Senin, 20 Juli 2009

Pengembangan Wilayah Perbatasan Di PPKT



Oleh : Harmen Batubara *) Indonesia mempunyai wilayah perbatasan laut dengan sepuluh negara tetangga yakni India, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Kepulauan Palau, Papua New Guinea, Australia dan Timor Leste. Meski Indonesia telah meratifikasi UNCLOS ’82 sejak tahun 1994, tetapi 70 % batas laut ZEE Indonesia belum diakui oleh tetangganya. ZEE yang belum disepakati berada di perbatasan dengan negara Timor Leste, Kepualauan Palau, Filipina, Vietnam, Thailand dan India. Disamping itu masih ada, dua batas Yurisdiksi maritim yang belum terselesaikan, yakni batas laut teritorial dan batas landas kontinen. Untuk Landas kontinen masih ada sekitar 30% lagi yang belum di sepakati; yaitu yang berbatasan dengan Filipina, Palau dan Timor Leste. Disamping itu Indonesia belum mencapai kesepakatan tentang batas laut teritorial dengan tiga negara tetangga, Singapura, Malaysia dan Timor Leste. Panjangnya sekitar 40 % dari seluruh batas yurisdiksi batas maritim Indonesia. Batas Teritorial dengan Malaysia yang belum terselesaikan ada di tiga wilayah yakni, di selat Malaka sepanjang 17 mil, Tanjung Datu, Kalimantan Barat 12 mil dan18 Mil di pulau Sebatik, Kalimantan Timur. . Keberadaan Pulau-pulau kecil terluar(PPKT), sesungguhnya berada di wilayah perbatasan laut tersebut, Dari jumlah 17.504 pulau NKRI, di antaranya terdapat sebanyak 92 pulau-pulau kecil terluar, 67 diantaranya berbatasan langsung dengan negara tetanngga; dari 67 pulau itu hanya 28 pulau yang berpenduduk sementara 39 lagi masih kosong. Dalam kenyataannya, dari 92 pulau-pulau terluar itu posisinya tidak berada pada jarak yang sama, tetapi dia lebih merupakan gugusan yang jarak antara gugusnya mencapai ribuan km. Misalnya, untuk gugusan di rangkaian Pulau Sabang terdapat tujuh pulau yakni, Pulau Rondo, Berhala, Salaut Besar, Salaut Kecil, Rusa, Raya, dan Simeulucut; kemudian gugusan di rangkaian pulau Batam sebanyak 19 pulau yakni, Pulau Sentut, Tokong Malang Biru, Damar, Mangkai, Tokong Nanas, Tokong Belayar, Tokong Boro, Semiun, Sebetul, Sekatung, Senua, Subi Kecil, Kepala, Iyu Kecil, Karimun Kecil, Nipa, Pelampong, Batu Berhanti, Nongsa. Ada pula di gugusan 17 pulau di rangkaian pulau Miangas yakni pulau Sebatik, Gosong Makasar, Maratua, Lingian, Salando, Dolangan, Bangkit, Manterawu, Makalehi, Kawalusu, Kawio, Marore, Batu Bawaikang, Miangas, Marampit, Intata, Kakarutan; kemudian ada gugusan 8 pulau di rangaian utara Jayapura yakni Liki, Bepondi, Bras, Fanildo, Miossu, Fani, Budd, Jiew; setelah itu ada pula di sebelah selatannya sebanyak 14 pulau di selatan Merauke, yakni Masela, Selaru, Batarkusu, Asutubun, Larat, Batu Goyang, Enu, Karang, Kultubai Selatan, Kultubai Utara, Panambulai, Karaweira, Ararkula, Laag, Kolepon dan kemudian ada gugusan 9 pulau di rangkaian utara Timor Leste yakni Dana (ada 2), Batek, Alor, Mangudu, Liran Wetar, Kisar, Leti, Meatimiarang. Keberadaan pulau-pulau kecil terluar dalam rangaian gugusan ini setidaknya bisa mengindikasikan bahwa pengembangannya, harus memanfaatkan kawasan di sekitarnya di samping potensi alamnya sendiri, dan sekaligus di sanalah persoalannya. Kondisi Perbatasan di sekitar PPKT... Secara umum dapat dikatakan kondisi wilayah perbatasan laut di sekitar PPKT masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan wilayah lainnya, yang pada umumnya punya ciri sebagai berikut ; pertama, Lokasi Pulau-Pulau Kecil Terluar pada umumnya terpencil, jauh dari pusat kegiatan ekonomi, sangat sulit dijangkau, demikian pula dengan kondisi alamnya ada yang sama sekali tidak berpenghuni dan tidak mempunyai sumber air tawar; kedua, minimnya sarana dan prasarana. Hal ini dapat dilihat mulai dari belum adanya apa-apa sama sekali, tidak ada sarana jalan, belum ada terminal, tidak punya pelabuhan, dermaga atau yeti serta sarana angkutan. Selain itu untuk yang sudah berpenghunipun, umumnya prasarana air terlebih lagi irigasi untuk menunjang kegiatan pertanian belum ada atau jauh dari memadai, demikian pula dengan jangkauan pelayanan lainnya seperti sarana listrik dan telekomunikasi; ketiga, akses menuju Pulau-Pulau Kecil Terluar sangat terbatas. Pada tahun 2006 Pelni membuka route baru yang meliputi tiga jalur; pertama, berbatasan dengan Filipina, Bitung-Siau- Sanghie- Lirung-Karatung-Miangas-Ternate-Bitung, dilayani KM Sangiang, berkapasitas 500 penumpang; jalur kedua, berbatasan dengan Vietnam dan Kamboja route Tanjung Priok-Blinyu-Kijang-Letung-Tarempa-Natuna-Pulau Laut-Midai-Serasan-Pontianak- Surabaya- Sampit-,dilayani KM Bukit Raya dengan kapasistas 1000 penumpang; Rute ke tiga, berbatasan dengan Australia dan Timor Leste; Surabaya-Denpasar-Bima-Maumere-Kupang-Wetar-Tual-Saumlaki-Kalabahi-Kupang-Maumere-Bima-Denpasar-Surabaya; dilayani KM Tata Mailau, berkapasitas 1000 penumpang. Keempat, kesejahteraan masyarakat masih sangat rendah berada pada atau dibawah garis kemiskinan. Karena kondisi wilayahnya menyebabkan mereka belum dapat memanfaatkan peluang. Malah pada umumnya mereka lebih mengandalkan negara tetangga. Penduduk merasa lebih dekat dengan negara tetangga karena berjarak lebih dekat dengan negara tetangga, Penduduk banyak yang mencari nafkah di negara tetangga, karena lebih mudah mendapatkan pekerjaan, misalnya penduduk P. Miangas, ( Batas dgn Filipina). P. Sebatik (Batas dgn Malaysia). begitu juga dengan sarana dan prasarananya, sehingga kegiatan ekonominya lebih dipengaruhi oleh kegiatan yang terjadi di wilayah tetangga Kelima, Rendahnya kualitas SDM. Salah satu faktor yang menentukan kualitas SDM adalah tersedianya infrastruktur dasar seperti pendidikan, kesehatan dan perumahan. Tetapi karena tidak tersedia maka tingkat pendidikan umumnya masih rendah, demikian pula halnya dengan kesehatan masyarakat. Untuk wilayah disekitar gugusan pulau sabang, perkembangannya bisa di padukan dengan pengembangan pelabuhan sabang menjadi pelabuhan internasional; artinya pengembangannya dikaitkan dengan potensi pulau yang bisa dikaitkan dengan pengembangan wilayah, bidang usahanya bisa di sektor perikanan, baik dalam hal pengembangan potensi budi daya perikanan atau sekaligus dengan industerinya. Untuk gugusan di sekitar Singapura, Batam dan Pulau Bintan bisa dipadukan dengan pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus di wilayah tersebut, bisa berupa pengelolaan resort atau wisata; hal yang sama bisa dilakukan untuk wilayah yang berbatasan dengan Filipina atau dapat juga dengan kombinasi dari keduanya. Akan tetapi satu hal, jangan mengikuti pengalaman eksploitasi ppkt seperti yang dilakukan oleh pebisnis Singapura di kawasan ppkt kepulauan Riau. Sebab yang terjadi di sana, adalah eksploitasi pasir laut, pasir darat dan pasir granit secara besar-besaran tetapi dilakukan dengan kesan cara tradisional. Eksploitasi ini telah mampu menambah wilayah negara Singapura seluas 220 km persegi; kalau harga tanah reklamasi itu katakan 10 juta permeter, maka singapura memperoleh assets tidak kurang dari nilai 2200 triliun rupiah; belum lagi berupa gedung-gedung dlsb; sementara ppkt berikut lingkungan lautnya hancur secara permanen. Pengembangan Wilayah Perbatasan Pada saat ini boleh dikatakan hampir semua Departemen ikut ambil bagian dalam penanganan masalah perbatasan. Untuk wilayah perbatasan laut, sudah ada Perpres nomor 78 tahun 2005 tentang Pembangunan Pulau-pulau Kecil Terluar. Dengan semangat perpres tersebut muncullah Departemen Kelautan Dan Perikanan, dalam menangani masalah-masalah infrastruktur, perumahan, dan mata pencaharian para nelayan; kemudian ada pula Depdiknas dalam hal pendidikan bagi masyarakat perbatasan, lalu ada pula Depdagri untuk menata infrastruktur di wilayah perbatasan, ada pula Dephan dan TNI yang menggarap masalah batas dan pengamanan wilayah batas dengan membangun pos-pos di perbatasan dan masih ada pula Deplu yang mengambil segmen pada perjanjian batas laut. Yang ingin kita katakan adalah, sulitnya menentukan prioritas, sebab semua hanya berperan sebagai peserta dan sayangnya tidak ada Departemen yang menjadi pelaku utamanya; sementara untuk membangunnya di semua lini, sama saja maknanya dengan hampir tidak berbuat apa-apa. Karena dana yang tersedia terlalu kecil untuk wilayah yang terlalu luas. Idealnya memang harus ada sebuah badan yang secara khusus menangani masalah wilayah perbatasan, tetapi sayangnya sampai saat ini semua stake holder percaya bahwa badan seperti itu memang merupakan suatu kebutuhan, tetapi tiba pada upaya pembentukannya ternyata masalahnya tidaklah sederhana; minimal badan seperti itu sudah pernah di usulkan oleh Depdagri, tetapi belum berhasil; juga pernah diajukan oleh Bappenas lalu oleh Menko bidang ekonomi, tetapi sampai sekarang belum juga berhasil. Bertolak dari kenyataan seperti itu, maka berbagai persoalan di wilayah perbatasan tetap tak mampu diangkat untuk menjadikan wilayah itu sebagai beranda depan NKRI. Keinginan untuk menjadikan wilayah perbatasan jadi branda depan bangsa sesungguhnya adalah semacam upaya agar penanganan maslah perbatasan bisa lebih di utamakan; karena selama ini wilayah itu hanya didekati dengan pendekatan kepentingan keamanan saja, jadi pada saat ini diharapkan agar didekati dengan pedekatan kesejahteraan; agar wilayah itu bisa menjadi wilayah perekonomian yang mampu mempererat semangat antar bangsa. Kalau hal ini dikaitkan dengan rencana penerbitan Piagam Asean, maka wilayah perbatasan sesungguhnya akan banyak menyumbangkan kesempatan kerjasama guna lebih memaknai hubungan antar warga diantara sesama negara Asean. Sekiranya Asean, mampu mendorong agar para anggotanya lebih terbuka dalam berbagai kerjasama, maka sesungguhnya banyak hal yang bisa dikerjakan secara bersama atau minimal banyak masalah yang akan dapat dipecahkan secara lebih bermakna. Hal mana makna kerjasama intra Asean menjadi lebih dirasakan seirama dengan kecenderungan masalah keamanan regional di lingkungan Asean yang ditandai dengan adanya berbagai konflik didalam negeri sebagian anggotanya yang menyangkut masalah separatisme, konflik komunal, klaim territorial, keamanan jalur laut dan jalur perdagangan laut sampai masalah keamanan non tradisional serta pengembangan wilayah perbatasan. Satu hal yang menjadikan wilayah perbatasan kita perlu segera dikembangkan adalah adanya kehawatiran akan dieksploitasi oleh negara tetangga, sebab sejarah memperlihatkan Malaysia berjuang dengan semua cara dan nyatanya berhasil memperoleh Pulau Sipadan dan Ligitan; kemudian Singapura yang ternyata telah mengeksploitasi pasir wilayah perbatasan kita di kepualauan Riau yang mampu memberikan mereka assets senilai lebih dari 2200 triliun rupiah lebih.

Tidak ada komentar: