Wilayah
Perbatasan Kekurangan Kapal
Hubungan
transportasi laut di sejumlah wilayah perbatasan negara dan pulau terpencil di
Sulawesi Utara terhambat akibat minimnya kapal yang melayani. Saat ini hanya
ada empat kapal perintis yang melayani puluhan pulau di kepulauan Kabupaten
Sitaro, Kabupaten Sangihe, dan Kabupaten Talaud. Kepala Dinas Perhubungan
Sulawesi Utara Joi Oroh, di Manado, Rabu (22/2), mengatakan, jumlah kapal
perintis sangat minim dibandingkan jumlah pulau yang harus dilayani. Keempat
kapal perintis itu harus melayari 40 titik transportasi dari Bitung menuju
Sitaro, Sangihe, dan Talaud. Akibatnya, setiap titik hanya bisa disinggahi
sekali dalam sepekan.
Menurut
Joi, akhir Januari lalu Kementerian Perhubungan memberikan bantuan tambahan
feri untuk melayani pelayaran ke Pulau Marore di Kabupaten Sangihe yang
berbatasan dengan wilayah Filipina, hingga Amurang di Kabupaten Minahasa
Selatan, untuk angkutan barang. “Tetapi, itu belum cukup mengingat banyaknya
pulau yang harus dilayani,” katanya. Joi mengatakan, pihaknya mengusulkan
penambahan kapal perintis di wilayah perbatasan kepada Direktorat Jenderal Laut
Kemenhub. Diperlukan setidaknya dua kapal perintis lagi agar transportasi lebih
lancar dan frekuensi kunjungan kapal bertambah.
Menurut
Joi, frekuensi ideal kunjungan kapal untuk menunjang mobilitas ekonomi dan
angkutan warga perbatasan menuju Manado ataupun Bitung adalah dua kali dalam
sepekan. Hal senada dikemukakan Pelaksana Tugas Bupati Sangihe John Palandung.
Transportasi laut di wilayahnya terkendala minimnya jumlah kapal. Idealnya,
kunjungan kapal adalah dua kali per minggu.
Dermaga perintis
Kepala
Dinas Perhubungan Provinsi Papua Djuli Mambaya mengatakan, pihaknya menyiapkan
anggaran Rp 80 miliar untuk pengembangan dermaga perintis di tujuh kabupaten. Ketujuh
kabupaten itu adalah Sarmi, Kepulauan Yapen, Waropen, Nabire, Mappi, Mimika,
dan Supiori. Djuli mengatakan, pembangunan dermaga ditargetkan selesai akhir
tahun ini karena dana telah dianggarkan di APBD Papua.“Kehadiran dermaga itu
sangat penting untuk mendukung kebijakan Presiden Joko Widodo terkait tol
laut,” katanya.
Transportasi
laut menjadi alternatif pengiriman logistik di wilayah pesisir Papua ketimbang
lewat jalur udara yang kapasitas angkutnya kecil. Dengan demikian, diharapkan
harga barang-barang kebutuhan bisa ditekan. Pengajar Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Ahmad Bahar,
mengatakan, pemerintah sebaiknya merevitalisasi pelayaran rakyat dengan konsep
gugus pulau. Revitalisasi meliputi pengaturan zona persebaran pelayaran rakyat
dengan memperhitungkan perkembangan dan kebutuhan warga serta potensi pulau.
Pemerintah,
menurut Ahmad, juga perlu menyubsidi pelayaran rakyat sebagaimana subsidi pada
angkutan darat. Pemerintah harus memperhatikan kebutuhan warga di wilayah
kepulauan. Perlu juga regulasi yang mengatur pembagian peran antara pelabuhan
kecil dan besar sehingga tidak terjadi penumpukan di satu pelabuhan. (Sumber,
Kompas 23/2/2017/Zal/Flo/Ren)
Pelabuhan Rakyat Saatnya
Direvitalisasi
Kondisi
pelayaran rakyat, urat nadi transportasi untuk warga kepulauan ataupun daerah
terisolasi di sejumlah wilayah di kawasan timur Indonesia, masih merana. Warga
dan pelaku usaha pelayaran rakyat sangat mengharapkan perhatian pemerintah
untuk menopang kebutuhan vital tersebut. Hal itu terangkum dari pantauan
kondisi di beberapa titik basis pelayaran rakyat (pelra) di Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, Maluku, dan Papua, Senin (20/2). Layanan pelra menjadi
gantungan tunggal mobilitas orang dan barang di daerah kepulauan dan
terisolasi.
Di
Makassar, Sulawesi Selatan, armada pelra masih terkendala kondisi kapal atau
mesin kapal yang tua serta minimnya alat keselamatan pelayaran seperti
ditemukan di dermaga penyeberangan Kayu Bangkoa. Kapal dan perahu di sana melayani
pelayaran ke pulau-pulau kecil di Selat Makassar. Daeng Esa (49), salah satu
pemilik perahu bermesin 40 daya kuda, mengatakan, ketersediaan pelampung
menjadi salah satu persoalan pelik baginya. “Serba salah. Saya tahu itu penting
untuk berjaga-jaga, apalagi saat cuaca buruk. Tapi, saya juga tidak mampu
membeli,” kata Esa.
Penyebabnya,
pendapatan dari penumpang kadang tidak menutupi biaya operasional. “Biasanya
kalau cuaca agak buruk dan kami ragu, perahu diistirahatkan,” ujarnya. Kerap
merugi juga dirasakan Dahrin, pemilik kapal kayu dengan rute Makassar-Pulau
Barrang Lompo. “Saya sering menombok biaya operasional dan gaji pekerja karena
pemasukan dari penumpang tak mencukupi. Karena kasihan sama orang pulau, saya
tetap beroperasi,” katanya. Akibat kondisi itu, pemilik usaha pelra tak dapat
meremajakan armadanya, termasuk mesin. Daeng Esa masih menggunakan mesin bekas
yang dibelinya lebih dari lima tahun yang lalu. Akibatnya, mesin perahu kerap
mati di tengah pelayaran.
Bergantung cuaca
Operasi
kapal-kapal pelra dari Ambon menuju sejumlah daerah di Maluku dan Maluku Utara
sangat bergantung cuaca. Penyebabnya, armada yang digunakan umumnya berukuran
kurang dari 10 gros ton (GT) sehingga sangat berisiko jika ada gelombang di
atas 1,5 meter. Salah satunya, rute Ambon ke Pulau Obi di Kabupaten Halmahera
Selatan, Maluku Utara. Rute itu adalah rute terpanjang pelra dari Ambon dengan
jarak mencapai 135 mil laut (250 kilometer). Butuh waktu lebih dari dua hari
untuk mencapai Obi dari Ambon dengan kapal kayu berukuran 3 GT dan 6 GT.
Nakhoda
Kapal Motor Citra Emas, La Tani, di Pelabuhan Rakyat Desa Batumerah, Kecamatan
Sirimau, Kota Ambon, mengatakan, kapal kerap tertahan berhari-hari di titik
persinggahan di Pulau Buano, Seram Bagian Barat, jika cuaca buruk. Kondisi
cuaca juga menjadi masalah yang dihadapi pelra di Morowali Utara, Sulawesi
Tengah. Pelra merupakan sarana penghubung satu-satunya antara ibu kota
Kolonodale dengan tiga kecamatan yang belum tersambung jalan darat, yakni
Mamosalato, Baturube, dan Soyojaya.
“Saat
musim hujan, banyak kapal tak beroperasi,” ujar Yanti (26), warga Soyojaya,
saat dihubungi dari Palu, Sulteng. Pada musim hujan, tinggi gelombang di Teluk
Tolo mencapai 3 meter.
Pelayaran
rata-rata menggunakan kapal motor ukuran 30 GT dengan waktu tempuh 2-5 jam. Kapal
itu berkapasitas 40 penumpang dan 10 sepeda motor. Dari Papua dilaporkan, hanya
ada 10 perahu berkapasitas masing-masing 15 penumpang untuk melayani ratusan
penumpang rute Kampung Enggros dan Hamadi di Distrik Jayapura Selatan ke
Jayapura.
Orpa
Merauje (55), penumpang, berharap jumlah perahu ditambah atau kapasitasnya
diperbesar untuk mengurangi waktu antrean penumpang. Yansen Hanasbey (74),
salah satu motoris, di Dermaga Youtefa, Distrik Abepura, Jayapura, mengatakan,
warga yang membuka jasa transportasi laut tradisional sangat minim karena
tingginya biaya bahan bakar minyak (BBM). “Biaya yang harus dikeluarkan Rp
300.000 per hari,” ujar Yansen. Ia berharap ada bantuan dari pemerintah,
seperti subsidi biaya BBM, perahu dengan kapasitas lebih besar, dan pelampung.
Sebelumnya,
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, Kementerian Perhubungan
berencana menyediakan 100 kapal kecil untuk melayani rute-rute pelra di daerah
kepulauan tahun ini. Pelra yang selama ini menghidupi diri sendiri akan disubsidi
pemerintah ( Sumber, Kompas, 21/2).
(Ren/Frn/Vdl/Flo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar