Perdagangan di Perbatasan
Perdagangan di Perbatasan, Mencari
Formula Yang Saling Menguntungkan
Oleh harmen batubara
Ada dua hal perkembangan yang menarik
terkait kebijakan pengelolaan perbatasan terkait dengan PPLB Entikong-Tepedu di
perbatasan Indonesia-Malaysia. Pertama Peme rintah Malaysia meminta Indonesia
membuka kembali perdagangan ekspor-impor di perbatasan Entikong, Kalimantan
Barat, dengan Tebedu, Serawak, Malaysia pasca ditutup pertengahan 2014. Malaysia
berharap perbatasan itu bisa menjadi pelabuhan darat atau pintu masuk resmi
ekspor-impor. Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional
Kemen terian Perdagangan (Kemendag) Bachrul Chairi, kepada Kompas, (23/4),
mengatakan, permintaan itu disampaikan Menteri Perdagangan Internasional dan
Perindustrian Malaysia Mustapa Mohamed. Malaysia ingin komoditas ekspor,
seperti elektronik dan obat-obatan, bisa kembali diperdagangkan lintas batas.
Kedua Indonesia sesuai Janji Presiden
akan membangun infrastruktur di Perbatasan khususnya Entikong dan wilayah
sekitarnya. Sesuai rencana, PPLB Entikong akan dirombak total guna meningkatkan
kapasitas dan kualitas. Pekerjaan tersebut bakal memakan waktu dua tahun agar
layanan dan tampilan PPLB menjadi lebih baik dan membanggakan, termasuk
pembangunan jalan pelintas menjadi empat jalur. Misalnya, sistem monitoring
yang akan dibuat direncanakan terhubung dalam satu jaringan sehingga PPLB
Entikong dapat meminimalkan penyelundupan. Setelah itu, pos-pos pelintas di
wilayah perbatasan lain juga akan dirombak, misalnya di Kabupaten Sintang,
Sambas, dan Kapuas Hulu.
Untuk itu pemerintah akan melakukan
perbaikan jalan yang dicanangan pemerintah sepanjang 34 kilometer. Ruas jalan
yang diperbaiki adalah Sajingan-Aruk (Kabupaten Sambas) 11,6 kilometer dan
Balai Karangan-Entikong (Kabupaten Sanggau) 19,2 kilometer. Selain itu, Nanga
Badau (Kapuas Hulu)-Batas Serawak (Malaysia) 3,8 kilometer. Sebagaimana kita
ketahui, selama ini lambannya pembangunan di perbatasan menimbulkan berbagai
permasalahan. Misalnya konflik warga dengan Bea dan Cukai karena pos
pemeriksaan lintas batas (PPLB) tidak dibangun sesuai standar sehingga tata
niaga karut-marut. Karena kalau tidak dibenahi, dikhawatirkan penyelundupan
terus terjadi karena tidak ada sistem monitoring yang baik dan seolah
sepenuhnya tergantung pada kebijakan orang per orang. "Bagaimana orang mau
tahu barang yang masuk dan keluar negara itu sudah benar atau tidak, jika alat
pengontrol tidak memadai, apalagi masih adanya jalur tikus yang tidak terawasi,".
Hal-hal seperti itulah yang selama ini jadi bahan pembicaraan terkait Entikong.
Indonesia memang belum memutuskan apakah perdagangan di
perbatasan itu akan dibuka kembali atau tidak. Para pihak tentu akan membahasnya
bersama sejumlah kementerian terkait di bawah Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian. Pemerintah Indonesia menutup perdagangan ekspor-impor di
perbatasan itu karena banyak komoditas yang masuk tanpa disertai persyaratan
impor. Larangan impor sejumlah produk
itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 56 Tahun 2008 tentang
Ketentuan Impor Produk Tertentu yang berlaku hingga 31 Desember 2010.
Dalam peraturan itu, produk makanan
dan minuman, alas kaki, elektronik, pakaian jadi, dan mainan anak-anak hanya
dapat diimpor melalui pelabuhan laut Belawan, Medan; Tanjung Perak, Surabaya;
Tanjung Mas, Semarang; Tanjung Priok, Jakarta; Soekarno Hatta, Makassar; serta
pelabuhan udara internasional. Mengacu pada peraturan itu, pos pemeriksaan
lintas batas negara seperti di Entikong tidak diperbolehkan menjadi pelabuhan
darat untuk impor produk-produk tertentu. Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai
Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Entikong (waktu itu) Iwan
Jaya mengatakan, peraturan menteri itu diperpanjang melalui Surat Keputusan
Menteri Perdagangan Nomor 57 Tahun 2010. Peraturan itu berlaku sejak 1 Januari
2011 hingga 31 Desember 2012.
Pos Pemeriksaan Lintas Batas Entikong
berbatasan dengan Tebedu, Serawak, dan menjadi pintu masuk dan keluar
masyarakat yang hendak pergi ke negara bagian itu. Selain Entikong yang sudah
lama berfungsi, pemerintah juga meresmikan Pos Pemeriksaan Lintas Batas Aruk,
Kabupaten Sambas, pada 1 Januari 2011 untuk perlintasan menggunakan paspor.
Berdasarkan data Pemerintah Malaysia, perdagangan di perbatasan Entikong-Tebedu
turun drastis. Pada 2014, nilai perdagangan itu sebesar 395 juta RM dan pada
2013 sebesar 713 juta RM. Adapun pada Januari-Maret 2015 sebesar 27 juta RM.
Warga yang tinggal di ring satu
perbatasan mendapat fasilitas transaksi di Serawak sebesar 600 ringgit per
orang per bulan. Namun, produk yang dibeli tidak boleh keluar ring satu. Saat
ini, pemerintah hanya memperbolehkan perdagangan delapan kebutuhan pokok dengan
nilai transaksi maksimal 600 ringgit Malaysia (RM) per bulan. Terkait nilai
transaksi maksimal tersebut memang terkait langsung dengan Border Trade
Agreement ( BTA) tahun 1970 telah diatur beberapa hal prinsip; diantaranya
pengertian perdagangan lintas batas, pelaku lintas batas serta jenis dan nilai barang/produk.
Perdagangan lintas batas ini sendiri
dapat berupa perdagangan lintas batas darat, dan perdagangan lintas batas laut,
yang diartikan sebagai perdagangan yang dilakukan melalui kawasan perbatasan
laut dari kedua negara. Adapun pelaku lintas batas adalah orang (penduduk) yang
berdiam (bertempat tinggal) didalam kawasan perbatasan kedua negara, dan memiliki paspor yang dikeluarkan masing-masing negara maupun
pas lintas batas yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan BCA, yang terakhir
adalah BCA Tahun 2006, sedangkan saat disepakatinya BTA Tahun 1970 rujukannya
adalah BCA Tahun 1967.
Sementara jenis barang/produk yang
diperdagangkan, dari pihak Indonesia mencakup hasil pertanian maupun lainnya,
tidak termasuk minyak, mineral dan bijih tambang. Sedangkan dari pihak Malaysia
mencakup barang kebutuhan hidup sehari-hari (pokok) serta
peralatan/perlengkapan untuk keperluan industri skala terbatas (sederhana).
Nilai barang atau produk yang dapat dibawa/diangkut melalui perdagangan lintas
batas di kawasan perbatasan darat oleh penduduk kedua Negara tidak melebihi RM 600 per orang per bulan, sedangkan melalui
kawasan perbatasan laut atau pesisir dapat dilakukan dengan menggunakan kapal
terdaftar pada pemerintah lokal masing-masing pihak, dengan ukuran tonase kapal
20 m3 (gross), dan nilai barang/produk yang dibawa/diangkut tidak lebih dari RM
600 setiap kali jalan.
Kini Malaysia meminta Indonesia menghidupkan lagi
perdagangan di Entikong-Tebedu. Menurut mereka Perdagangan itu penting
mengingat Indonesia dan Malaysia akan memasuki perdagangan bebas era Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) pada 1 Januari 2016. "Kita adalah satu komunitas. Kami
berharap ada visi yang sama dalam kerja sama perdagangan. Kami siap duduk
bersama mencari jalan yang menguntungkan kedua belah pihak dengan saling
menghormati hukum yang berlaku".
Begitu kata mereka. Malaysia selama
ini sangat peka dengan kepentingan nasional mereka sendiri, dan mereka juga
sudah selesai membangun Dry Port di Tebedu atau di depan pintu lintas batas
Entikong. Semua sarana itu telah siap dan telah mendapat pengakuan autoriti Internasional
sebagai pelabuhan darat dan sekaligus sudah terintegrasi dengan pelabuhan laut
mereka di Kuching. Padahal kalau itu untuk kepentingan bersama, kenapa cara
pembangunannya tidak dilakukan secara bersama? Kini Indonesia mau tidak mau
“dipaksa” untuk memakainya, mungkin tidak akan jadi soal tapi kalau harga
pelayanannya mahal? Indonesia bisa apa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar