Ole Eddy Pratomo
Akhir-akhir ini nasionalisme kita diuji lagi akibat kembali mengemukanya
isu mengenai pelanggaran wilayah dan ancaman hilangnya Ambalat oleh Malaysia. Pemberitaan di media sejauh ini
memberikan pelajaran penting yang menarik dicermati bersama. Pertama, kita harus bangga dengan
nasionalisme rakyat Indonesia. Berbagai kalangan telah menyatakan kesediaannya
untuk menjaga Ambalat, bahkan bersedia berperang merebutnya kembali apabila
dicaplok Malaysia. Kesetiaan dan semangat ksatria membela Tanah Air oleh rakyat
Indonesia tidak perlu diragukan lagi, terlebih apabila dihadapkan pada upaya
mempertahankan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pahami inti persoalan Kedua, pemahaman
publik mengenai inti persoalan sebenarnya masih sangat jauh. Hal ini tidak
mengherankan karena nama "Ambalat" dalam pengetahuan lokal masyarakat
Indonesia merujuk kepada hal yang berbeda-beda. Ambalat adalah nama desa di Kecamatan Sekatak,
Kabupaten Bulungan, di Kalimantan Utara. Ambalat juga digunakan sebagai nama
pantai pasir indah di Kelurahan Amborawang Laut, Kecamatan Samboja, Kutai
Kartanegara, Kalimantan Timur. Kedua daerah ini tidak berbatasan langsung
dengan Malaysia.
Ambalat juga nama ikan
teri dari dan dikembangbiakkan oleh nelayan Indonesia di Pulau Sebatik,
Kabupaten Nunukan. Ambalat juga disebut sebagai singkatan "ambang batas
laut terluar", padahal istilah hukum yang tepat untuk menunjukkan batas
terluar adalah "garis pangkal terluar dari pulau-pulau terluar" atau
cukup "garis pangkal". Kentalnya nama Ambalat
yang merujuk pada identitas lokal Indonesia itu juga jadi alasan bagi Indonesia
untuk menamakan wilayah blok konsesi minyak di dasar laut lepas (landas
kontinen) yang terletak di Laut Sulawesi sebagai Blok Ambalat dan Blok Ambalat
Timur. Dapat
dipastikan juga bahwa tak ada pulau di Indonesia yang menggunakan nama Ambalat.
Mengingat begitu
jamaknya penggunaan nama Ambalat, maka perlu dipahami bahwa Ambalat yang
dimaksud dalam kaitannya dengan Malaysia adalah konsesi minyak Blok Ambalat
seluas sekitar 1.990 kilometer persegi, dengan jarak beragam. Jarak terdekat
terletak di dalam Laut Wilayah Indonesia, yang terjauh berada 40 km-50 km dari
batas Laut Wilayah yang ditarik menggunakan garis pangkal kepulauan.
Dengan demikian,
hak-hak Indonesia di dasar laut Ambalat ini beragam, mengikuti zona maritim
yang berlaku. Apabila di Laut Wilayah, Indonesia memiliki kedaulatan penuh.
Sementara jika di zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan landas kontinen, Indonesia
hanya memiliki hak berdaulat terhadap pengelolaan sumber daya alam yang berada
di kolom air dan di dasar laut serta tanah di bawahnya. Sementara pihak asing
bebas untuk berlayar, terbang, memasang kabel, dan memasang pipa di atasnya.
Ketiga, penyamaan
Ambalat dengan pengalaman "kehilangan Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan" adalah referensi yang keliru. Dalam kasus Sipadan-Ligitan,
Indonesia dan Malaysia sepakat menghentikan diplomasi dan memulai proses hukum
dengan mengajukan perkara kepemilikan status Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan
kepada Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag.
Keputusan ICJ terhadap
kasus ini yang penting untuk diketahui adalah 1) penetapan tanggal kristalisasi
sengketa, yaitu tahun 1969, sehingga hanya memperhitungkan penguasaan yang
dilakukan sebelum 1969; 2) memutuskan sendiri dari bukti hukum bahwa Inggris
sejak tahun 1914 telah menerapkan pajak pengambilan telur penyu di kedua pulau
tersebut sehingga menunjukkan adanya penguasaan efektif oleh pemerintahan
kolonial Inggris kala itu yang kemudian diteruskan Malaysia; dan 3) merujuk
pada UU No 4/Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang tidak memasukkan
kedua pulau tersebut sebagai bagian dari NKRI. Dengan kata lain, Indonesia
bukan kehilangan, melainkan gagal mendapatkan tambahan dua pulau baru.
Sementara permasalahan
Blok Ambalat pada pokoknya merupakan persoalan delimitasi perbatasan maritim di
Laut Sulawesi yang belum selesai dirundingkan antara Indonesia dan Malaysia. Di
Laut Sulawesi ini, kedua negara masih perlu menetapkan segmen Laut Wilayah
(kedaulatan) dan ZEE serta landas kontinen (hak berdaulat). Hukum nasional
Indonesia dan Konvensi Hukum Laut Internasional PBB (UNCLOS 1982) mewajibkan
Indonesia merundingkan batas-batas negaranya apabila berhadapan atau berimpitan
dengan batas negara lain.
Keempat, perundingan
penyelesaian batas maritim merupakan salah satu perundingan paling kompleks di
dunia. Hal ini mengingat sifatnya yang melibatkan berbagai disiplin ilmu, mulai
hukum internasional, hubungan internasional, geografi, geologi, geodesi,
hidrografi, oseanografi, kartografi, navigasi, dan kesejarahan. Di samping itu,
perundingan semacam ini juga melibatkan berbagai instansi pemerintah yang
memiliki tugas pokok serta kepiawaian di bidang-bidang tersebut.
Indonesia telah
berunding dengan Malaysia sebanyak 28 kali selama 2005-2015 untuk membahas
penetapan batas maritim kedua negara di semua segmen, yaitu Selat Malaka, Selat
Singapura, Laut Tiongkok Selatan, dan Laut Sulawesi. Selama 10 tahun
perundingan, masih terdapat perbedaan mendasar mengenai metode serta
prinsip-prinsip hukum penarikan garis batas maritim. Guna mempercepat penyelesaian batas
maritim dengan Malaysia, Presiden RI telah mengangkat Utusan Khusus Presiden
untuk Penetapan Batas Maritim antara RI-Malaysia, dengan tugas utama mencari
solusi kreatif penyelesaian batas maritim kedua negara dengan mempertimbangkan
faktor-faktor lain melengkapi aspek teknis dan hukum.
Meski demikian,
keberadaan utusan khusus penyelesaian penetapan batas yang rumit dan kompleks
ini perlu disikapi dengan bijak. Keseriusan RI menyelesaikan penetapan batas
maritim ini akan sangat bergantung pada itikad baik Malaysia.
Perbedaan mendasar. Sampai sejauh ini
masih terdapat perbedaan yang mendasar di kedua belah pihak. Di
satu sisi, Peta 1979 yang digunakan Malaysia telah menuai protes dari
Singapura, Brunei, Filipina, dan beberapa negara lain. Hal yang
kontroversi pada Peta 1979 adalah penggunaan metode garis pangkal lurus untuk
penarikan garis batas maritim, padahal Malaysia tak berhak menggunakan metode
itu sesuai UNCLOS 1982. Sebagai negara pantai, Malaysia
seyogianya menggunakan garis pangkal biasa. Di sisi lain, posisi Indonesia
sebagai negara kepulauan sesuai UNCLOS 1982 dapat menarik garis pangkal
kepulauan. Namun, kondisi ini masih belum diterima Malaysia, padahal Malaysia
telah mengakui Indonesia sebagai negara kepulauan dengan disepakatinya
perjanjian antara Indonesia dan Malaysia tentang Rezim Hukum Negara Nusantara/Negara
Kepulauan tahun 1982.
Mencermati perkembangan itu, sejauh mana masing-masing pihak mau
beranjak dari posisinya untuk mencapai suatu kesepakatan? Apakah waktu yang
akan menentukan? Ataukah para utusan khusus dapat mencari opsi-opsi solusi komprehensif
sebagai jalan keluar yang dapat disampaikan kepada kepala negara masing-masing. Marilah kita terus menjaga harga mati
NKRI dengan nasionalisme yang cerdas.
Eddy Pratomo. Utusan Khusus Presiden RI untuk
Penetapan Batas Maritim 2014, 2006-2009, dan 2002-2004 Kompas,31juli
2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar