Rabu, 13 Maret 2013

Wilayah Perbatasan, Lebih Santai Berunding Batas Dengan Sultan Sulu | WilayahPerbatasan.com

Wilayah Perbatasan, Lebih Santai Berunding Batas Dengan Sultan Sulu | WilayahPerbatasan.com


Wilayah Perbatasan, Lebih Semangat Berunding Batas Dengan Sultan Sulu


Malaysia tidak pernah ragu-ragu, negara itu melakukan serangan udara di pagi Selasa tanggal 5 Maret 2013; 8 jet tempur Angkatan Udara Malaysia yang terdiri dari 3 Hornet dan 5 Hawk berusaha meluluh lantakkan kawasan “hunian” pejuang Sulu yang sudah melakukan penyusupan sejak  9 Februari 2013 di Kampung Tanduo Lahad Datu Sabah.  Serangan itu kemudian dilanjutkan dengan pengerahan ribuan militer Malaysia berikut persenjataan berat berupa kendaraan lapis baja dan artileri. 

Sementara pemerintah Filipina hanya bisa berharap dan mendesak Malaysia untuk melakukan toleransi maksimum untuk menghindari pertumpahan darah lebih lanjut. Menteri Luar Negeri Filipina Albert del Rosario berada di Kuala Lumpur untuk bertemu dengan menteri luar negeri Malaysia. “Kami telah melakukan segala sesuatu untuk mencegah hal ini terjadi, tapi pada akhirnya orang-orang Sulu memilih jalan ini,” kata juru bicara Presiden Filipina, Ricky Carandang. 

Menteri Luar Negeri Malaysia, Anifah Aman mengatakan kepada TV3, Malaysia menganggap kelompok Filipina sebagai teroris yang telah melakukan kekejaman dan kebrutalan. Dia juga meminta Filipina melakukan aksi hukum melawan Sultan Sulu Jamalul Kiram III. Bagaimanapun, krisis di Lahad Datu telah memicu kekhawatiran timbulnya ketidakstabilan di Sabah karena sejumlah warga Filipina bersenjata telah memasuki kabupaten lain di Sabah. Kepala Polisi Malaysia Ismail Omar mengatakan aparat polisi dan militer masih memburu orang-orang Filipina di daerah Lahad Datu yang mencakup lahan perkebunan dan medan berbatu.

Kalau Melihat Kesombongan Malaysia Mengklaim wilayah NKRI

Dalam hal perundingan perbatasan, selama ini, pihak Malaysia tidak pernah memberikan sedikit tolerasi meskipun sedikit, terhadap semua perundingan batas dengan Negara itu. Misalnya ketika dua Negara sepakat untuk mendirikan titik nol bersama, antara provinsi Kalimantan Barat dan Sarawak di Jagoi Babang-Serikin sat masa dahulu, padahal hanya titik simbolis saja, tanpa ada arti apa-apa, dan kedua Negara sudah sepakat pula. Tapi pada saat akan dilaksanakan Negara Malaysia itu malah mengulur waktu hingga 4 tahun, dengan alasan di wilayah itu masih ada silang sengketa. Padahal dalam waktu yang sama, mereka mengajukan pemasangan kabel listrik tegangan ekstra tinggi sepanjang 520km dari Tanjung Datu Kalimantan Barat ke Semananjung, Malaysia dan anehnya mereka menyewa ahli kelautan Indonesia. Begitu juga dengan protes mereka atas jalan setapak yang dibuat warga sebatik, di Pulau Sebatik. Padahal di kedua wilayah itu nyata-nyata masih di dalam wilayah Indonesia.

Pendek kata, banyak hal terkait perbatasan yang pihak Malaysia sangat licik pikirannya dan selalu mikirkan untungnya saja. Begitu juga dengan yang terjadi dengan Ambalat. Malaysia dengan peta yang diterbitkannya tahun 1979 telah menetapkan secara sepihak batas laut antara Sabah dan Kalimantan Timur dengan antara lain:

a.   Memasukkan Sipadan-Ligitan ke dalam wilayahnya sebagai titik dasar.

b.   Menarik garis dasar lurus(garis pangkal) dari Sipadan sampai ke perbatasan darat Indonesia – Malaysia di pulau Sebatik.

c.   Menarik garis tengah antara garis dasar Malaysia tersebut dan garis dasar perairan Kepulauan Indonesia berdasarkan UU No.4/Prp. 1960 di pulau-pulau sebelah timur Provinsi Kalimantan Timur.

Indonesia menolak kebijakan sepihak, antara lain karena:

a.   Status pulau Sipadan-Ligitan yang masih dipersoalkan pada waktu itu.

b.   Malaysia tidak berhak menarik garis lurus dari Sipadan ke perbatasan Pulau Sebatik, karena bukan Negara kepulauan.

c.   Andaikatapun Sipadan – Ligitan merupakan wilayah Malaysia, banyak praktek hukum internasional menunjukkan bahwa pulau-pulau kecil yang terletak jauh di tengah laut belum tentu berhak atas garis tengah dengan wilayah Negara yang ada di hadapannya.

        Ada beberapa hal kenapa belakangan ini Malaysia seperti menantang kepemilikan serta hak-hak Indonesia, bukan saja terhadap wilayah kedaultan (sovereignty) Indonesia (K.Unarang), tetapi juga terhadap hak-hak berdaulat (soverign rights) Indonesia atas kekayaan alam ZEE ataupun di landas kontinen kawasan blok Ambalat, antara lain ;

a.   Malaysia menarik garis pangkal lurus laut wilayah antara Sipadan dan perbatasan darat Indonesia-Malaysia di pulau Sebatik. Cara ini ditentang oleh Indonesia dan Negara-negara lain karena tidak sesuai dengan hukum internasional.

b.   Malaysia mungkin menjadi terlalu percaya diri dan melihat berbagai isu politik dan KESULITAN-KESULITAN INDONESIA di dalam negeri dewasa ini sebagai peluang dengan harapan Indonesia tidak akan menghadapi Malaysia secara sungguh-sungguh.

c.   Malaysia mungkin berusaha menuntut sebanyak mungkin terlebih dahulu sebelum memulai berunding dan kemudian baru mencari “kompromi”.

d.   Malaysia barangkali bersedia berdialog mengenai Ambalat dengan konsesi tanpa membahas perbatasan ZEE antara kedua Negara di selat Malaka dan laut Cina Selatan yang selalu dikehendaki Indonesia.


Sabah Dalam Sejarah Tempo Doeloe

Dalam catatan sejarah Abad ke 17, kongsi dagang Hindia Belanda VOC mulai memperluas wilayah jajahan ke Borneo Timur atau Kalimantan Timur. Pada tahun 1635 Garit Thomasen Pool untuk pertama kalinya diutus Pemerintah Hindia Belanda berkunjung ke Kaltim melakukan kontak dagang dengan Kerajaan Kutai Kartanegara, tetapi usaha ini tidak berhasil. Pada Tahun 1671 Belanda mengutus lagi Paoelos De Bock dengan kapal Chiolop de Noorman melakukan perluasan wilayah jajahan ke Kalimantan Timur. Mereka melakukan kontak dagang dengan kerajaan Kutai Kartanegara di Tenggarong
Pada tahun Tahun 1672 Frans Heys dengan tiga Kapal dagang berkunjung ke Kerajaan Kutai Kartanegara untuk melakukan kontak dagang. Karena hasilnya kurang memuaskan maka mereka meneruskan perjalanan ke pesisir Timur pantai Kalimantan hingga Kalimantan Utara yang sekarang menjadi Negara bagian Sabah Malaysia Timur. Disuatu tempat kawasan pantai yang disebut Tanjung Tinagat (kini Tawau), Belanda membuka perkampungan baru. Disini mereka mendirikan perwakilan dagang sebagai bagian dari wilayah jajahan mereka. Pada sebuah batu yang menjorok ke laut diukir lambang VOC yang secara jelas bisa dilihat dari laut sebagai bukti bahwa Tanjung Tinagat (Tawau) adalah merupakan wilayah jajahan Hindia Belanda.
Dibagian lain, Inggris yang telah menguasai India, Burma, semenanjung Malaya, dan Singapura, juga tengah memperluas wilayah jajahan di Borneo Utara. Serawak, Brunei dan Sabah berhasil diduduki. Inggris berniat memperluas wilayah jajahanya hingga Tawau, tetapi tidak berhasil. Kota Tawau lebih dahulu dikuasai Belanda. Mereka terikat perjanjian bahwa sesama Bangsa Eropa tidak boleh saling merebut wilayah jajahan yang sudah dikuasai.
Akan tetapi keinginan Inggris tidak berhenti sampai disitu. Dengan sengaja Inggris membuat kekacauan di Tawau. Suku Heban dan suku suku lain diadu domba bahwa mengayau atau memenggal kepala Manusia diperbolehkan dengan alasan adat. Maka terjadilah perang antar suku di Kota Tawau. Di muara sungai Tawau dirintangi berbagai pohon yang sengaja ditumbangkan. Kapal-kapal dagang Belanda dan kapal dagang asing dirampok, awak kapalnya dibunuh. Kantor maskapai VOC Belanda diserang kemudian dibakar. Batu cadas yang bertuliskan lambang VOC diujung tanjung dihancurkan oleh agen Inggris untuk menghilangkan bukti tapal batas wilayah jajahan Belanda.
Meluasnya kekacauan di Tawau membuat Belanda merasa kewalahan. Akhirnya orang-orang Belanda menyingkir kesebuah desa yang disebut Kampung Pembeliangan. (kini berada di Kabupaten Nunukan). Disini Belanda berkirim surat Kepada Raja Bulungan Sultan Kaharuddin minta dijemput. Maka sultan mengirim beberapa perahu mengambil orang-orang Belanda untuk dibawa ke Tanjung Palas, ibukota kerajaan Bulungan.
Sesampai di Tanjung Palas Sultan Kaharuddin mengajukan penawaran Kepada orang-orang Belanda apakah akan pulang kenegeri Belanda atau tetap ingin tinggal di Bulungan. Ternyata mereka memilih untuk tetap tinggal di Kerajaan Bulungan. Oleh Sultan kaharuddin Orang-orang Belanda ini diberi tempat tinggal berupa tanah seribu depa diseberang Sungai Kayan. Tempat orang-orang Belanda ini sekarang menjadi Kota Tanjung Selor, ibuKota Kabupaten Bulungan.
Sementara itu di Eropa, ternyata Belanda terdesak (rongrongan Francis) dan mengakibatkan Ratu Belanda terpaksa mengungsi ke London. Posisi Ratu Belanda yang tengah terjepit itulah kemudian yang secara halus telah memaksa Belanda dengan “Rela” melapaskan Tawau ke Inggris. Dan selama ini “pola “ semacam itulah yang selalu Malaysia terapkan kepada negara-negara tetangganya. Kalau negara tetangganya lagi “terjepi” maka mulailah mereka melancarkan “jurus jitu” memperkaya negara sendiri. Sebuah budaya yang sama sekali berbeda dengan budaya Indonesia. Budaya yang memanggap tetangga nya sebagai saudara dan bersedia membrikan berbagai kemudahan demi kebaikan bersama.

Lebih Enak Berunding Batas Dengan Sultas Sulu

Memang sih kalau melihat apa yang terjadi dengan tuntutan Sultan Sulu, bisa jadi adalah sesuatu yang nyata dan syah, tetapi sudah di telan zaman. Lain hal kalau Filipina memperkuat klaimnya sesuai dengan utusan pemerintah Filipina tahun 1962 ke London; dan mengingatkan bahwa Sabah itu adalah wilayah Filipina. Yang tidak bisa bersatu begitu saja dengan federasi Malaysia. Tetapi sekali lagi, yang namanya Inggeris, memang “licik” dari sananya. Sehingga mereka bulat-bulat menganggap “uang sewa” sebagai “uang pembelian” sabah dari Sultan Sulu. Maka jadilah Sabah sebagai bagian federasi Malaysia.

jumlah warga Sabah asal Filipina, khususnya Muslim Filipina dari Mindanao sebenarnya tergolong besar. Perdagangan di Kinabalu boleh dikatakan dikuasai oleh warga Muslim Filipina. Hanya anehnya. warga sabah asal Filipina Selatan ini tidak dianggap sebagai warga negara. Mereka hanya dianggap sebagai penduduk tetap bahkan banyak diantaranya  yang diangap sebagai pendatang gelap.

Sesuai data Biro Statistik Malaysia 2010, mayoritas penduduk Sabah adalah warga pendatang yang bukan berkewarganegaraan Malaysia. Komposisinya, dari sekitar 3,2 juta populasi Sabah, 27,81 persen adalah warga pendatang, di urutan kedua, warga Bumiputra (20 persen), urutan ketiga dan selanjutnya berturut-turut adalah; Kadazan-Dusun (17,82 persen), Bajau (14 persen), Cina (9,11 persen) dan Brunei-Melayu ( 5,71 persen).

Banyaknya warga Filipina di Sabah disebabkan kehidupan mereka di Filipina Selatan kurang lebih sama dengan di Indonesia yang sama sekali tidak member harapan. Indonesia dan Filipina adalah dua negara Terkorup di Asia, yang program pembangunannya sangat bagus dan ideal, tetapi uangnya di korupsi oleh para pejabatnya. Ya di eksekutif, legislative dan bahkan Yudikatif.  Tidak heran, warga Filipina Selatan dan Indonesia tertarik untuk merantau ke Sabah. Secara geografis, lokasi Sabah sangat dekat dengan Pulau Sulu di Filipina Selatan. Bisa ditempuh dalam waktu satu jam dengan perahu motor dan lima belas menit dari Pulau Sebatik.
Kalau terkait perundingan perbatasan, tentu saja saya yakin bahwa berunding dengan Sultan Sulu akan jauh lebih ramah dengan suasana persaudaraan yang bertetangga. Namun demikian saya juga tidak berharap intelijen Indonesia menyusupkan pejuang pembebasan Moro lewat Pulau Sebatik atau lewat Simenggaris atau mana saja di sepanjang pantai dan perbatasan kedua negara. Saya hanya konsern dengan Ambalat yang begitu besar potensinya. Malaysia jauh hari sudah menggeser kekuatan pertahanannya ke arah Ambalat; sudah menjadikan Tawao sebagai kota dagang dengan pelabuhan laut dan udara terbesar di kawasan dan juga pangkalan Kapal Selamnya Malaysia. 
Sementara Indonesia para elitnya masih cari komisi ke sana kemari cari Alut Sista yang bisa di embat. Bisa dibayangkan dari kasus Simulator SIM saja elit keamanan Indonesia bisa “nabung” hingga 30 asset tanah, rumah, apartemen dan SPBU, padahal hanya dari anggaran ± 200 M. Apalagi ini dari anggaran yang mencapai Triliunan atau ribuan milyar? Anda bayangkan sendiri sajalah. 

Tidak ada komentar: