Selasa, 01 September 2009

Air Swadaya Desa dan Peran Negara


Mawar Kusuma
Nada suara Totok Suharyanto (49) meninggi tiap kali perbincangan mengarah ke masalah kekurangan air di wilayahnya. Kepala Desa Mulo, Kecamatan Wonosari, Gunung Kidul, DI Yogyakarta, itu hampir tiap hari kenyang dengan hujatan dan makian dari warganya.

Sebagai orang yang dituakan, Totok dan pengurus pengelolaan air swadaya mandiri desa lebih banyak menuai makian. Ia mengibaratkan pengelolaan air mandiri yang dilimpahkan oleh Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul ke desanya benar-benar sebuah bumerang.

Dua tahun lalu, air mati selama lima bulan karena mesin pompa listrik rusak. Warga tak bersedia membayar iuran air dan pemerintah desa pun kelimpungan mencari dana perbaikan mesin.

Masalah pelik lain dialami pemerintah Desa Mulo ketika aliran listrik diputus oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) setelah empat bulan tidak sanggup membayar listrik dengan beban minimal Rp 1 juta per bulan. Dengan pendapatan dari penjualan air Rp 2,5 juta, desa sering tak mampu lagi membayar gaji karyawan pengelola air dan biaya operasional.

Warga desa seperti Purwito Utomo (62) tak kalah jengkel. Warga Dusun Karangasem, Desa Mulo, ini terpaksa mencabut meteran dan pipa 60 meter yang telah ditanam di pekarangan rumahnya. ”Lebih baik air dikelola langsung oleh pemerintah kabupaten kalau ingin beres. Jangan diserahkan ke desa,” katanya. Air yang dikelola pemerintah desa sempat mengucur selama tiga tahun sebelum akhirnya hanya mengalirkan angin.

Kini, Purwito dan semua warga sedusun sepenuhnya membeli air tangki. Saat kemarau seperti ini, Purwito telah membeli delapan tangki air dengan volume tiap tangki 5.000 liter. Satu tangki air harganya Rp 50.000-Rp 70.000.

Dua sumur bor di ladang yang menjadi andalan pemenuhan kebutuhan air Desa Mulo memang tidak mencukupi karena debitnya hanya 5 liter dan 16 liter per detik. Apalagi kedua mata air itu dimanfaatkan pula untuk mengairi dua desa lain, Duwet dan Wunung.

Organisasi Pengelola Air Mulo dibentuk tahun 1987 dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan ladang pertanian. Seiring waktu, pemerintah desa pun membangun jaringan perpipaan ke rumah warga sejak 1993 dan kini telah melayani 500 sambungan rumah.

Totok hanya berani menjual air itu Rp 1.000 per meter kubik. Tiap kepala keluarga dikenai iuran Rp 10.000-Rp 15.000.

Proyek pengangkatan air bantuan Jepang dari sungai bawah tanah di Baron maupun proyek bantuan Jerman dari goa bawah tanah Bribin, keduanya di Gunung Kidul, diharapkan memenuhi kebutuhan air warga. Namun, keduanya dipastikan tak bisa mengaliri Desa Mulo. Padahal, bantuan Jepang ditargetkan bisa mencukupi kebutuhan 80.000 jiwa dan proyek bantuan Jerman 75.000 jiwa.

Sejak tahun 2005, pemerintah Desa Mulo mengajukan bantuan bor kepada pemerintah, tetapi tidak pernah ditanggapi. Akhirnya, Totok dan enam kepala desa dari Gunung Kidul nekat menerobos langsung ke Departemen Pekerjaan Umum di Jakarta sebelum mendapat bantuan Rp 3,2 miliar untuk mengebor sumber air baru.

Jika sumber air baru yang rencananya akan beroperasi pada 2010 itu gagal, Totok mengaku menyerah.

Kepala Desa Bleberan, Playen, Tri Harjono lebih beruntung. Mata air di Desa Bleberan berjumlah empat buah dengan debit di atas 40 liter per detik. Makanya, warga tidak perlu membeli air dari mobil tangki.

Dari 517 sambungan rumah yang terlayani, pemerintah Desa Bleberan bisa memperoleh pendapatan bersih Rp 2 juta-Rp 5 juta per bulan. Di puncak musim kemarau, pendapatan desa dari pengelolaan air bisa mencapai Rp 11 juta per bulan. Pengelolaan air oleh badan usaha milik desa ini berlangsung sejak 2007 dengan modal awal Rp 250 juta.

Namun, air tetap jadi masalah di Gunung Kidul. Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Gunung Kidul mencatat 172.597 jiwa dari total penduduk 747.902 jiwa masih tergantung pembelian air dari mobil tangki keliling. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) juga hanya bisa menjangkau 46 persen warga.

Bupati Gunung Kidul Suharto mengakui PDAM Gunung Kidul belum mampu menjangkau semua warga karena mahalnya tarif listrik untuk mengangkat air. Suharto telah berkali-kali meminta penurunan tarif listrik bagi PDAM dan agar tarifnya tidak disamakan dengan tarif industri. Permintaan Bupati itu tetap tidak berhasil. Kerugian PDAM tiap bulan akibat tingginya tarif listrik sebesar Rp 500 juta-Rp 600 juta. Untuk menutup kerugian, per Agustus ini, harga air PDAM Gunung Kidul naik dari sebelumnya Rp 1.700 per meter kubik menjadi Rp 3.000 per meter kubik.

Bagi desa yang belum terjangkau aliran PDAM, Suharto mengedepankan program pengelolaan air secara swadaya mandiri lewat badan usaha milik desa. Pemkab Gunung Kidul menyediakan dana Rp 20 juta untuk setiap desa yang ingin mengelola airnya sendiri. Namun, dana itu hingga kini relatif utuh karena sebagian desa takut dan tidak punya pengalaman mengelola air secara swadaya.

Selain Desa Mulo dan Bleberan, desa lain di Gunung Kidul yang mengelola air sendiri antara lain Karangrejek, Getas, Kemuning, dan Wareng. ”Tidak masalah siapa pun pengelolanya, yang penting masalah air terselesaikan,” kata Suharto.(kompas, Selasa, 1 September 2009)

Tidak ada komentar: