Rabu, 24 Maret 2010

Masalah Tidak Dicantumkannya Titik Koordinat Batas Dalam UU

Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar Fayakhun Andriadi menilai, manajemen pengelolaan kawasan perbatasan hingga kini belum terintegrasi dengan baik, sehingga menimbulkan kesimpangsiuran dan tumpang tindih kebijakan. "Persoalan utama pengelolaan dan penanganan kawasan perbatasan adalah koordinasi dan sinergi lintas sektoral," katanya di Jakarta, MI, Senin (1/2), menanggapi Peraturan Presiden (Perpres) tentang Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP).

Fayakhun Andriadi lalu memaparkan hasil kunjungan kerja Komisi I DPR ke beberapa kawasan tapal batas, khususnya di Provinsi Kalimantan Timur yang berbatasan dengan Negara Bagian Sabah, Malaysia. "Jelas dalam hal ini kami perlu mengkritisi Pemerintah, karena realitasnya manajemen pengelolaan kawasan perbatasan tidak terintegrasi dengan baik, sehingga menimbulkan kesimpangsiuran dan tumpang tindih kebijakan," ungkapnya.

Pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten, menurut dia, tidak memiliki visi serta misi yang sama tentang kondisi obyektif wilayah perbatasan. "Selain itu, selalu saja muncul alasan klasik yakni persoalan keterbatasan anggaran di tengah prioritas anggaran pembangunan di sektor lain," ujarnya.

Karena itu, demikian Fayakhun Andriadi, terbitnya Perpres BNPP dinilai bakal membawa harapan besar di tengah urgensi pembangunan kawasan perbatasan. "Diharapkan juga, titik koordinat perbatasan di Papua, Kalimantan dan Timor Leste yang seharusnya ditulis dengan jelas namun ternyata tidak dicantumkan dalam Undang Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Perbatasan, harus segera dibuat," tegasnya.

Sebab, menurut dia, ketiadaan titik-titik koordinat perbatasan itu telah membuat tidak percaya diri aparat keamanan Indonesia dalam mengawal tapal batas, jika ada keluhan dari petugas militer negara tetangga. "DPR RI mendesak pemerintah agar titik koordinat batas-batas wilayah menjadi perhatian utama dalam draf susunan isi dari Perpres itu," tandas Fayakhun Andriadi.
Namun terkait dengan tidak dicantumkan titik koordinat batas, dalam UU No.43 Tahun 2008, dapat dilihat dari alasan sebagai berikut; berbeda dengan batas administrasi wilayah daerah yang batasnya ditetapkan bersamaan dengan undang-undang pembentukannya, maka batas wilayah suatu Negara ditetapkan atas dasar pewarisannya. Kepemilikan dengan prinsip “UTIS POSSIDETIS JURIS” atau pewarisan wilayah pemerintah kolonial kepada Negara baru selepas penjajahannya. Jadi dalam kontek NKRI ia menjadi pemilik syah wilayah atas semua wilayah bekas jajahan Belanda di wilayah nusantara.

Untuk menentukan batas-batas wilayah Negara yang sebenarnya, maka para pewaris wilayah jajahan tersebut membuat kesepakatan untuk penegasan perbatasannya. Kesepatakan yang mereka lakukan mengacu kepada perjanjian batas wilayah yang telah dibuat oleh negera penjajah. Jadi yang menjadi inti di sini adalah kesepatakan bersama antar kedua negara, untuk menegaskan kembali batas-batas negaranya. Kesepakatan tersebut di wujudkan dalam kegiatan Penegasan Batas antar Negara.

Dengan demikian terlihat dengan jelas bahwa segala sesuatunya tentang batas wilayah Negara adalah adanya kesepakatan bersama antara kedua Negara, kesepakatan itu diwujudkan dalam suatu MoU yang pada akhirnya ditandatangani oleh kedua pimpinan tertinggi Negara, dan kemudian di ratifikasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan negaranya masing-masing. Dengan demikian, menjadi jelas terlihat bahwa tidak tercantumkannya daftar koordinat batas wilayah NKRI dalam UU No.43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara perlu ditindaklanjuti dan diselesaikan dalam UU yang disepakati dan diratifikasi oleh kedua Negara dan diakui oleh masyarakat Internasional. Dalam implementasi di lapangan sambil menunggu selesainya UU yang dimaksud, batas wilayah bisa diketahui dengan mencermati posisi fisik Tugu di lapangan dan membaca koordinatnya yang terbuka untuk umum dan dapat diakses sesuai dengan prosedur yang ada.(Sumber ; MI/Kompas)

Tidak ada komentar: