Rabu, 08 Juli 2009

Melihat Ambalat Dari Sisi Penegasan Perbatasan


Melihat Ambalat Dari Sisi Penegasan Perbatasan
 Oleh Harmen Batubara. 
Setelah agak reda. Mari melihat masalah Ambalat secara apa adanya, dan berusaha seoptimal mungkin tidak terpengaruh oleh emosi atas kebencian terhadap Malaysia. Sebab bagaimanapun kita sudah ditakdirkan jadi Negara yang bertetangga. Entah Negara tetangga kita itu sombong, belagu dan sering melecehkan Indonesia. Memang sih, bagaimana orang lain mau menghargainya. Negara ini, pemerintahannya dari dahulu sangat pro kkn, mega korupsi dimana-mana. Kalau pak Djojohadikusumo (almarhum Begawan ekonomi Indonesia) bilang bahwa korupsi APBN kita sebesar 30%, dan saat ini menurut saya malah sudah berbalik, APBN yang dipakai itu maksimal hanya 30%, selebihnya ya korupsi berjamaah. Lihat hasilnya, jalan infrastruktur kita amburadul.Yang mestinya tahan 50 tahun, kini belum di resmikan sudah jebol. Jadi kalau ada bangsa lain yang melecehkan, ya hemat saya memang sudah sepantasnya. Lalu apa hubungannya dengan Ambalat? Sulit untuk dikatakan, tetapi kalau bangsa dan negeri ini masih korup, jangankan Ambalat, malah semua harta kekayaan bangsa pasti dan jelas akan amblas jadi abu, jadi sesuatu yang tidak berguna. Ambalat akan jadi milik orang lain. Tapi ya sudahlah mari kita dengan kepala dingin berdoa semoga bangsa ini sadar dan para pemimpinnya taubat, agar jadi pemimpin yang baik. Kini mari kita ke Ambalat. Ambalat bukanlah daratan, tetapi blok laut luas kira-kira 15.235 kilometer persegi terdiri dari landas kontinen dan zone ekonomi exclusive, yang terletak dilaut Sulawesi atau Selat Makassar milik negara Indonesia sebagai negara Kepulauan, perlu juga diketahui kekayaan blok laut itu luar biasa nilainya. Menurut Indonesia wilayah Ambalat terdiri dari Blok Ambalat dan Blok East Ambalat, berdasarkan peta yang dibuat secara sepihak oleh Malaysia pada 1979, mereka menyebutnya wilayah Ambalat sebagai blok XYZ.... Masalah Ambalat meliputi baik sengketa-sengketa perbatasan landas kontinen (continental self), maupun zone ekonomi exclusif, yang a.l timbul karena perubahan garis dasar laut wilayah/territorial akibat masuknya pulau Sipadan dan Ligitan menjadi wilayah Malaysia, maupun dampak klaim sepihak Malaysia berdasarkan peta yang dibuatnya secara sepihak pada tahun 1979. Pada tahun 1967 ketika pertama kali dilakukan pertemuan teknis hukum laut antara Indonesia dan Malaysia kedua belah pihak sama sama sepakat untuk membicarakan masalah perbatasan dalam semanta Negara serumpun. Malah pada tanggal 27 Oktober 1969 dilakukan penandatanganan Tapal Batas Kontinental Indonesia – Malaysia. Kedua negara masing-masing melakukan ratifikasi pada 7 November 1969. Tak lama berselang masih pada tahun 1969 Malaysia membuat peta baru yang memasukkan pulau Sipadan, Ligitan( putusan Mahkamah Internasional masuk jadi wilayah Malaysia) dan Batu Puteh (Pedra Blanca, putusan Mahkamah Internasional tahun 2008, jatuh jadi wilayah Singapura) tentunya hal ini membingungkan Indonesia dan Singapura ( pada waktu itu) dan pada akhirnya Indonesia maupun Singapura tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut. 


Pada tahun 1979 pihak Malaysia kembali membuat peta baru mengenai tapal batas continental dan maritime dengan serta merta menyatakan dirinya sebagai negara kepulauan (archipelagic state) dan secara sepihak membuat perbata san maritimnya sendiri dengan memasukkan blok maritime Ambalat kedalam wilayahnya yaitu dengan memajukan koordinat 4º 10’ arah utara melewati pulau Sebatik. Setelah keluar peta Malaysia 1979, Indonesia memprotesnya pada 1980. Pada pasca dikeluarkannya peta itu, Indonesia masih terus memberikan konsensi minyak di Blok Ambalat kepada perusahaan minyak asing, dan Malaysia tidak pernah mengajukan protes. Tetapi kemudian pada tahun 2005, Malaysia mulai melakukan berbagai protes dan Kapal-kapal perangnya secara priodik melakukan patrol-patroli tanpa koordinasi di daerah itu tanpa sepengetahuan pihak Indonesia. Indonesia dan Malaysia terus saling protes tentang masuknya kapal-kapal perang di wilayah yang dipersengkatan itu. Sampai 4 Juni 2009 Departemen Luar Negari secara resmi telah mengirimkan nota protes diplomatik 35 (tiga puluh lima) kali terkait sengketa blok Ambalat, begitu juga pihak Malaysia, melakukan hal yang sama. Posisi Indonesia Indonesia dan sesuai dengan Prinsip Hukum Negara Kepulauan (Archipelagic State Principle). Indonesia mendeklarasikan prinsip hukum negara kepulauan (archipelagic state principle) melalui Undang-undang Nomor 4 tahun 1960, yang diperbarui dengan UU Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Prinsip hukum negara kepulauan (archipelagic state principle) berhasil diperjuangkan Indonesia menjadi hukum Internasional, dan dirumuskan pada BAb IV Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Penerapan prinsip hukum negara kepulauan (archipelagic state principle) berpotensi menimbulkan sengketa-sengketa perbatasan dengan negara tetangga, a.l di kawasan-kawasan laut wilayah/teritorial, landas kontinen (continental shelf) dan zona ekonomi exclusif, ketiga hal ini seringkali berkaitan dengan sangat erat, karena ketiganya ditarik dari garis dasar (base line) yang sama. Pegangan dan Kebijakan Indonesia Dalam Penyelesaian Sengketa Ambalat. Sengketa tapal batas RI- Malaysia diperairan Ambalat mencuat sejak 2005. Semenjak itu tercatat pihak Malaysia melakukan aksi-aksi yang dinilai provokatif sebanyak 11 kali pada tahun 2009; Sedangkan pada 2006 terjadi 76 kali. Departemen Luar Negari mengakui bahwa Indonesia tidak bisa bersikap tegas terrha dap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan kapal tentara Malaysia di Ambalat, laut Sulawesi, karena di blok Ambalat laut Sulawesi tersebut, Ambalat, memang belum memiliki garis perbatasan. Deplu juga menjamin tidak akan membawa sengketa ini ke Mahkamah Internasional mengingat terlalu banyak implikasi, terutama implikasi anggaran. Pembicaraan antara kedua negara mengenai Ambalat telah berlangsung 23 (dua puluh tiga) kali, tetapi Malaysia selalu menolak membahas substansi pokok; mereka hanya mau “bertukar pandangan” saja; perundingan berikutnya diusulkan oleh Malaysia pada bulan Juli 2009 yang akan datang. Penyelesaian sengketa Ambalat dapat dilakukan dengan berpedoman pada bebera pa ketentuan sebagai berikut : Berpedoman kepada Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Bab IV mengenai prinsip hukum negara kepulauan (archipelagic state principle). Bab V tentang Exclusif Economic Zone Bab VI tentang Continental Shelf; dan Bab XV tentang Settlement of Disputes. Rumusan Konvensi ini memberikan berbagai alternatif penyelesaian sengketa wilayah laut, yang dapat dijadikan pedoman bagi perundingan kedua negara yang bersengketa. Pasal 2 Ayat 2 Huruf c Piagam ASEAN: untuk menyelesaikan sengketa di antara negara negara anggota ASEAN tidak akan menggunakan kekerasan atau ancaman digunakannnya kekerasan yang bertentangan dengan hukum Internasioanal: Prinsip ini dijabarkan rinci dalam Pasal 22 Ayat 1 dan Pasal 24 Ayat 2 yang menyebutkan, penyelesaian sengketa harus menahan diri dari ancaman digunakannya kekerasan atau penggunaan kekeraan; ketentuan ini dirumuskan pada Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia 1976 (TAC).

Tidak ada komentar: