya
takjub sekaligus musykil menerima pertanyaan, apa yang melatarbelakangi
penjelasan negeri kepulauan nan membentang ini bersatu. Bagaimana bisa
keberbedaan yang sempurna yang dimiliki oleh bangsa ini ternyata mampu bersatu?
Satu lagi pertanyaan, imajinasi macam apa yang dimiliki para pemuda pendahulu
sehingga mampu menyatukan bangsa-bangsa, ras-ras, suku-suku, agama-agama,
adat-adat, bahasa-bahasa, golongan-golongan, juga kepentingan-kepentingan yang
pragmatik?
Pelajaran
di sekolah terlalu sederhana saat menjelaskan apa itu Bhinneka Tunggal Ika.
Kalimat dari bahasa Sanskerta ini, bagi saya orang Madura, termasuk kategori
jimat. Kenapa? Karena kalimat tersebut sakti. Ia bisa terus menyelip di buku
pelajaran SD hingga SMA tanpa saya bisa memahami bagaimana semiotika dan
semantiknya, apalagi mau dirunut dengan metodologi pengetahuan pesantren
seperti sanad (asal-usul), rowi (otorisasi), serta asbabul nuzul dan asbabul
wurud (konteks sejarah).
Saya
mulai bisa menemukan rasionalisasi dari kesaktian Bhinneka Tunggal Ika dan
ikrar Sumpah Pemuda 1928 itu dari kisah-kisah orang dekat, orangtua, kakek,
atau guru mengaji di kampung saya di Madura. Perlahan mereka membuka pikiran
saya. Misalnya, ada kisah bahwa orang Madura memiliki tradisi merantau di luar
pulau, melaut mencari ikan hingga Sulawesi, bahkan Nusa Tenggara Timur.
Sebuah pertemuan. Kisah-kisah
pertemuan orang Madura dengan orang-orang dari pulau lain di dermaga, di
stasiun kereta api, di masjid, di pasar, hingga di lautan meminimalkan
kemusykilan saya tentang bersatunya orang-orang di negeri kepulauan ini. Teman
saya, Ahmad Baso, sambil mengutip sebuah buku, bercerita bahwa orang Madura itu
disebut echte zwervers, pengelana sejati. Namun, muncul pertanyaan lain, yang
sedikit menggelikan: bagaimana orang Madura bertemu dengan orang-orang dari
bahasa, adat, hingga agama berbeda?
Ahmad
Baso yang berasal dari Makassar menjawab, awal abad ke-19 ada kamus bahasa
Bugis-Makassar-Madura. Artinya, pertemuan budaya itu sudah berlangsung lama dan
begitu dekat. Komunikasi sudah begitu canggih sehingga dapat menghasilkan kamus
bahasa bersama. Tentu ini pencapaian yang luar biasa. Kemusykilan-kemusykilan
saya tentang keindonesiaan makin terpecahkan saat saya mulai merantau ke
Surabaya, kuliah di IAIN Sunan Ampel. Saya mulai merasakan keindonesiaan yang
sebelumnya hanya ada di buku pelajaran. Dan, saya pun pelan-pelan mengalami
pertemuan yang sudah dialami nenek moyang orang Madura dengan orang-orang pulau
yang jauh.
Prasangka-prasangka
khas, seperti agama, suku, dari kampung di Madura yang homogen mulai hilang
saat bertemu dengan orang-orang di Kota Surabaya yang heterogen, multikultur,
multietnis, hingga multiagama. Di Kota Surabaya, saya tidak lagi menganggap
Bhinneka Tunggal Ika sebagai jimat. Dari sinilah saya lantas menemukan
rasionalisasi dari peristiwa Sumpah Pemuda yang dimotori pemuda dan pelajar
dari sejumlah daerah, seperti Sugondo Djojopuspito dari Jawa, Mohammad Yamin
dari Sumatera, dan Johannes Leimena dari Ambon. Dari sini pula saya meyakini
NKRI itu bukan lagi sebuah kemusykilan, apalagi disebut imagined communities
(komunitas imajer) seperti yang dikatakan oleh Ben Anderson.
Bhinneka
Tunggal Ika, Sumpah Pemuda, dan NKRI adalah fakta sejarah yang dibentuk melalui
dialektika zaman, bukan hasil dari lamunan atau imajinasi. Rekam jejaknya dapat
dilacak dan diverifikasi secara logis ataupun empiris. Semua ini bisa terjadi
karena adanya pertemuan dan dialog antarelemen pemuda dari pelbagi pelosok.
Saya berhasil meruntuhkan kemusykilan saya tentang NKRI setelah saya ke
Surabaya: kuliah, bertemu, dan berdialog dengan beragam orang. Tanpa pertemuan-pertemuan
itu, tidak mungkin NKRI menemukan rasionalisasinya dalam diri saya. Bukankah
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 juga baru diputuskan pada kongres kedua, bukan di
kongres pertama? Artinya, sebelum itu terdapat serangkaian pertemuan pemuda
yang cukup intens untuk menyatukan cara pandang antarpemuda.
Dalam
peringatan Sumpah Pemuda kali ini, saya tak ingin bicara muluk-muluk tentang
Sumpah Pemuda. Saya hanya ingin fokus pada satu hal: mengajak para pemuda
Indonesia di seluruh Nusantara untuk bersama-sama dengan Kementerian Pemuda dan
Olahraga mengikhtiari semakin banyak pertemuan pemuda; memperbanyak dialog
pemuda lintas suku, ras dan agama; serta menciptakan sebanyak mungkin momentum
keindonesiaan (kebinekaan) pemuda, baik melalui organisasi kepemudaan,
komunitas kepemudaan, maupun kegiatan keolahragaan.
Hanya
dengan bertemu kita bisa saling berbagi dan menguatkan keyakinan kita akan
kebinekaan Indonesia. Pertemuan meminimalkan salah paham dan munculnya paham
salah. Saya percaya-dan sudah juga dialami dan dilakukan oleh para pemuda
Indonesia, para pendiri bangsa 87 tahun silam-bahwa untuk menjadi satu adalah
bertemu.
Imam
Nahrawi, Menteri Pemuda Dan Olahraga ( Sumber ; kompas,28 oktober 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar