Minggu, 23 Agustus 2009

Bertemu di Tapal Batas



Kornelis Kewa Ama dan Fandri Yuniarti Minggu (2/8) pagi, pagar besi jembatan di gerbang masuk Motaain, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur—dari Timor Leste—diduduki sejumlah orang. Ada porter, penjual jasa angkut barang, sampai warga Timor Leste maupun warga Indonesia, khususnya warga eks Timor Timur, yang menanti kedatangan rekan atau keluarga mereka. ”Saya sudah sembilan tahun lebih tidak bertemu keluarga, sejak Timor Timur berpisah dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) 1999. Dari sepuluh bersaudara (lima di antaranya masih hidup), hanya saya sendiri yang menjadi WNI,” kata Dacosta (53)—sebut saja demikian karena yang bersangkutan tidak bersedia menyebutkan namanya—dengan mata yang terus diarahkan ke kawasan Timor Leste. Pukul 08.30 itu Dacosta, yang masih aktif di TNI, ditemani iparnya, Gaudens (bukan nama sebenarnya), asal Larantuka, NTT, serta seorang anak laki-laki 16 tahun bernama Ramon Amaral. Ramon bercerita, pertengahan Agustus 1999, Dacosta berkunjung ke Dili, Timor Leste. 

Ketika akan kembali ke NTT, Dacosta mengajaknya. ”Saya pun ikut. Tapi, tak lama kemudian (akhir Agustus 1999) Timor Timur merdeka (lepas dari NKRI). Jadi, sejak saat itu saya tak pernah lagi bertemu ibu-bapak serta empat saudara saya,” kata anak lelaki yang kini belajar di salah satu sekolah menengah kejuruan di Atambua, ibu kota Belu, itu datar. Menurut Dacosta, sejak Timor Leste merdeka, ia tidak pernah tahu bagaimana keadaan keluarganya. Ia benar-benar kehilangan kontak. ”Tapi, sekitar dua pekan lalu, tiba-tiba adik saya, Fransisco Gutteres (42), telepon. Katanya, ia mendapat nomor telepon rumah saya (di Atambua) dari warga Timor Leste yang sering berkunjung ke NTT. Karena itu, ia berjanji pagi ini menemui saya di perbatasan ini,” kata Dacosta, yang tubuhnya dibalut jaket kuning bertuliskan Secaba (Sekolah Calon Bintara). Setelah menunggu sekitar setengah jam, Fransisco yang dinanti-nanti pun mengabarkan telah sampai di Pos Lintas Batas Batugade (kawasan Timor Leste). Dacosta segera menjemputnya dan membawanya ke wilayah RI. Jembatan di atas sungai kering di Motaain pun menjadi saksi sejarah pertemuan mereka. ”Ini, ia sudah datang,” kata Dacosta kepada Kompas, dengan mata berkaca-kaca. ”Sebentar, saya lapor dulu ke (petugas) Imigrasi.” Tiga menit kemudian, Dacosta kembali menemui Fransisco. ”Ini, ambillah,” ujar Dacosta, sambil menyerahkan sebungkus rokok Gudang Garam kepada adik bungsunya itu. Fransisco yang mengenakan celana pendek loreng dan kemeja kotak-kotak berwarna lusuh menerimanya dengan tersenyum. Ia juga mengeluarkan bungkusan rokok serupa, isinya tinggal beberapa batang dan menyerahkannya kepada Gaudens (40). Mereka merokok, dan lalu berbicara dalam bahasa Tetum, bahasa ibu mereka. ”Bagaimana keadaan bapak?” tanya Dacosta.... ”Tak lama setelah kakak kembali ke NTT, Oktober 1999, ia meninggal di tempat pengungsian di Viqueque (Timor Leste),” jawab Fransisco, bekas sopir di Dili yang kini menganggur. ”Bapak meninggal karena ditembakkah?” tanya Dacosta penasaran. ”Bukan, ia meninggal karena sakit. Mungkin sedih dan stres berat. Waktu itu (seusai penentuan pendapat di Timor Timur 1999), Liberta kena tembak di bagian kaki. Tapi, ia selamat. Tidak ada kabar tentang keberadaan kakak. Kelihatannya bapak sangat terpukul,” kata Fransisco, seraya menambahkan keadaan tiga saudara mereka—termasuk Liberta—baik-baik saja. Di sela-sela obrolan kakak beradik tersebut, Ramon menerima satu kantong plastik penganan dari ibunya. Tak lama kemudian, Fransisco mengeluarkan plastik bening—seperti pembungkus gula pasir—berisi surat-surat dan uang dari kantong celananya. Plastik dibukanya, lalu ditariknya satu lembaran 10 dollar AS, disusul satu lembaran serupa, dan menyerahkannya kepada Ramon. ”Ini, ambil,” katanya tanpa perubahan ekspresi. Ramon, Dacosta, Fransisco, ataupun yang lainnya seperti berupaya menahan letupan emosi kebahagiaan. Tak ada tangis atau tawa keras bahagia dalam pertemuan tersebut. Sekalipun mereka terlihat senang, semua dilakukan bak pertemuan antarteman di tengah jalan. Percakapan di udara yang cerah tersebut hanya berlangsung lebih kurang 30 menit. Setelah itu, masing-masing kembali pulang. Dacosta, Ramon, dan Gaudens ke Atambua (NTT), sedangkan Fransisco dan istrinya naik angkutan umum ke Dili. Mercy (25), warga Dili, dan Maya (20), warga Atambua, pun begitu. Mercy mengaku sudah enam tahun lebih tidak bertemu Maya, adiknya. ”Tapi, kami sering kontak melalui telepon,” kata Mercy, yang ke tapal batas berboncengan motor sekitar tiga jam dengan suaminya, Jeffry (27). Menurut petugas Imigrasi Motaain, Jasser, tapal batas di Motaain—yang berjarak sekitar 34 kilometer dari Atambua—cukup sering dijadikan tempat pertemuan warga kedua negara. Sebab, mereka pada umumnya tidak memiliki paspor, di samping menghindari pengurusan dan pembayaran fiskal. Alasan lain mengadakan pertemuan di perbatasan adalah karena warga eks Timor Timur umumnya merasa belum aman mudik ke kampung mereka. ”Baru-baru ini (2 Agustus 2009) ada seorang pedagang asal Pulau Adonara (NTT) yang dibunuh di sana (Timor Leste). Itu kasus pertama warga negara Indonesia yang menggunakan paspor dibunuh di sana,” kata Jasser. Komandan Komando Resor Militer 161/Wirasakti Kupang Kolonel Dody Usodo Hargo Suseno menceritakan, 9 Agustus lalu, Sekretaris Camat Kobalima Martinus Bere, warga Dusun Lekekun Atas Selatan, Kabupaten Belu, NTT—yang memasuki wilayah Timor Leste bersama istrinya—ditangkap kepolisian Timor Leste di Dili. ”Padahal, Martinus ke sana dilengkapi dokumen keimigrasian resmi. Martinus saat itu hendak mengunjungi keluarganya di Distrik Suai. Ia dituduh bekas anggota milisi (tahun 1999). Padahal, Komisi Kebenaran dan Persahabatan antara Timor Leste dan Indonesia telah selesai (membahas persoalan masa lalu). Sampai sekarang Martinus masih ditahan di Dili,” papar Dody. Motaain, satu dari tujuh pos lintas batas di NTT, menurut Jasser maupun Isnin Muhammad (dari Bea dan Cukai Motaain), setiap hari dimanfaatkan sekitar 100 pelintas batas.

 Kekerabatan di antara warga bertetangga tersebut tampaknya cukup terjalin baik. Sabtu itu, misalnya, sejumlah warga Timor Leste masuk ke Motaain dengan membawa kue dan bir, biasanya untuk pesta keluarga. Kekerabatan seperti itu biasanya juga terlihat di kawasan perbatasan lain di Turiskain (Kabupaten Belu), Haumeniana, dan Wini (di Kabupaten Timor Tengah Utara). ”Kadang ada yang minta izin melayat (ke Timor Leste). Biasanya izin diberikan sekitar tiga hari,” kata Letnan Dua Fandi, Komandan Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan Turiskain. Pada era kemerdekaan ini, warga kedua negara bertetangga itu memang relatif bebas bergerak. Tapi, bisakah dikatakan mereka sudah benar-benar ”merdeka”? (Iwan Setyawan, Kompas, Selasa, 18 Agustus 2009)

Tidak ada komentar: