Senin, 07 September 2009

Semangat NKRI di Perbatasan RI-PNG


Semangat Kemerdekaan di Perbatasan RI-Papua Niugini John Sembay (11), Senin (17/8), sedang asyik bermain saat puluhan temannya dari SD Inpres IV Skouw Mabo Kota Jayapura, Papua, berseragam upacara lengkap dengan topi melintas di depan rumahnya. Ia lantas berlari masuk rumah, bergegas mengenakan pakaian seragam, serta ikut berjalan menuju Lapangan Distrik Muara Tami untuk mengikuti upacara kemerdekaan HUT Ke-64 RI di wilayah perbatasan RI–PNG. Dari kejauhan, anak lelaki ini tampak percaya diri meski penampilannya jauh lebih sederhana daripada teman-temannya saat berada di barisan. Bocah itu tidak mengenakan topi dan dasi upacara, juga tak mengenakan sepatu. Namun, semangatnya tampak menyala untuk mengikuti upacara. Pagi itu, ia lupa kalau sekolahnya ditunjuk mewakili SD-SD di Muara Tami untuk mengikuti upacara kemerdekaan di kantor distrik. Padahal, kepala sekolah telah memasang pengumuman di papan tulis pada Sabtu lalu. 
 Untunglah, perjalanan teman-teman John menuju kantor distrik melintasi depan rumahnya sehingga ia ingat akan upacara hari itu. Anak nelayan di Kampung Skouw Mabo ini menuturkan, dirinya tidak lagi memiliki topi dan dasi yang pernah diberikan sekolah kepadanya. Kedua perangkat upacara ini hilang sejak beberapa waktu lalu. Adapun sepatunya telah rusak berat. ”Sa (saya) pernah meminta mama beli topi-dasi. Tetapi, mama bilang tra (tidak) ada uang,” katanya. Untung, pihak sekolah tak bersikap kaku dan tetap mengizinkan John mengikuti upacara meski tanpa seragam lengkap. Minim guru Guru yang mendampingi para siswa SD Inpres IV mengikuti upacara, Adolof Waramuri, mengatakan, orangtua peserta didik di wilayah itu didominasi warga golongan ekonomi menengah bawah. Mereka bekerja sebagai nelayan musiman (saat cuaca baik) dan berladang. ”Murid-murid kami berasal dari keluarga tidak mampu, tetapi mereka memiliki semangat belajar yang tinggi. Sayangnya, di sekolah kami hanya tersedia dua guru, saya dan kepala sekolah,” kata Adolof. Menurut catatan Badan Pusat Statistik 2008, Distrik Muara Tami memiliki 9 SD dengan 68 guru dan 1.463 siswa. Tiap SD seharusnya diisi minimal tujuh guru. Namun, di SD Inpres itu, ternyata hanya ada dua guru yang mengajar. Kondisi ini sangat tertinggal jauh dibandingkan distrik tetangganya, Abepura, yang tiap-tiap SD rata-rata diajar 18 guru.... Fasilitas publik Muara Tami merupakan satu dari lima distrik di Kota Jayapura. Distrik ini paling tertinggal di antara distrik lain di Kota Jayapura. Listrik hanya mengalir dari Abepura sampai wilayah Kelurahan Koya Timur. Adapun tujuh kelurahan lainnya belum mendapatkan pasokan listrik memadai. Agus Mallo, tokoh masyarakat setempat, mengatakan, sebagai salah satu distrik dari Kota Jayapura, seharusnya Muara Tami memiliki fasilitas pelayanan publik yang maju. ”Tetapi, sampai sekarang penerangan hanya sampai di Koya Timur, daerah lainnya hidup di kegelapan,” ujarnya. Agus menuturkan, 



Distrik Muara Tami yang berjarak sekitar 30 kilometer dari kota itu seperti dianaktirikan. Wilayah yang sangat dekat dengan perbatasan RI-PNG ini seharusnya menjadi fokus pembangunan Papua sehingga masyarakat merasa nyaman sebagai penduduk wilayah Indonesia. Ondoafi (kepala suku) dan Ketua Dewan Adat Papua Wilayah Muara Tami Yans Mallo menyatakan, sudah saatnya pemerintah pusat mengurangi pos-pos militer di permukiman warga. Ia mengatakan, daerahnya kini tak boleh lagi dicap sebagai wilayah merah atau markas orang-orang militan gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka. ”Pos-pos TNI yang katanya menjaga perbatasan sebaiknya benar-benar ditaruh di daerah perbatasan atau di hutan, bukan di wilayah permukiman yang membuat kami tertekan dan ketakutan. Kemudian tambahlah kantor serta tenaga pelayanan pendidikan dan kesehatan di wilayah perbatasan ini supaya kami bisa sama-sama menjaga daerah ini. Kami merasa sebagai bagian dari kota dan negara ini,” katanya. Harapan Yan Mallo ditambah semangat John Sembay untuk mengikuti upacara kemerdekaan RI bisa menjadi contoh antusiasme masyarakat Papua menjadi warga negara Indonesia. Kini tinggal bagaimana pemerintah pusat dan pemerintah daerah mewadahi semangat ini dengan memberikan pelayanan publik yang seimbang dengan semangat mereka.(Ichwan Susanto, Kompas, Selasa, 18 Agustus 2009)

Tidak ada komentar: