Oleh harmen batubara
Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi termasuk salah satu yang di “ganti” oleh
Presiden Jokowi, tentu beliaulah yang tahu alasan persisnya. Dan tulisan ini
sama sekali jauh dari upaya untuk memberikan penilaian. Karena itu sepenuhnya
hak Presiden. Sebagai pemerhati kehidupan masyarakat termarjinalkan di desa-desa
perbatasan dan desa tertinggal, saya sering tidak menemukan “gatukannya” atau
kaitannya antara program yang digagas oleh Pemerintah dengan kondisi riel
masyarakat yang terpinggirkan. Terkait membangun desa perbatasan ada minimal empat
Kementerian/Lembaga (K/L) yang terlibat yakni : BNPP (badan nasional pengelola
perbatasan);Kementerian Desa,Pembangunan Daerah Tertinggal & Transmigrasi,
Kementerian Kelautan & Perikaanan serta Pemerintah Daerah setempat.
Baca Juga : Berdayakan Warga Perbatasan
Masalah utama rakyat
terpinggirkan ini ada pada tiga pokok persoalan yang betul-betul mereka
butuhkan yakni adanya sumber pendapatan (usaha, tani,sawah,kebun dll) agar bisa
berusaha; adanya layanan kesehatan agar mereka bisa berobat, dan adanya sarana
pendidikan agar anak-anak mereka bisa bersekolah.Umumnya warga perbatasan tidak
mempunyai pekerjaan tetap yang memberikan mereka penghasilan. Kalau itu
dimasyarakat pertanian, maka mereka ini tidak punya lahan sawah. Kalau mereka
ini di perkampungan nelayan, maka mereka ini tidak punya motor pencari ikan
meski hanya dengan ukuran 5 gros ton (ukuran paling kecil). Kalau mereka di
perbatasan, mereka tidak punya lahan untuk bercocok tanam dan kalaupun ada maka
sarana transportasinya yang tidak ada. Jadi masalah mereka ini umumnya tidak
punya sarana usaha yang bisa memberikan mereka penghasilan. Yang ada hanyalah
jadi pekerja serabutan, kalau di perbatasan ya jadi peramu hasil hutan musiman.
Tidak ada layanan kesehatan, kalaupun ada hanya sebatas plang namanya dan
nama-nama petugasnya saja. Selebihnya nggak berfungsi. Apalagi sarana
pendidikan, adanya jauh di kecamatan sementara asrama Pemda tidak punya. Jadi
banyak anak-anak itu terpaksa tidak bisa mengikuti pendidikan. Kalau perbatasan
itu di darat, lokasi mereka terisolasi disebabkan tidak ada sarana jalan;
tetapi kalau perbatasan itu ada di Pulau-pulau kecil terluar mereka terisolasi
karena jauh dari trayek kapal-kapal perintis.
Memberdayakan Warga Desa
di Garis Batas
Dalam kondisi seperti itu,
mari kita lihat program pembangunan perbatasan yang terkait warga masyarakat.
Ternyata program BNPP tersebut baru sebatas menentukan “lokasi-lokasi
prioritas” yang akan di bangun. Soal siapa yang akan membangunnya, ternyata
bukan lagi “urusan” badan ini. Tapi apakah mereka “berkenan” mengajak K/L
lainnya? Jelas itu bukan Tupoksinya. Pikiran kita lalu bertanya. Masa BNPP yang
anggarannya sebesar itu hanya sekedar menentukan pembangunan Lokasi Prioritas? Sekarang mari kita lihat program Kementerian
Desa Tertinggal. Menteri Marwan Jafar (kala itu) menyatakan, desa di wilayah
perbatasan Indonesia dengan negara lain menjadi sasaran prioritas pembangunan. Menurutnya,selama
ini desa di perbatasan kurang tersentuh pembangunan sehingga kondisi sumber
daya manusia dan infrastrukturnya masih sangat memprihatinkan. ”Kami bertekad
untuk mengurus desa di wilayah perbatasan. Caranya, antara lain, dengan membuat
kerja sama antarkementerian untuk membangun infrastruktur dan sumber daya
manusia di sana,” kata Marwan seusai mengikuti seminar bertemakan ”Membangun
Indonesia dari Desa dan Pinggiran: Pelajaran dari Kabupaten Malinau Provinsi
Kalimantan Utara”, Sabtu (15/11/2014), di salah satu Hotel berbintang di Yogyakarta.
Identifikasi masalahnya
juga terkesan sangat “absurd”, kala itu Marwan mengatakan, desa di perbatasan
mengalami tiga masalah pokok, yakni KETERTINGGALAN, KEMISKINAN, dan MINIMNYA
PERHATIAN DARI PEMERINTAH. ”Jalan di desa perbatasan itu sangat buruk sehingga
barang-barang kebutuhan pokok juga susah didapat. Sinyal telepon genggam juga
jelek sehingga komunikasi dengan wilayah lain susah dilakukan,” katanya.
Kondisi semacam itu kadang membuat masyarakat perbatasan lebih bergantung pada
pasokan barang kebutuhan sehari-hari dari negara tetangga. Marwan menegaskan,
kondisi semacam itu tak boleh dibiarkan. Dalam program kerja kementerian yang
dipimpinnya, Marwan menerapkan NAWAKERJA PRIORITAS, yang jadi target utama
dalam masa jabatan tahun 2014-2019. Dalam Nawakerja Prioritas terdapat sembilan
program yang hendak dicapai Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,
dan Transmigrasi.
”Pertama adalah program
Gerakan Desa Mandiri di 3.500 desa tahun 2014. Kedua, pendampingan dan
penguatan kapasitas kelembagaan dan aparatur desa tahun 2015,” ; Program yang
ketiga adalah pembentukan dan pengembangan 5.000 Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes); Keempat, melakukan revitalisasi pasar desa yang ditargetkan dilakukan
di 5.000 desa/ kawasan pedesaan; Kelima, pembangunan infrastruktur jalan
pendukung pengembangan produk unggulan di Desa Mandiri; Keenam, persiapan
implementasi penyaluran Dana Desa sejumlah Rp 1,4 miliar untuk setiap desa
secara bertahap; Ketujuh, penyaluran modal bagi koperasi serta usaha mikro,
kecil, dan menengah di desa. Kedelapan, pembangunan proyek percontohan sistem
pelayanan publik jaringan koneksi online di desa. Kesembilan, pembangunan desa
di perbatasan.
Kalau kita melihat Program
Pemda perbatasan, malah lebih terbatas lagi. Dalam hal prioritas Pemda,
ternyata warga perbatasan bukanlah prioritas mereka. Sebab warga mereka sendiri
masih jauh lebih banyak di pusat–pusat kota ( Kabupaten dan kecamatan),
sementara APBD mereka sendiri tergolong sangat terbatas dan nyaris tidak bisa
dibagi ke perbatasan. Untuk warga perbatasan mereka sepenuhnya menggantungkannya
pada kebijakan pemerintah Pusat. Dari tiga (K/L) ini kita hanya bisa berharap
pada Kementerian Desa Tertiggal, tapi ternyata program mereka lebih banyak pada
“memenage,atau manajerial” permasalahan desa. Bagaimana agar warga pedesaan itu
bisa mengelola diri mereka sendiri. Sementara persoalan warga pedesaan di
perbatasan atau desa tertinggal intinya
adalah karena mereka tidak punya sumber penghasilan, tidak punya lahan kebun,
lahan sawah atau sarana produksi lainnya serta tidak adanya layanan kesehatan
dan pendidikan yang memadai.
Baca Juga : Ketika Tugu Batas di Geser
Dalam hati kita
bertanya-tanya, karena nomenklatur Kemeterian Desa Tertinggal adalah pembawa
nama pembangunan Desa, maka kita berharap tentunya Kementerian inilah yang akan
jadi “Koordinator” pembangunan desa-desa di perbatasan. Harapan kita mereka mau
bekerja sama dan bahu membahu dengan BNPP, Pemda, Kemdiknas, KemenKes, KemenPU
dan PLN. Upaya arah ke sana itu yang terlihat jauh dari memadai. Lemahnya
kepemimpinan Lapangan dan Ego sektoral di masing-masing K/L, jelas sudah
terkenal kakunya. Pengalaman menunjukkan, dana dari masing-masing K/L itu
seolah hanya merekalah yang harus jadi pengelolanya ( amanat UU), dan merekalah
yang mendapat nilai lebih dari apa yang
telah mereka programkan. Bisa di duga apa yang terjadi. Pembangunan berjalan
sporadis dan sendiri-sendiri. Sekolahan dibangun di tengah hutan (Pemda umumnya
hanya memintak lahan ke warga desa,dan warga hanya memberi lahan yang jauh dari
pemukiman), tanpa listrik dan tanpa jalan karena APBD atau APBN K/L yang ada belum
punya dana utk itu. Akibatnya, sekolah tidak bisa dipakai. Dua tahun kemudian
saat jalan dan listrik masuk ke desa itu. Sekolahnya sudah ambruk. Begitulah
seterusnya dan seterusnya. Dan tidak ada K/L yang peduli.
Kita juga melihat ada dana
Kementerian Daerah Tertinggal untuk program Transmigrasi. Tapi dana itu hanya
bisa dipakai untuk program transmigrasi. Mereka tidak bisa membangun warga desa
tertinggal dan desa perbatasan dengan program seperti itu.Padahal warga sangat
berharap adanya program seperti itu. Program yang memberikan kepada mereka
sumber penghasilan di lahan mereka sendiri. Dalam hati kita alangkah baiknya
kalau Kementerian Desa tertinggal mempunyai program seperti itu. Tetapi selama
ini, sepertinya Kementerian inipun sudah “happy” dengan Misi dan Tupoksinya.
Padahal mendatangkan para transmigran ke desa-desa tertinggal dan perbatasan
dengan fasilitas seperti itu. Hanya akan melukai perasaan warga lokal. Warga
lokal merasa, mereka sudah dianggap mampu padahal sejatinya, mereka masih sangat
membutuhkan bantuan.
Tidak Mampu Menyentuh
Permasalahan
Saya mencoba menghubungkan
program kementerian Desa Tertinggal ini dengan Kementerian Perikanan dan
Kelautan terkait dengan kondisi riel masyarakat Nelayan miskin di berbagai
kawasan Nusantara yang direkam oleh penulis Harian Kompas (Akses untuk
Perbaikan Kesejahteraan Masih Minim; 6 April 2015). Saya mencoba
menghubung-hubungkannya, tetapi hemat saya memang tidak “gatuk”. Cobalah baca
realitas para nelayan miskin ini.
Kemiskinan kronis menjerat
nelayan di sejumlah daerah di Nusantara. Kesejahteraan mereka secara
turun-temurun tak kunjung membaik. Penyebabnya, mereka jauh dari akses untuk
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan. Kemiskinan telah menjadi bagian
hidup nelayan kecil karena penghasilan yang tidak sesuai dengan ongkos melaut
serta bergantung pada cuaca.
Cobalah berkunjung ke
kampung nelayan Muara Angke, Jakarta Utara, di sepanjang tepi Kali Adem.
Nelayan berada di tempat itu sudah lebih dari tiga generasi. Sebagian besar
dari mereka adalah nelayan dengan kapal rata-rata berbobot 5 gros ton dan
panjang sekitar 6 meter. Kapal ini merupakan kapal motor terkecil. Kapal ukuran
ini merupakan kapal yang paling banyak dimiliki nelayan Indonesia. Permukiman
nelayan itu berada di atas aliran Kali Adem. Sekitar 200 rumah berukuran 4
meter x 4 meter dibangun dengan topangan pilar-pilar bambu. Dinding rumah
terbuat dari tripleks, berlantai papan, dan beratap seng. Sampah rumah tangga,
seperti plastik, botol, dan sisa memasak, terlihat menumpuk di bawah rumah itu.
Limbah mandi-cuci- kakus (MCK) tiap keluarga juga langsung dibuang ke Kali
Adem.
Di Kabupaten Brebes, Jawa
Tengah lain lagi, nelayan mengakui bahwa kehidupan mereka sangat tergantung
dengan harga bahan bakar minyak, perawatan kapal serta biaya opreasional. Kelompok
nelayan di Indramayu, Jawa Barat, kerap mendapat tangkapan yang minim, hingga kalau
lagi apes hanya mendapat Rp 10.000 per orang perhari dan bahkan pernah tidak
mendapat uang sama sekali. ”Kalau tidak ada uang, kami berutang biaya
perbekalan sama bos,” dan kehidupan seperti itu sepertinya akan terus berjalan.
Sulit untuk bisa keluar dari pusaran hidup yang sudah meleganda itu kecuali ada
bantuan pemerintah menjadikan kami mampu memiliki sumber-sumber penghasilan.
Para nelayan mengatakan,
sulit meningkatkan kemampuan mereka untuk menambah atau membeli kapal dengan
kapasitas besar. Mereka mengakui pendidikan mereka sangat rendah. Mulyadi (35),
nelayan generasi ketiga di Muara Angke, hanya mencicipi pendidikan sampai kelas
III SD. Sekarang ia berusaha menyekolahkan anaknya agar tidak menjadi nelayan
lagi. Bagi dia, nelayan identik dengan kemiskinan. Ia menyekolahkan anaknya dengan
harapan agar bisa bekerja di luar pekerjaan nelayan.
Darmin (30) melaut sejak
lulus SMP. Ia mengikuti jejak ayahnya yang juga nelayan di Muara Angke. Ia
lahir dan tinggal di permukiman nelayan tradisional Muara Angke. Menurut dia,
hidup bersama anak dan istrinya sekarang tidak banyak berbeda dengan kehidupan
ayah dan ibunya dahulu. ”Penghasilan tak pernah bisa ditabung, sedangkan utang
selalu saja ada. Yang berbeda hanya permukiman yang semakin padat dan kumuh,
sementara penghasilan semakin menurun,” tuturnya.
Kemiskinan nelayan tidak
beda dengan warga perbatasan atau pulau-pulau terluar, berbagai persoalan
mendasar yang belum terpecahkan sejak dulu telah menjerat mereka dengan jeratan
simpul mati. Sebenarnya, para ahli tahu bahwa nasib para nelayan tidak banyak
berubah karena keterbatasan akses hulu-hilir, mulai dari permodalan, sarana
penunjang, hingga pemasaran produk. Persoalannya tidak ada ahli yang mendesain
bagaimana bisa mensejahterakan pawa warga yang termarjinalkan itu. Seperti kita
tuturkan dari awal tulisan ini, bahwa persoalan para warga itu muncul karena
mereka tidak mempunyai “sumber” penghasilan, akibatnya mereka tidak mampu untuk
menyekolahkan anak-anak nya dan tidak mampu untuk menjaga kesehatannya, karena
pelayanan kesehatan langka dan sering tidak terjangkau.
Kita berharap dari keempat
K/L ditambah dengan Kemen Pendidikan &Kebudayaan, apakah mereka tidak mampu
menghadirkan sekolah gratis dengan pola berasrama? Sekolah yang bisa menampung
anak-anak warga termarjinalkan itu, sehingga mereka bisa bersekolah dengan baik
secara gratis. Mereka diberi tempat (asrama di kecamatan), diberi pakaian,
diberi makan – minum, diberi buku-buku dan keperluan kependidikan mereka dan
diberi “uang saku” dan terjaga kesehatannya. Dalam hati kita hanya bertanya.
Masa dari kelima K/L dengan dana puluhan teriliun itu, sama sekali tidak mampu
berbuat sesuatu untuk pendidikan anak-anak bangsa yang termarjinalkan itu? Karena
selama ini kita percaya. Bukannya pemerintah tidak punya dana. Hanya cara
memanfaatkannya yang tidak pada tempatnya.
Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di www.wilayahperbatasan.com yang jadi sindikasi blog ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar