Selasa, 05 Maret 2013

Perbatasan Tertinggal, Mengharapkan BNPP Mensinergikan Pembangunan Wilayah Perbatasan | WilayahPerbatasan.com

Perbatasan Tertinggal, Mengharapkan BNPP Mensinergikan Pembangunan Wilayah Perbatasan | WilayahPerbatasan.com


Upaya untuk terus mengembangkan wilayah perbatasan dalam retorikanya masih terus di upayakan, meski dan terus terang dengan adanya BNPP nampaknya perbatasan masih belum bisa keluar dari pola pembangunan cara lama; mengampanyekan wilayah perbatasan dengan maksud mempengaruhi besaran anggaran. Setelah anggaran di peroleh, maka pola lama kembali muncul, dana pembangunan itu hanya sampai di ruang-ruang rapat hotel-hotel berbintang di Ibu kota dan kota provinsi. Wilayah perbatasan, hanya jadi objek bancaan. Bagaimana setelah ada BNPP?
Hal itu kita bisa lihat dari realitas pantauan media, seperti pemberitaan Kompas 20 februari 2013 misalnya menuliskan; menurut mereka “Ketelantaran dan ketertinggalan wilayah perbatasan RI merupakan produk warisan rezim Orde Baru (Orba). Pemerintah rezim Orba tidak pernah membangun wilayah perbatasan. Pemerintah saat ini pun dinilai tidak berbuat banyak untuk membangun daerah perbatasan tersebut.”
Salah satu upaya untuk mengambil perhatian para pemerhati wilayah perbatasan adalah dengan pembuatan film Tanah Surga. Seperti kita ketahui Film Tanah Surga yang mendapat enam Piala Citra berbagai kategori ini mengisahkan keterbelakangan kehidupan sebuah desa perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak. Haris, anak Hasyim, seorang veteran pejuang Dwikora, harus menjadi buruh migran di Malaysia. Salman, cucu Hasyim, tinggal di desa perbatasan dan belajar mencintai Indonesia yang miskin papa.
Peneliti sosial politik LIPI, Ikrar Nusa Bhakti, mengatakan, film Tanah Surga merupakan potret nyata kondisi perbatasan RI. Ikrar yang lahir di Papua menegaskan, sejak tahun 1960-an tidak banyak perubahan di perbatasan RI yang tetap miskin dan tertinggal. Demikian pula sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, mengatakan, film tentang perbatasan RI sangat relevan dengan upaya MEMBANGUN NASIONALISME SAAT INI. ”Kalimantan Barat dari kualitas indeks penduduk hanya sedikit di atas Papua. Sama-sama tertinggal sebagai daerah perbatasan,” kata Asvi.
Perbatasan Laut Kita Juga Memprihatinkan
Untuk melihat keadaannya mari kita lihat laporan Ong (Kompas,26 Februari 2013). Dalam tulisan itu digambarkan “Karena sengketa perbatasan laut belum selesai, kapal patroli instansi pemerintah dapat mengawal nelayan Indonesia yang melaut. Kepala Dinas Hidro Oseanografi TNI AL Laksamana Pertama Aan Kurnia mengatakan, langkah tersebut ditempuh sejumlah negara untuk menegaskan komitmen mengelola wilayah laut yang dipercayai bagian dari hak negara. Tapi bagaimana di Indonesia?”
Menurut Aan yang berbicara dalam seminar ”Sosialisasi Batas Maritim RI dengan Negara Tetangga” di Jakarta, Senin (25/2/2013), dengan aktif hadir di wilayah sengketa, sebuah negara menunjukkan komitmen atas kedaulatan. Langkah serupa dilakukan Malaysia di Pulau Sipadan-Ligitan dan perairannya semasa sengketa dengan Indonesia.
Dia mengakui, kapal nelayan Indonesia sering ditangkap aparat Malaysia karena penyelesaian persoalan klaim batas wilayah belum selesai. Pihak Malaysia dan Indonesia saling berpegang pada klaim unilateral (sepihak). Indonesia berbatasan laut dengan 10 negara. Batas maritim Indonesia mencakup laut wilayah, batas zona ekonomi eksklusif (ZEE), dan batas landas kontinen.
Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Linggawaty Hakim dan mengatakan, Indonesia dengan Malaysia masih ada lima segmen perbatasan laut yang belum selesai. Kedua negara telah berunding sejak 2005 dan sudah memasuki 24 putaran. Akhir bulan inipun, delegasi Malaysia akan ke Jakarta. Mudah-mudahan sebelum 2014 sudah ada segmen perbatasan laut RI-Malaysia yang disepakati, seperti di Laut Sulawesi, yakni kawasan Ambalat dan lain-lain,” ujar Linggawaty. Sementara di perbatasan darat kedua negara juga masih punya “ketidak sepakatan di 10 lokasi atau 10 Outstanding Boundary Problem”.
Yang menarik dari seminar tersebut adalah besarnya potensi yang bisa diajak kerja sama untuk pembangunan wilayah perbatasan. Misalnya seperti yang dilakukan oleh PT Bank Rakyat Indonesia,  PT Pertamina yang bekerja sama dengan TNI AD dalam Program Karya Bhakti. TNI AD diharapkan menyokong program dengan mengerahkan personel. Direktur Utama BRI Sofyan Basir mengatakan, BRI telah menghadirkan 9.000 unit kerja BRI di pelosok Indonesia. Kepala Staf TNI AD Jenderal Pramono Edhie Wibowo menuturkan, program seperti ini jelas memajukan masyarakat Indonesia dan menciptakan masyarakat berkualitas. ”Kalau kita menyayangi masyarakat, kita akan dijaga masyarakat,” ujar Pramono. Persoalannya, bagaimana BNPP mengoptimalkan peran serta seperti ini? Apakah BNPP hanya fokus pada asik dengan programnya saja dan membiarkan potensi yang ada lepas begitu saja? Lihat Juga BNPP Disini.

Tidak ada komentar: