Jumat, 28 Agustus 2009

Warga Kepulauan yang Dibiarkan Berjalan Sendiri



Iwan Santosa dan Agung Setyahadi Ratusan warga Daruba, kota teramai di Pulau Morotai, berjejal memadati jembatan sandar Pelabuhan HMS Lastory. Mereka menanti kedatangan kapal penumpang dari Tobelo yang sudah berada di depan mata. Saat kapal sandar, para buruh angkut dan ojek berebutan naik ke kapal menjajakan jasa. Mirod Bane (34) dengan sigap melompat ke atas dek Kapal Motor Galang Samudra. Pria tinggi kurus itu lincah menembus kerumunan orang di atas dek sambil menawarkan jasa ojek. Jika memperoleh penumpang yang minta diantar ke Berebere, sekitar 90 kilometer arah utara Daruba, ia bakal mengantongi minimal Rp 250.000. Kedatangan kapal selalu menggairahkan masyarakat Pulau Morotai di Kabupaten Morotai, Provinsi Maluku Utara, yang berbatasan laut dengan Republik Palau. Kapal pelayaran rakyat selalu membawa rezeki bagi buruh angkut, ojek, dan pelaku ekonomi mikro lainnya. Transportasi laut yang dibangun oleh masyarakat inilah yang selama ini menghubungkan Morotai di bibir Samudra Pasifik dengan pusat perekonomian di Maluku Utara, seperti Tobelo dan Ternate, serta Bitung di Sulawesi Utara. Lalu lintas barang dan penumpang serta geliat perekonomian sangat bergantung pada pelayaran rakyat. Gairah seperti itu juga dijumpai di sebagian besar wilayah Maluku dan Maluku Utara yang berisi 954 pulau. Kapal selalu dinanti, mulai dari Pulau Wetar di ujung tenggara yang perbatasan dengan Timor Leste hingga Morotai di ujung utara di perbatasan Indonesia-Palau. Pelayaran rakyat mengisi ruang kosong jalur pelayaran kapal-kapal PT Pelni dan perintis. Di Pulau Wetar, misalnya, kapal perintis datang setiap 21 hari, itu pun hanya di ibu kota kecamatan. Maka muncullah kapal-kapal pelayaran rakyat yang menghubungkan Wetar dengan pusat perekonomian di Saumlaki maupun Kupang di Nusa Tenggara Timur. Minimnya infrastruktur yang disediakan pemerintah itu telah memicu perdagangan dengan masyarakat di Timor Leste. Mereka menukar hasil bumi dan beras dengan minyak atau barang lain. Bahkan, sebagian warga Wetar jika sakit berobat ke Dili karena hanya 4 jam perjalanan kapal. Barter juga terjadi antara warga Sopi di ujung utara Morotai dan para nelayan Filipina. Simon Mosley, sewaktu menjabat Camat Wetar pada tahun 2007-an, secara tegas mengizinkan warganya bertukar barang dengan warga Timor Leste. ”Kalau pemerintah mau melarang, sebaiknya berkaca dulu. Kehadiran pemerintah sudah bisa menjamin kebutuhan masyarakat apa belum,” kata Simon.... Setali tiga uang, di Morotai kondisi transportasi antarpulau sangat minim. Transportasi laut yang lancar hanya di Daruba. Setiap hari ada pelayaran rakyat bolak-balik rute Daruba-Tobelo. Kapal perintis KM Kie Raha 2 dari Ternate datang sekali sebulan. Ada juga feri penyeberangan Tobelo-Daruba. Ibu kota kecamatan lain, yaitu Sangowo (Morotai Timur), Berebere (Morotai Utara), Wayabula (Morotai Selatan Barat), dan Sopi (Morotai Jaya), sangat bergantung pada pelayaran rakyat. Itu pun macet total saat musim gelombang besar, seperti Juli-Agustus. Pada Oktober-Desember pelayaran macet karena ombak Pasifik sekitar 4 meter tingginya. Kondisi Sopi di ujung utara Morotai yang menghadap Samudra Pasifik paling terisolasi. ”Jangan coba-coba ke Sopi kalau musim ombak, nanti bisa celaka,” ujar Hamka Goraahe, Asisten II Bidang Administrasi Umum Kabupaten Morotai. Sepanjang akhir bulan Juli hingga awal Agustus 2009, ratusan kapal penumpang, barang, dan speedboat di pelabuhan-pelabuhan Ternate, Sofifi, Sidangoli, Tobelo, hingga Morotai tertambat berhari-hari menanti ombak mereda untuk berlayar ke kawasan Maluku Utara. ”Kalau omba’ tinggi tra (tidak) bisa berangkat. Harga barang juga jadi mahal,” kata Bahrudin, nakhoda KM Sandra Jaya, rute Daruba-Tobelo. Pada Kamis (6/8) siang, Sandra Jaya yang berbobot mati 58 ton berangkat dari Pelabuhan HMS Lastory di Daruba, Morotai, menuju Pelabuhan Tobelo. Kapal bermuatan 70-an orang itu mengangkut penumpang dan kopra. Ongkos tiap orang Rp 45.000 untuk perjalanan selama dua setengah jam menempuh jarak sekitar 25 mil laut atau 40-an kilometer di darat. Betapa mahal ongkos transportasi yang dibayar rakyat Maluku Utara. Jika di Pulau Jawa, ongkos Rp 45.000 dapat menempuh jarak Jakarta-Cirebon sejauh 275 kilometer ataupun bus AC dari Jakarta-Bandung sejauh 150 kilometer. ”Dua minggu lalu kami nyaris celaka, sepanjang perjalanan kapal dihantam ombak 3 meteran. Setiap kali anjungan naik, air masuk di bagian belakang. Kondisi seperti itu sudah jadi ’makanan’ kami,” ujar Atta (34), awak KM Sandra Jaya. Para operator pelayaran rakyat memang sering memaksa berangkat saat ombak sedikit mereda. Para pelaut itu seolah sudah putus urat nyalinya demi mengejar setoran operasional kapal. KM Sandra Jaya, misalnya, yang berkapasitas 70 penumpang itu bisa dipaksa mengangkut 120 penumpang. Jika penumpang penuh, pendapatan tiket bisa Rp 5,4 juta. Di wilayah utara Morotai, seperti Berebere dan Sopi, musim ombak berarti tidak bisa menjual kopra ke Tobelo. Kapal-kapal pelayaran rakyat tidak ada yang beroperasi. Padahal, kopra adalah sumber pendapatan utama masyarakat. Saat ini harga kopra per kilogram Rp 2.500. Jika memiliki 700 pohon, bisa memperoleh 6 ton kopra tiap panen 3 bulan, ini setara Rp 15 juta. Amin Bowulo (40), Kepala Desa Kenari, Kecamatan Morotai Utara, mengatakan, musim ombak juga menyengsarakan nelayan karena tidak bisa mencari ikan. Di saat penghidupan rakyat dipermainkan ganasnya ombak lautan, para pejabat di Maluku Utara justru sulit ditemui di kantor-kantor pemerintah. Di kantor pemerintah provinsi, kota, dan kabupaten di Maluku Utara, setiap akhir pekan—Jumat, Sabtu, dan Minggu—bisa dipastikan para pejabat tidak ada di tempat. Dalam pemantauan Kompas di kantor-kantor pemerintah di Ternate, Tobelo, dan Morotai, selepas pukul 13.00 suasana kantor pemerintah sudah sepi. Terlebih pada akhir pekan, banyak pejabat tidak bisa ditemui karena berada di Jakarta, Manado, atau Makassar. ”Mohon dimaklumi. Kami kabupaten pemekaran baru sehingga banyak pejabat pergi ke kabupaten induk dan ibu kota provinsi atau pun ke Jakarta untuk konsultasi program kerja,” kata Hamka Goraahe, Asisten II Bidang Administrasi Umum Morotai. Alasan konsultasi penyusunan program kerja itu ditertawakan oleh seorang staf perencanaan di Bappeda Maluku Utara sebab para pejabat baru itu ternyata tak pernah muncul untuk berkonsultasi. Jadi, bisa dibayangkan ke mana perginya uang hibah Rp 8,8 miliar untuk pemerintah Morotai yang lahir akhir 2008 itu. Harapan perbaikan nasib dari pemekaran pun mulai kabur, seperti Pulau Morotai dari kejauhan yang tertutup buih-buih ombak.(kompas, Minggu, 16 Agustus 2009 )

Tidak ada komentar: